klenteng-tay-kak-sie
Setiap pagi menjelang siang, asap dupa yang dinyalakan di pedupaan mendapat sinar yang ditegaskan oleh background gelap. | Foto Paul Zacharia
Destination
Klenteng Tay Kak Sie
Paul I Zacharia
Fri, 19 Aug 2022

Sebagian besar di antara kita menganggap klenteng di Semarang hanya Klenteng Cheng Ho. Namun, ada satu klenteng lain yang juga memesona arsitekturnya meski berukuran lebih kecil. Selain itu, klenteng ini jauh lebih mudah dijangkau warga Pecinan di Semarang.

Pada awalnya warga Tionghoa di Semarang, Jawa Tengah, harus beribadah di Klenteng Gedung Batu di daerah Simongan. Padahal pemerintah Hindia Belanda telah melokalisir mereka ke tempat yang mudah dipantau di sekitar Kali Semarang (sekarang dikenal sebagai Pecinan Semarang).

Jarak yang harus ditempuh warga untuk bisa mencapai bukit Simongan dari wilayah sepanjang Kali Semarang terbilang sangat jauh, mengingat aktivitas Kota Semarang kala itu masih berpusat di wilayah kota lama sekarang. Kondisi ini menginspirasi seorang saudagar bernama Khouw Ping (Xu Peng) mencari solusi.


Areal persembahyangan yang terpisah dari altar utama memberi keleluasaan. Foto PAUL ZACHARIA

Pada 1724, ia mendirikan sebuah rumah pemujaan yang kemudian dinamai Kwan Im Ting. Klenteng kecil itu lambat laun berubah menjadi pusat keramaian. Daerah sekitarnya juga berkembang menjadi semakin ramai dan padat. Maka, dirasa penting dan mendesak rumah ibadah itu menempati lokasi yang lebih luas.

Atas petunjuk ahli Feng Shui, beberapa saudagar Tionghoa memilih sebuah areal tanah luas di tepi Kali Semarang yang saat itu masih berupa kebun lombok (cabai). Pada 1772, setahun sejak mulai dibangun, berdirilah sebuah klenteng yang dinamai Tay Kak Sie (Kuil Kesadaran). Karena berlokasi di atas kebun lombok, klenteng itu pun dikenal pula sebagai Klenteng Gang Lombok.

Posisinya di tepi sungai dikenang melalui replika kapal dagang Tiongkok yang terparkir permanen sebagai lokasi untuk berbagai fungsi. Kali Semarang kala itu memang masih lebar dan dalam, sehingga bisa dilalui perahu serta tongkang yang hilir mudik dari laut hingga menusuk jauh ke dalam kota. Perdagangan di wilayah itu menjadi semakin ramai dan maju.


Altar beberapa dewa dalam kuil terhias rumit, namun tetap rapi. Foto PAUL ZACHARIA

Karena sebagian besar gudang di wilayah itu dimiliki Khouw Ping, lambat laun tempat tersebut dikenal penduduk sekitar sebagai ‘’Sungai Khouw Ping’’, dalam logat Semarangan disebut ‘’Kalinya Khauw Ping’’. Secara historis pendiri Klenteng Khauw Ping itu terlestarikan. Pelafalan oleh warga lokal Semarang kemudian menyederhanakannya menjadi Kali Koping.

BACA JUGA

   

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Lionmag edisi Februari 2015




Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru