Palembang dahulu kala menjadi persinggahan bangsa Tionghoa. Beberapa jejak sejarah tersebut terlihat di Kampung Kapitan dan Pulau Kemaro. Di Kampung Kapitan, peninggalan sejarah Tionghoa terlihat jelas di dua bangunan rumah dan taman dengan ikon pagoda di tengahnya.
Kampung Kapitan berada di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberan Ulu 1, Kapitan Palembang. Letaknya ada di tepi ulu Sungai Musi. dari bawah Jembatan Ampera. Kampung ini sudah diresmikan menjadi cagar budaya pada 2013.
Sejarahnya bermula saat runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad XI yang disusul pula dengan kedatangan bangsa Tiongkok (Dinasti Ming) ke nusantara pada abad XIV. Pada masa itu pemerintahan Tiongkok membentuk lembaga dagang yang salah satunya berpusat di Palembang.
Pada masa kolonial, Belanda mengangkat perwira Tiongkok berpangkat mayor untuk mengatur wilayah 7 Ulu, mayor tersebut dikenal dengan nama Mayor Tumenggung dan Mayor Putih. Setelahnya, jabatan tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun kepada pewarisnya, hingga pada akhirnya jabatan tersebut dijabat oleh Tjoa Kie Cuan (1830) dan diteruskan oleh putranya Tjoa Ham Hin yang kemudian oleh Belanda diberi gelar Kapitan Cina di tahun 1855.
Status khusus Kapitan ini memiliki tempat tinggal yang berbeda. Bangunan rumahnya kental dengan gaya Tionghoa dengan sentuhan Palembang yang khas. Di dalam kampung ini, ada 15 bangunan rumah tetapi tidak semua bergaya China.
Yang paling mencolok adalah bangunan rumah Sang Kapitan dengan tiga bangunan inti yang paling besar. Ketiga bangunan menghadap Sungai Musi dengan atap mengadopsi gaya rumah Palembang yang berbentuk limas. Sedangkan gaya China terasa di bagian dalam dan bagian tengah kompleks rumah.
Bangunan ini memiliki area terbuka di bagian tengahnya yang berguna untuk jalur masuk udara dan cahaya matahari. Di bagian dalamnya, ada meja altar yang berguna untuk beribadah. Ada juga foto Kapitan ke-10 di bagian dalam rumah yang bisa dilihat para pengunjung.
Warna merah yang mayoritas pun mengentalkan suasana khas China. Namun setelah hadir Belanda, rumah ini sedikit juga dipoles dengan sentuhan Eropa.
Kini interiornya tetap di pertahankan seperti dahulu kala. Mulai dari kamar hingga ruang kerja sang Kapitan. Di bangunan satu lagi juga dihiasi dengan foto-foto keturunan sang kapitan hingga kini.
Keberadaannya kerap jadi salah satu destinasi utama di Palembang saat momen Cap Go Meh. Selain Kampung Kapitan, destinasi saat Cap Go Meh lainnya adalah Pulau Kemaro.
Kisah Cinta Pulau Kemaro
Tidak jauh dari Jembatan Ampera, terdapat Pulau Kemaro, sebuah delta yang menyimpan cerita rakyat Palembang. Menuju pulau ini bisa dengan menyewa perahu cepat (biasa disebut perahu ketek). Butuh sekitar 30 menit untuk sampai di pelabuhan sederhana yang menjadi pintu masuk Pulau Kemaro.
Pulau Kemaro memiliki berbagai situs yang melengkapi legendanya. Situs-situs tersebut, antara lain, pagoda, makam penunggu pulau, klenteng, tempat pembakaran uang kertas, dan pohon cinta.
Keberadaan Pulau Kemaro tidak terlepas dari legenda terbuangnya harta Tan Bun An, saudagar asal China, di perairan Sungai Musi. Tan menjalin kasih dengan perempuan asli Palembang bernama Siti Fatimah. Tan lalu mengajak Siti Fatimah ke rumah orangtuanya guna mendapatkan restu pernikahan. Orangtua Tan menghadiahi mereka tujuh guci.
Tan kaget saat membuka guci yang, ternyata, berisi sawi-sawi asin. Tanpa pikir panjang, ia membuang guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Saat dibuang tujuh guci tersebut pecah dan Tan mendapati harta dalam sawi-sawi asin.
Tan menyesali perbuatannya dan langsung terjun ke sungai mencari harta yang telah dibuangnya. Setelah lama tidak muncul ke permukaan, Siti Fatimah ikut menceburkan diri ke sungai. Akhirnya mereka menghilang bersamaan dengan harta yang telah dibuang Tan di perairan Sungai Musi.
Latar cerita tragis Pulau Kemaro rasanya tidak tecermin dalam keberadaannya kini. Pulau ini cukup terjaga kebersihannya. Keberadaan Klenteng Tua Hok Cin Bio pun masih terawat baik.
Semakin menarik lagi setelah dibangun pagoda sembilan lantai yang tersembul di tengah pulau. Pada sisi-sisi lantai dasar pagoda terdapat cerita yang menggambarkan legenda Pulau Kemaro. Puncak pagoda berbentuk menyerupai guci.