mappalili-ritual-turun-sawah-di-segeri
Bissu-bissu maggiri pada acara mappalili, ritual turun sawah di Segeri | Foto Makhfud Sappe/LIONMAG
Art & Culture
Mappalili, Ritual Turun Sawah di Segeri
By Burhanuddin Bella
Thu, 11 Aug 2022

Arajang dibangunkan, para bissu maggiri. Inilah ritual memulai musim tanam di Segeri.

Asap kemenyan mengepul, memenuhi beranda rumah panggung.  Aneka jenis hasil bumi ditata mengitari benda pusaka yang tertutup daun pisang dan buah-buahan. Tumpukan padi diletakkan di sebelah benda pusaka.

Sejumlah orang duduk bersila, membentuk setengah lingkaran. Makanan aneka rupa tersaji di hadapan mereka. Makanan sebagian terbuat dari ketan hitam dan putih. Beberapa di antaranya diletakkan telur rebus di atasnya.

Doa-doa dilafalkan. Doa berisi harapan agar hasil panen melimpah, mencukupikebutuhan penduduk.  Doa berakhir, sajian yang dihidang disantap bersama.


Mappalili ritual sebelum memulai musim tanam di Segeri. Foto Makhfud Sappe/LIONMAG

Doa-doa itu dipanjatkan dalam upacara adat mappalili, ritual yang menandai dimulainya musim tanam di Segeri, Kabupaten Pangkejene Kepulauan, Sulawesi Selatan.  Upacara dipusatkan di Arajangnge, rumah adat yang berbentuk rumah panggung di Desa Bontomatene. Di rumah adat ini disimpan arajang, berupa alat bajak sawah. Pusaka yang dianggap bertuah.

Digelar setahun sekali, mappalili kali ini dilangsungkan saat musim tanam padi. Dimulai dari mattedu arajang—membangunkan alat pembajak sawah peninggalan leluhur yang diyakini bertuah—pada hari pertama. Hari kedua arajang rilau--mengarak pembajak sawah keliling kampung diiringi musik tradisional. Hari terakhir upacara majjori—memulai membajak sawah di tanah peninggalan kerajaan.

Prosesi majjori diakhiri dengan siram-siraman sebagai bentuk suka cita. Upacara ritual mappalili selesai, penduduk siap-siap menanam padi di sawah. Konon, bila ada warga yang menaman sebelum mappalili, biasanya hasil panen tak memenuhi harapan. Padi yang ditanam puso sehingga gagal panen.

 FPSI - SFI 44 2024, PAF Bandung.

Maggiri

Mappalili dipimpin bissu--sebutan bagi laki-laki yang lebih mengaktualkan sisi feminitasnya. Bissu bisa diartikan suci karena tidak miliki payudara dan tidak mengalami menstruasi.  Masyarakat setempat biasa menyebut calabai, bukan perempuan tapi berprilaku perempuan.  Ada yang menyebut calabai berasal dari kata sala bai atau sala baine (baine: perempuan dalam bahasa Bugis) yang berarti bukan perempuan.

Di tengah rehat usai berdoa, terdengar gendang ditabuh. Seorang bissu muncul dari balik kamar. Berdiam sejenak, Juleha, pemimpin bissu itu, kemudian menyalakan dupa. Ia duduk di sudut tumpukan benda pusaka yang tertutup. Saat bersamaan empat bissu lainnya ikut bergabung.

Para bissu mengenakan pakaian adat berwarna cerah. Keris sepanjang kurang lebih 40 centimeter terselip di pinggang. Selembar kain dililitkan di kepala, dibentuk melingkar menjadi penutup rambut.


Salah satu bissu melakukan ritual Maggiri. Foto Makhfud Sappe/LIONMAG

Gendang terus ditabuh. Suara gendang berpadu dengan suara gesekan gelas yang diputar di tepian atas sebuah piring. Juleha larut dalam doanya. Di hadapannya asap kemenyam kian mengepul. Tangan Juleha berayun di tengah kepulan asap. Asap berpencar memenuhi ruangan.

Hening. Tak ada suara. Di tengah keheningan, para bissu mulai berjalan perlahan-lahan mengitari tumpukan arajang. Tangan mereka terus melambai, menari mengikuti irama gendang.

Tak lama berselang, satu-satu bissu mencabut keris yang terselip di pinggang mereka. Semula benda pusaka itu ditancapkan di telapak tangan sendiri sambil berjalan. Keris diputar, tapi tak ada darah yang menetes.

Para bissu terus beraksi. Mengitari tumpukan benda pusaka, mereka mempermainkan keris dengan beragam atraksi. Ada yang meletakkan ujung keris ke leher sambil terus diputar. Sesekali disertai lompatan membuat rumah panggung seakan bergoyang. Beberapa bissu tidur terlentang dengan keris tetap tertancap di leher.

Kelima bissu terus menari sambil terus berjalan mengitari tumpukan benda pusaka. Para bissu itu seakan kesurupan, tak menghiraukan orang berjubel yang berada di sekitarnya. Seperti saat mengawali atraksi dengan menancapkan ujung keris di telapak tangan, hingga akhir tarian tak ada bissu yang terluka.

Atraksi para bissu itu disebut maggiri. Selain mappalili, tarian bissu dengan menusuk-nusukkan benda tajam ke anggota tubuh kerap juga dipertunjukkan pada upacara adat lainnya.

Seorang bissu menceritakan, benda tajam tak bisa menembus tubuh para bissu saat maggiri karena telah dimasuki arwah lelulur. Doa-doa ketika memulai ritual dimaksudkan untuk memanggil arwah leluhur.

Itu dibenarkan Eka, seorang bissu di Segeri. Katanya, “Sebelum maggiri, harus lebih dulu memanggil arwah leluhur melalui sesajian.” Pemanggilan disampaikan dengan bahasa torilangi, bahasa Bugis kuno.

BACA JUGA

Bissu baru menguji kekebalan setelah mendapatkan firasat roh leluhur telah masuk ke dalam tubuhnya. Itulah sebabnya, seperti dikatakan Eka, bissu melakukan atraksi tidak selamanya bersamaan.  Gerakan para bissu pun tidak ada yang sama karena seakan-akan yang menggerakkan roh.

Eka mengakui, bissu yang maggiri bisa saja terluka oleh keris bila berperilaku sombong. Ia menyebutnya puji ale, memuji diri sendiri. “Tapi kalau roh sudah masuk, tidak tembus,” tuturnya.

Menjelang puncak malam, ritual adat selesai. Upacara kembali dilanjutkan keesokan hari.

Siram-siraman
Matahari mulai memancarkan sinarnya ketika Juleha memanjatkan doa untuk ritual terakhir mappalili di rumah adat. Juleha ditemani beberapa bissu. Empat bakul berisi aneka buah diberi sesaji. Sambil berdoa, kembang ditaburi di atasnya.

Usai berdoa, penutup pembajak sawah peninggalan leluhur dibuka. Di dalamnya terdapat dua alat pembajak dari potongan batang pohon. Sebuah di antaranya sudah tak utuh. Beberapa bagian lapuk.  Usia benda pusaka itu diperkirakan lebih dari seratus tahun.


Usai ritual Majjori bissu dan rombongan disiram oleh warga. Foto Makhfud Sappe/LIONMAG

Alat pembajak kemudian diarak menuju sawah. Penduduk mengiringi dari belakang. Arak-arakan menempuh jarak sejauh sekitar 4 kilometer berjalan kaki, melintasi jalan desa dan pematang. Penduduk menyambut di sepanjang perjalanan.

Arak-arakan berakhir di tanah yang diyakini sebagai peninggalan leluhur setelah melintasi pematang. Tanah itu berada di atas pematang tambak. Dulu, menurut penduduk setempat, area itu berupa sawah. Kini kondisinya berubah. Lokasi itu menjadi area tambak ikan, menyisahkan dua batu yang menjorok ke atas permukaan tanah di sebuah pematang.

Di antara dua batu  itulah ujung pembajak sawah diletakkan dalam upacara majjori, memulai membajak sawah di tanah peninggalan kerajaan. Juleha kembali mengambil peran. Ia memimpin doa. Masyarakat bersama dua bissu menyertai. Kali ini Juleha bersama bissu kembali maggiri, menunjukkan kebolehannya dengan menancapkan ujung keris ke anggota tubuh.

Doa Juleha untuk memperoleh berkah agar hasil panen memuaskan di tanah warisan leluhur bukan akhir dari prosesi ritual mappalili. Penduduk yang kembali mengikuti usai upacara majjori di sawah harus menerima kenyataan rela basah. Di sepanjang jalan masyarakat sudah siap dengan air. Siram-siraman sebagai rasa suka cita.

Tak boleh ada yang marah, meski  disiram air tak bersih. Tak soal benda apa pun yang melekat di tubuh.  Seorang tokoh masyarakat menceritakan, pernah ada warga asing yang merekam prosesi majjori rela kuyup untuk bisa tetap mengikuti prosesi itu. Dia hanya minta kamera tak basah agar bisa tetap mengabadikan momen tersebut.

Siram-siram tak sebatas sepanjang jalan pulang. Ritual mensyaratkan iring-riringan melintas di pasar.  Di pusat keraiaman itu kembali riuh dengan siraman. Bissu kembali beraksi, maggiri, disaksikan pengunjung pasar.

Seorang berpakaian polisi ikut dalam aksi, menusukkan keris ke tubuhnya. Ia bukan bissu, tapi warga setempat mengakui, polisi paruh baya itu dikenal kebal dengan benda tajam. Ritual mappalili berakhir di pasar. Tak seperti di awal prosesi, di sini tak ada asap kemenyan yang mengepul.


Artikel ini pernah dimuat di majalah Lionmag edisi Januari 2016

E-mag LIONMAG : Edisi Agustus - September-2022


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru