mengejar-bunga-ungu-ke-provence
Hamparan Bunga Lavender di Provence, Perancis | Makhfud Sappe
Destination
Mengejar Bunga Ungu ke Provence   
Makhfud Sappe
Tue, 10 May 2022
Panen lavender sudah hampir usai, tersisa satu dua desa yang belum panen. Jaraknya agak jauh dari sini,” begitu penjelasan yang kami dapat dari petugas di informasi wisata .

Setelah menghabiskan tiga jam perjalanan dengan TGV dari Stasiun Gare de Lyon, Paris, ditambah sekali sambung kereta lokal, saya bersama tiga teman perjalanan: Muchlis, Martini, dan Aimee tiba di Avignon Center Station, Provence. Kami menyeret tas keluar dari station menuju kota tua Avignon yang kebetulan berhadapan dengan stasiun kereta.

Kota tua ini dikelilingi dinding tembok layaknya sebuah benteng. Ratusan poster dipasang acak. Ada yang ditumpuk dan digantung alakadarnya. Suasana ramai sekali, ternyata sedang berlangsung Festival Avignon. Festival ini digelar sejak tahun 1947. Festival yang menampilkan berbagai tarian, drama, dan street performance dari berbagai negara.


Berbagai macam poster Avignon Festival tertempel di mana-mana. FOTO : MAKHFUD SAPPE

Kami menembus hiruk pikuk festival mencari pusat infomasi wisata. Kami ingin mencari informasi di mana bisa lihat kebun Lavender, tujuan utama ke Avignon.

“Panen lavender sudah hampir usai, tersisa satu dua desa yang belum panen. Jaraknya agak jauh dari sini,” begitu penjelasan yang kami dapat dari petugas di informasi wisata. Kami pun meminta bantuan dicarikan kendaraan minibus dengan sopir yang bisa berbahasa Inggris untuk mengantar kami ke kebun Lavender. 


Kota tua Avignon, Provence. Foto : Makhfud Sappe 

Hari masih pagi sekali. Matahari belum menampakkan sinarnya. Udara dingin terasa di kulit. Mobil yang akan mengantar kami melihat kebun Lavender sudah siap di depan hotel. Kamipun bergegas untuk mengejar waktu agar bisa melihat bunga lavender saat pagi hari.

“Sebagian besar bunga lavender sudah dipanen minggu lalu. Tahuni ini cuaca lebih panas dari tahun-tahun sebelumnya hingga petani terpaksa memanen lavendernya lebih cepat,” ujar Bruno, sopir yang mengantar kami.

“Jangan khawatir,” ucapnya. “Masih ada kebun lavender yang belum dipanen di daerah Sault. Kita akan ke sana.” lanjut Bruno.

Memotret lavender sebenarnya saya rencanakan sebulan sebelumnya bersama teman yang saat ini bermukin di Paris. Rencana itu urung lantaran masa lavender mulai berbunga bertepatan dengan Idul Fitri. Dengan rencana tunda, kali ini saya tak ingin kehilangan kesempatan memotret lavender.

Mobil melaju pelan membelah subuh yang masih gelap, dalam kegelapan terlihat jembatan ‘ Saint Benezet” yang tersisa separuh, jembatan ini dibangun pada abad ke-12 dan tercatat sebagai situs UNESCO sejak 1995.

Mobil bergerak meninggalkan Avignon ke arah utara. Sekian menit berselang, siluet bukit-bukit dan lembah di kiri kanan jalan mulai terlihat. Rupanya kami sudah berada di daerah luar kota. Jalan agak menanjak dan berkelok.

BACA JUGA : Paris, Mengurai Keindahan Kota Napoleon

Di layar handphone terlihat posisi kami bergerak pelan di applikasi Waze, masih 60 km lagi untuk sampai di Sault.

Bruno lalu mengisahkan kondisi daerah Provence. Dia memahami betul daerah ini. Itu bukan semata karena ia penduduk asli, tapi juga pekerjaan utamanya guru sejarah. Menjadi sopir wisata pekerjaan paruh waktunya.

“Daerah Provence dikenal dengan kebun lavendernya, bahkan menjadi icon Provence,” dia menuturkan. Sinar matahari sudah mulai tampak menerangi wilayah itu. Dari balik bukit matahari pelan mulai naik.

Pemandangan pedesaan kian nyata terlihat. Kami melewati ladang-ladang lavender yang sudah dipanen dan ladang-ladang gandum.

Ladang gandum. FOTO : MAKHFUD SAPPE

Dari jalan beraspal mobil berbelok ke kiri, memasuki  jalan sempit berbatu-batu. Kontur area yang berbukit memperjelas layer-layer landscape daerah ini.

Kami berhenti di dekat kebun lavender yang luas dengan latar belakang Desa Sault yang indah.

Sinar matahari sudah mulai terang, langit bersih tanpa awan dengan sedikit bias biru muda, hamparan warna ungu bunga lavender di depan mata yang ditanam teratur membentuk garis. Garis membentang sepanjang lembah, sejauh mata memandang bak hamparan permadani warna ungu dan hijau. Kami pun memutuskan memotret di tempat ini.

Suasana pagi masih tenang. Sesekali kelompok kecil pesepeda melintas di jalan utama. Sinar matahari mulai menyinari bunga-bunga lavender. Warna ungu lavender kontras terlihat di layar LCD kamera. Angin berhembus pelan membuat aroma lavender mulai tercium.

Terasa keheningan pagi hari dengan harum lavender. Sesekali suara sayap serangga yang terbang dari pucuk ke pucuk bunga lavender. Saya mulai memotret. Teman perjalanan saya tenggelam berswafoto di antara lavender.

Menjelang pukul sepuluh, kami melanjutkan perjalanan ke Sault yang sudah terlihat di depan, sebuah desa di atas bukit yang dikelilingi kebun lavender. Rasa lapar mulai terasa, kami memang belum sempat makan sesuatu sejak pagi.

BUNGA AJAIB DARI LAUT TENGAH

Lavender sejatinya bagian dari famili lamiaceae, masih satu jenis dengan mint, savory, dan thyme. Asal tumbuhan ini dari wilayah selatan Laut Tengah, masuk dalam jenis rumput-rumputan dan semak.

lavender

Bunga lavender. FOTO : MAKHFUD SAPPE

Tanaman lavender memiliki daun yang cukup beragam sesuai subgenusnya. Umumnya tanaman ini memiliki daun bergerigi atau menyirip. Bentuk bunganya menyerupai bunga alang-alang atau berkoloni dalam satu tangkai dengan beberapa varian warna biru, ungu, dan ungu kehitaman.

Lavender tumbuh subur di daerah yang berhawa dingin dengan ketinggian antara 600-700 m dpl. Di Eropa, lavender bisa dijumpai di Italia, Spanyol, dan Inggris. Di Asia lavender tumbuh di Cina dan India.  Di Canada juga bisa ditemukan tanaman ini.
Di Perancis, tanaman berwarna ungu ini mampu meningkatkan perekonomian petani. Provence adalah penghasil lavender terbesar di dunia.

Lavender mulai dikenal sejak zaman kuno, bahkan Shakespeare menyebut dalam sala satu naskahnya. Pada abad pertengahan bunga ini digunakan untuk pengobatan. Orang Roma menyebut lavender dengan lavare yang berarti mencuci atau menyegarkan. Selain dapat membangkitkan rasa damai dan menyegarkan otak, bunga lanvender juga mampu menjernihkan jiwa.

Sejak zaman Romawi kuno, bunga lavender sudah digunakan sebagai bahan parfum dan ritual agama. Bahkan lavender dianggap salah satu "tanaman mulia”. Ada yang menjulukinya “blue gold”.

Seiring perkembangan teknologi kesehatan dan kecantikan, bunga lavender diolah menjadi berbagai produkt kecantikan dan obat. Produk-produk kecantikan berbahan bunga lavender seperti produk L’octacine bisa kita jumpai di mal-mal, termasuk di Jakarta. Karena manfaatnya yang banyak, bunga ini dijuluki si ungu ajaib.

SAULT

Kami rehat di sebuah cafe kecil tidak jauh dari Gereja Notre-Dame-de laTour sambil menikmati cappucino dan karamel souffle, kue khas Perancis yang mirip muffin. Sault adalah kota kecil yang dikelilingi lembah kebun lavender dan gandum.

Kehadiran bunga lavender menjadi berkah tersendiri bagi kota ini. Di Saut masih bisa dijumpai beberapa rumah batu dari abad ke 16. Di sepanjang jalan banyak toko-toko yang menjual berbagai produk dari lavender seperti bunga kering lavender, bantal-bantal kecil berisi bunga kering lavender yang mengeluarkan bau harum, minyak lavender, madu, sabun, dan sebagainya. 

Sambil menikmati cappucino, Bruno, supir yang mengantar kami, kembali melanjutkan pelajaran sejarahnya.  Sepasang turis muda Jepang masuk kafe dan duduk  tidak jauh dari kami. Diam-diam mereka ikut menyimak penjelasan Bruno soal asal mula terjadinya negara Perancis.

Sault berada di atas bukit yang menghadap ke lembah Val Sault. Kota ini merupakan pemberhentian utama yang harus dijelajah jika ingin menikmati mekarnya lavender. Bulan Juni sampai Agustus masa lavender berbunga. Pada bulan itu, daerah Provence, termasuk Sault, berubah menjadi warna ungu dan aroma wangi bunga lavender memenuhi jalan-jalan dalam kota.
 
Menjelang siang, kami meninggalkan Sault. Dalam perjalanan pulang sambil menikmati landscape pedesaan Perancis Selatan, kami mendengarkan cerita Bruno soal kota tua Avignon yang terdapat Palais de Papas dan pernah menjadi tempat tinggal beberapa Paus dan masuk daftar situs dilindungi UNESCO sejak 1995.

Kami tiba kembali di Avignon sekitar jam dua siang. Waktu yang tersisa hari ini  akan kami habiskan melihat pertunjukan di festival Avignon, festival tahunan yang sudah berumur 70 tahun.  Besok kami sudah harus kembali ke Paris, membawa kenangan keindahan bunga ungu dari laut tengah.

(catatan perjalanan di 2016)

BACA JUGA :



Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru