Panen lavender sudah hampir usai, tersisa satu-dua desa yang belum panen. Jaraknya agak jauh dari sini,” begitu penjelasan yang kami dapat dari petugas di informasi wisata.
Setelah menghabiskan tiga jam perjalanan dengan TGV dari Stasiun Gare de Lyon, Paris, ditambah satu kali sambungan kereta lokal, saya bersama tiga teman perjalanan: Muchlis, Martini, dan Aimee, tiba Avignon Center Station, Provence. Kami menyeret tas keluar dari stasiun menuju kota tua Avignon yang kebetulan berhadapan dengan stasiun kereta.
Kota tua ini dikelilingi dinding tembok layaknya sebuah benteng. Ratusan poster dipasang secara acak. Beberapa ditumpuk dan digantung alakadarnya. Suasana sangat ramai, ternyata sedang berlangsung Festival Avignon. Festival ini telah digelar sejak tahun 1947. Festival yang menampilkan berbagai tarian, drama, dan pertunjukan jalanan dari berbagai negara.

Berbagai macam poster Avignon Festival tertempel di mana-mana. FOTO : MAKHFUD SAPPE
Kami menembus hiruk pikuk festival untuk mencari pusat informasi wisata. Kami ingin mencari informasi tentang tempat melihat kebun Lavender, tujuan utama kami ke Avignon.
“Panen lavender sudah hampir usai, tersisa satu-dua desa yang belum panen. Jaraknya agak jauh dari sini,” begitu penjelasan yang kami dapatkan dari petugas informasi wisata. Kami pun meminta bantuan untuk dicarikan kendaraan minibus dengan sopir yang bisa berbahasa Inggris untuk mengantar kami ke kebun Lavender.

Kota tua Avignon, Provence. Foto : Makhfud Sappe
Hari masih pagi sekali. Matahari belum menampakkan sinarnya. Udara dingin terasa di kulit. Mobil yang akan mengantar kami ke kebun Lavender sudah siap di depan hotel. Kamipun bergegas mengejar waktu agar bisa melihat bunga lavender di pagi hari.
“Sebagian besar bunga lavender sudah dipanen pada minggu lalu. Tahuni ini cuaca lebih panas dari tahun-tahun sebelumnya sehingga petani terpaksa memanen lavendernya lebih cepat,” ujar Bruno, sopir yang mengantar kami.
“Jangan khawatir,” ucapnya. Masih ada kebun lavender yang belum dipanen di daerah Sault. Kita akan ke sana," lanjut Bruno.
Memotret lavender sebenarnya saya rencanakan sebulan sebelumnya bersama teman yang saat ini bermukin di Paris. Rencana itu urung lantaran masa lavender mulai berbunga bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Dengan rencana yang tertunda, kali ini saya tak ingin kehilangan kesempatan untuk memotret lavender.
Mobil melaju pelan membelah subuh yang masih gelap. Dalam kegelapan terlihat jembatan ‘ Saint Benezet” yang tersisa separuh, jembatan ini dibangun pada abad ke-12 dan tercatat sebagai situs UNESCO sejak 1995.
Mobil bergerak meninggalkan Avignon menuju arah utara. Beberapa menit berselang, siluet bukit-bukit dan lembah di kiri kanan jalan mulai terlihat. Rupanya, kami sudah berada di daerah luar kota. Jalan agak menanjak dan berbelok-belok.
BACA JUGA : Paris, Mengurai Keindahan Kota Napoleon
Di layar ponsel, terlihat posisi kami perlahan bergerak melalui aplikasi Waze. Masih ada sekitar 60 kilometer lagi sebelum tiba di Sault.
Bruno mulai bercerita tentang kondisi daerah Provence. Ia benar-benar memahami wilayah ini, bukan hanya karena ia adalah penduduk asli, tetapi juga karena profesinya sebagai guru sejarah. Menjadi sopir wisata hanyalah pekerjaan sambilan baginya.
Daerah Provence, katanya, terkenal dengan kebun lavendernya, bahkan telah menjadi simbol daerah tersebut.
Sinar matahari mulai menampakkan cahayanya di wilayah ini, perlahan naik dari balik bukit, membawa kehangatan pagi.
Ladang gandum. FOTO : MAKHFUD SAPPE
Pemandangan pedesaan semakin jelas terlihat. Kami melewati ladang lavender yang sudah dipanen dan ladang gandum. Mobil kami keluar dari jalan beraspal, berbelok ke kiri memasuki jalan kecil berbatu. Kontur berbukit di sepanjang area ini memperlihatkan lapisan-lapisan lanskap yang begitu khas.
Kami berhenti di dekat kebun lavender yang luas dengan latar belakang Desa Sault yang tampak di kejauhan.
Matahari kini sepenuhnya bersinar terang. Langit cerah tanpa awan dengan bias biru muda yang lembut. Di depan mata terbentang ladang lavender berwarna ungu yang ditanam rapi dalam garis-garis teratur. Garis-garis itu memanjang melewati lembah, sejauh mata memandang menyerupai hamparan permadani dalam perpaduan warna ungu dan hijau. Kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak dan menangkap momen ini lewat kamera.
Suasana pagi masih tenang. Sesekali hanya ada grup kecil pesepeda yang melintas di jalan utama. Sinar matahari mulai menyentuh bunga-bunga lavender, membuat warna ungu mereka terlihat mencolok di layar kamera. Hembusan angin perlahan membawa aroma khas wangi lavender ke udara, menyatu dengan keheningan pagi.
Terasa keheningan pagi hari dengan harum lavender. Suara halus kepakan sayap serangga terdengar samar saat mereka berpindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Saya mulai memotret pemandangan ini, sementara teman perjalanan saya sibuk berswafoto di tengah hamparan lavender.
Menjelang pukul sepuluh pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Sault yang sudah terlihat jelas di depan mata, sebuah desa kecil di atas bukit yang dikelilingi kebun lavender. Perut kami mulai terasa lapar—wajar saja, kami belum sempat makan apa pun sejak pagi tadi.
BUNGA AJAIB DARI LAUT TENGAH
Lavender sejatinya adalah bagian dari famili Lamiaceae, dan masih satu jenis dengan mint, savory, dan thyme. Asal tumbuhan ini adalah dari wilayah selatan Laut Tengah, termasuk jenis rumput-rumputan dan semak.
Daun tanaman lavender cukup beragam, sesuai dengan subgenusnya. Umumnya, tanaman ini memiliki daun bergerigi atau menyirip. Bentuk bunganya menyerupai bunga alang-alang atau tumbuh berkoloni dalam satu tangkai dengan beberapa varian warna biru, ungu, dan ungu kehitaman.
Lavender tumbuh subur di daerah berhawa dingin pada ketinggian antara 600-700 m dpl. Di Eropa, lavender dapat dijumpai di Italia, Spanyol, dan Inggris. Di Asia lavender tumbuh di Cina dan India. Di Kanada, tanaman ini juga bisa ditemukan.
Di Prancis; tanaman berwarna ungu ini mampu meningkatkan perekonomian para petani. Provence adalah penghasil lavender terbesar di dunia.
Lavender mulai dikenal sejak zaman kuno, bahkan Shakespeare menyebutkannya dalam salah satu naskahnya. Pada abad pertengahan, bunga ini digunakan untuk pengobatan. Orang Roma menyebut lavender 'lavare,' yang berarti mencuci atau 'menyegarkan.' Selain dapat membangkitkan rasa damai dan menyegarkan otak, bunga lavender juga mampu menjernihkan jiwa.
Sejak zaman Romawi kuno, bunga lavender telah digunakan sebagai bahan parfum dan dalam ritual agama. Bahkan, lavender dianggap sebagai salah satu "tanaman mulia”. Ada yang menjulukinya "blue gold".
Seiring perkembangan teknologi kesehatan dan kecantikan, bunga lavender diolah menjadi berbagai produk kecantikan dan obat-obatan. Produk-produk kecantikan berbahan bunga lavender seperti produk L’Occitane, bisa kita jumpai di mal-mal, termasuk di Jakarta. Karena banyaknya manfaatnya, bunga ini dijuluki si ungu ajaib.
SAULT
Kami beristirahat di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari Gereja Notre-Dame-de Lion Air Tour, sambil menikmati cappuccino dan karamel souffle, yang merupakan kue khas Prancis yang mirip muffin. Kota Sault dikelilingi oleh lembah yang penuh dengan kebun lavender dan gandum.
Keberadaan bunga lavender adalah anugerah tersendiri bagi kota ini. Di Saut, masih bisa dijumpai beberapa rumah batu yang berasal dari dari abad ke-16. Banyak toko di sepanjang jalan menjual berbagai produk dari lavender, seperti bunga lavender kering, bantal kecil yang diisi dengan bunga lavender kering yang mengeluarkan bau harum, minyak lavender, madu, sabun, dan banyak lagi.
Sambil menikmati cappuccino, sopir kami, Bruno, yang mengantar kami, kembali melanjutkan meneruskan pelajaran sejarahnya. Sepasang turis muda Jepang masuk ke kafe dan duduk tidak jauh dari tempat kami. Mereka ikut mendengarkan saat Bruno menjelaskan tentang sejarah awal Prancis.
Sault terletak di puncak bukit yang menghadap ke lembah Val Sault. Kota ini merupakan tempat yang harus dikunjungi untuk melihat keindahan bunga lavender. Musim berbunga lavender adalah dari bulan Juni sampai Agustus. Pada bulan tersebut, wilayah Provence, termasuk Sault, dipenuhi warna ungu, dan jalan-jalan dipenuhi aroma wangi bunga lavender.
Menjelang siang, kami meninggalkan Sault. Dalam perjalanan pulang kami menikmati landscape pedesaan di Prancis Selatan sambil mendengarkan Bruno bercerita tentang kota tua Avignon, tempat Palais de Papas yang pernah menjadi kediaman beberapa Paus dan telah terdaftar sebagai situs warisan UNESCO sejak 1995.
Kami tiba di Avignon sekitar pukul dua siang. Waktu yang tersisa hari ini akan kami gunakan untuk menyaksikan pertunjukan di festival Avignon, festival tahunan yang telah berlangsung selama 70 tahun. Besok kami harus kembali ke Paris, membawa kenangan indah tentang bunga ungu dari Laut Tengah.
(catatan perjalanan di 2016)
BACA JUGA :
