Sebuah monumen aneh berdiri di tengah jantung kota, tepat di seberang Hotel Billiton tempat saya bermalam. Bagian utama monumen tersebut menopang satu kepalan batu besar berwarna legam mengkilap dan berkeriput mirip jeruk purut.
‘’Itu Batu Satam, hanya ada di Belitung,” jawab Bang Yunus, staf hotel, menjawabi tanya saya. ‘’Asalnya dari butiran meteor yang jatuh ratusan tahun lalu. Batu Satam tidak bisa dihancurkan atau dipotong dengan alat apa pun. Ia punya kekuatan, dipakai untuk melindungi tubuh dari unsur negatif maupun tenung,” lanjutnya lagi
Ihwal Batu Satam yang ‘’magis’’ kedengarannya itu benar-benar hal baru untuk saya. Maklum, citra Belitung di benak para pejalan telanjur dimonopoli oleh gambaran pantai-pantai indah semata.
Saya baru tiba di Tanjung Pandan, Ibu Kota Belitung, setelah terbang selama 45 menit dari Jakarta. Ditilik dari jendela pesawat, permukaan pulau seluas 4,800 km persegi ini datar saja, tanpa gunung atau bukit menjulang sebagaimana umumnya tampilan pulau-pulau seukurannya di Indonesia Timur sana.
Bagian paling tinggi dari Belitung diwakili Gunung Tajam, dengan titik atasnya hanya setinggi 500 meter. Yang agak mencuri perhatian adalah kolam-kolam bekas penambangan timah tersebar di banyak tempat. Beberapa dari mereka berair hijau kebiruan tak ubahnya danau belerang.
Kesan tua mengambang di Tanjung Pandan. Dari jejeran pertokoan milik saudagar Tionghoa, klenteng, hingga gedung-gedung lapuk peninggalan Belanda. Kilasan cerita Bang Yunus tentang Batu Satam dan wajah kota yang masih bernuansa ‘’sephia’’ ini menerbitkan rasa penasaran akan sejarah Belitung.
‘’Di dekat sini ada museum yang didirikan oleh orang Belgia. Cobalah tengok isinya, kau akan tahu banyak tentang masa lalu negeri kami,” saran pria berwajah teduh itu.
Bebatuan gigantis di Tanjung Tinggi, pesisir utara Belitung. Foto VALENTINO LUIS
KUBURAN HARTA KARUN
Sudah lazim sebelum mengeksplor tempat baru, saya mendatangi kantor Dinas Pariwisata lokal untuk menghimpun data objek. Di Belitung, buku panduan serta peta wisata dibuat lumayan rinci, diberikan cuma-cuma saat saya bertandang. Tidak banyak sebetulnya dinas pariwisata daerah di Indonesia yang memberi pelayanan informasi secara profesional. Banyak yang ogah-ogahan, bahkan buta soal denah wisata daerah sendiri.
Saya segera menuju Museum Belitung yang berhadapan dengan rumah sakit. Bangunannya bergaya antik Eropa. Museum yang didirikan ahli geologi asal Belgia, DR Osberger, ini menjadi tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah milik kerajaan setempat serta bermacam properti penambangan timah zaman dahulu.
Interior museum tertata dengan baik, display-nya pun rapi. Sewaktu menelisik satu per satu barang pajangan, mata saya tertuju pada sebuah model ikan yang telah diawetkan. Ukurannya sangat besar, mirip ular anaconda. Ikan arapaima namanya, tapi oleh penduduk Belitung disebut ikan ampong. Hewan air tawar langkah dan ganas ini dibilang masih ada di Sungai Lenggang Gantung, Belitung Timur.
Daya tarik utama museum ini sebetulnya pada koleksi porselen yang tak lain merupakan harta karun perairan Belitung yang sempat menghebohkan para arkeolog dunia pada akhir tahun 1990-an. Ceritanya, pada 1998 nelayan setempat menemukan porselen tua di Laut Belitung. Sebuah tim ekspedisi Jerman tertarik menelitinya. Betapa mengejutkan, dalam waktu singkat ditemukan lebih dari 60 ribu porselen tergeletak bergerombol di Laut Belitung.
Dari hasil penelitian diketahui porselen tersebut berasal dari Dinasti Tang di China (abad ke-9) yang diangkut pelaut Arab dan tenggelam oleh badai. Sebagian besar harta karun itu dijual oleh pemerintah ke berbagai museum dunia serta kolektor barang antik. Hanya ratusan yang tersisa disimpan di Belitung.
Saya menyempurnakan penelusuran historis Belitung dengan mendatangi areal pinggir dermaga yang terisi oleh jejeran bangunan tua dari masa Onderafdeling kompeni. Pamor pulau berpenduduk 300 ribu jiwa ini sudah lama melambung ke pasar dunia oleh timah, biji besi, dan pasir silica. Gedung Billiton Maatschappij serta Handel Maatschappij berumur hampir dua abad hanya dua contoh Belitung sejatinya punya banyak harta.
BACA JUGA
JEJERAN PANTAI DAN PULAU MOLEK
Cara paling menyenangkan untuk berpelesir di Belitung adalah dengan mengendarai sepeda motor. Kondisi jalan rayanya mulus dan lebar. Kendaraan tidak banyak berseliweran. Hal lain yang saya kagumi adalah kebersihannya. Tak ada tumpukan sampah. Lebatnya hutan pun masih menghiasi kiri-kanan jalan, memberi kesejukan perjalanan. Belum lagi penduduk yang tak segan menyapa ramah.
Dari Tanjung Pandan, saya beralih ke pesisir utara. Tujuannya mudah ditebak: ke pantai-pantai indah berhias bebatuan granit. Nama Belitung meroket saat penulis Andrea Hirata mengurai sudut-sudut pulau kelahirannya itu melalui buku seri Laskar Pelangi. Sukses buku disusul oleh film yang semakin nyata mempertontonkan kemolekan pantai-pantainya.
Pasir putih di Pulau Lengkuas Foto VALENTINO LUIS
Mula-mula saya ke Pantai Tanjung Bira. Disini hidup komunitas nelayan dengan pola unik. Mereka membangun tempat penjemuran di atas pantai setinggi 5 meter dari bilah-bilah kayu berbaris lebar. Beralih kemudian ke Pantai Tanjung Kelayang, terpisah sekitar 6 km. Serakan bebatuan granitnya membentuk formasi-formasi unik, termasuk Batu Burung Garuda. Pulau-pulau mungil yang dilingkari pasir putih amat menggoda untuk disinggahi.
Pemandangan agak lain ketika saya tiba di Pantai Tanjung Tinggi. Dibanding pantai-pantai lain, di sini kerumunan orang tak pernah sepi. Alasannya, pengambilan gambar film Laskar Pelangi berlangsung di Pantai Tanjung Tinggi ini. Gelondongan bebatuan granitnya sangat masif. Saking besarnya, pengunjung yang tidur-tiduran di atas batu terlihat sekecil semut.
Saya bermalam di Tanjung Kelayang. Banyak penduduk menyewakan kamarnya bagi tetamu. Rupanya konsep homestay yang dicanangkan pemerintah setempat cukup sukses. Keluarga Pak Eron, misalnya, ikut program ini dan merasa lebih peka terhadap isu-isu lingkungan. Soal kebersihan, sikap, dan fasilitas. Mereka membantu saya mencarikan kapal untuk trip ke pulau-pulau impian. Bahkan sang istri pagi-pagi sudah menyiapkan bekal makanan untuk saya bawa sebab trip dimulai jam 8 pagi.
Saat kapal mulai melajuh menuju Pulau Lengkuas, suami-istri itu melambaikan tangan diiringi senyum. Saya tersadar, inilah bentuk pariwisata yang lebih mengena. Bahwasanya keikutsertaan warga dalam kepemilikan sebuah usaha wisata atau pengelolaan areal pelesiran akan mendorong tourism responsibility yang lebih kuat karena, bagaimanapun, warga lokal merupakan pemain utama berhasil-tidaknya pariwisata daerah.
Terkadang kita berpikir perubahan baru terjadi jika investor-investor besar turun tangan, lalu kita lupa bahwa nyatanya mereka tidak hidup di tempat itu, tapi malahan meraup lebih banyak keuntungan ketimbang penduduk lokal.
Mercusuar Pulau Lengukuas samar-samar mulai tampak. Di siang hari ia dilabuh penikmat keindahan, di waktu malam cahayanya meyakinkan nelayan mencari nafkah. Saya percaya pembangunan dan wisata Belitung akan tumbuh seperti mercusuar ini.
‘’Semua orang mencintai tanah airnya. Tapi cinta saja tak cukup, harus juga ambil bagian dalam pengembangannya. Semampu kita.” terngiang kata-kata Pak Eron. (*)
Artikel ini pernah dimuat di inflight Lionmag edisi Januari 2015
ARTIKEL DESTINASI LAINNYA :