SETELAH usai sidang gabungan Pengurus Pusat dan Badan Pekerja Kongres PWI (yang berlangsung mulai tanggal 29 November sampai dengan 1 Desember 1982 di Jayapura), tanggal 2 Desember para peserta berwidya wisata ke Wamena, yang terletak di Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Saya pribadi mempunyai minat khusus untuk berkunjung ke Wamena ini, antara lain disebabkan Gubernur Irja (beberapa periode yang lalu) Acup Zainal pernah melancarkan "operasi koteka". Kemudian munculnya sebuah nama tokoh: "Obahorok". Operasi koteka dan Obahorok ini pernah ramai diperbincangkan di media massa Indonesia, bahkan juga di luar negeri.
Sebelum para peserta sidang berwidya wisata ke Wamena, kami dibrifing oleh salah seorang anggota panitia tentang hal-hal yang perlu diperhatikan, seperti: adat-istiadat suku Dani, cuaca dan suhu, serta bagaimana cara kalau memotret dan berbelanja. Selain itu, diterangkan juga bagaimana kritik dan dramatiknya saat-saat menjelang pesawat landing kalau kebetulan cuaca berkabut. Pesawat yang bersiap landing di Wamena yang terletak di Lembah Baliem itu harus melalui salah satu "pintu" yang dibatasi dua bukit yang cukup sempit dan berbahaya. Kalau kedua pintu itu sedang diselimuti kabut, maka pendaratan pesawat dibatalkan. Kalau juga lolos, maka pesawat akan mendarat dalam keadaan meliuk-liuk bagai menuruni jalan spiral ke bawah. Begitu pula kalau mau take-off, harus pula berputar-putar ke atas. Keterangan ini menimbulkan rasa ngeri. Di antara kami ada yang tiba-tiba berniat membatalkan perjalanan, tetapi daya tarik lembah Baliem rupanya cukup dominan sehingga niat itu tidak diwujudkan.
Informasi yang kami peroleh (dari seorang anggota panitia yang memang bukan orang Irja) itu, khususnya yang menyangkut suhu, menimbulkan persoalan tersendiri bagi saya. Saya tidak membawa jaket atau sweater dari rumah. Waktu sebelum berangkat ke airport Sentani, saya gunakan mencari jaket di toko-toko Jayapura. Setelah cukup capai ke sana ke mari, ternyata tak ada jaket yang cocok ukurannya dengan badan saya. Apa boleh buat, saya pakai saja jas yang di dalamnya kemeja lengan panjang berlapis baju kaus oblong, berlapis lagi singlet, yang seumur hidup belum pernah saya lakukan. Pelapis tubuh yang setebal ini saya pakai didorong perasaan ngeri kedinginan yang menurut keterangan suhu Wamena dapat anjlok sampai ke bawah titik beku.
Coba, siapa yang tidak ngeri mendengar keterangan itu? Tetapi apa yang terjadi? Begitu pesawat mendarat dengan empuk, begitu pintu pesawat terbuka, udara dan angin yang bertiup ke dalam tubuh pesawat terasa hangat. Barisan penyambut tamu, yang rata-rata tidak ber- busana itu, membuat saya tiba-tiba merasa sangat kegerahan. Rombongan kami seluruhnya berjaket, kecuali saya berjas. Selain janggal sendiri, juga keringat mengalir tidak ketulungan. Mau dikemanakan jas ini? Mau dibuang saja, mubazir namanya; mau dipegang, merepotkan sekali. Terpaksa dipakai terus, sambil memaki-maki (dalam batin) si pemberi informasi yang menyesatkan itu. Yang merasakan panas itu ternyata bukan saya sendirian. Seluruh rombongan selain merasa jengkel, juga merasa lucu karena begitu mudah terkibul oleh informasi yang datangnya dari "oknum" panitia yang rupanya kurang well-informed itu.
*****
SEPINTAS lalu, penduduk lembah Baliem ini mungkin saja masih kurang "beradab". Kaum laki-lakinya masih kebanyakan menutup auratnya dengan "koteka", sedangkan kaum perempuannya masih bertelanjang dada. Tetapi anggapan bahwa mereka itu masih kurang "beradab", sama sekali tidak benar. Mereka hidup dalam masyarakat yang mengenal aturan dan adat-istiadat. Misalnya, kalau mereka berperang, anak-anak, kaum wanita, orang cacat dan orang tua harus dilindungi, tidak boleh dibunuh. Hubungan seks dan perkawinan juga punya aturan yang ketat, salah-salah bisa menimbulkan perang.
Walaupun memang masih sangat bersahaja, mereka telah mengenal upacara-upacara yang berkaitan dengan panen, menjelang dan seusai perang, menyambut tamu, dan lain-lain. Mereka juga berkesenian. Tarian dan nyanyian dalam masyarakat Dani, pendu-duk lembah Baliem, seperti halnya dalam masyarakat modern, mengandung arti tertentu. Di samping nyanyian yang mengandung pemujaan kepada kepala suku, juga mereka kenal nyanyian yang berisi sindiran, ejekan, dan saran. Juga lewat nyanyian diajukan permohonan pergantian kepala suku nanti, ditunjukkan anak kepala suku yang mereka inginkan. Ejekan biasanya ditujukan kepada orang yang tidak disenangi karena perbuatannya merugikan dan mencemarkan masyarakat.
Nyanyian atau pengiring tarian memang masih monoton, tetapi terasa cukup mencekam dan menimbulkan rasa haru terutama yang menyatakan perasaan duka. Kebiasaan mereka selalu membawa alat musik tiup yang disebut "pikon' yang dibuat dari sejenis bambu. Dalam perjalanan, benda ini biasanya dipasang pada lubang daun telinga. Pikon selain berfungsi sebagai alat musik, juga digunakan sebagai isyarat dengan suara-suara tertentu sehingga kawannya dapat mengetahui dan bertindak setelah mendengarkan isyarat tersebut. Pencipta lagu adalah kaum laki-laki yang berhubungan erat dengan suasana dan keadaan yang dialaminya. Bahasa sandi yang digunakan dengan alat musik pikon ini cukup terjamin kerahasiaannya, bahkan dalam hal-hal tertentu kaum wanita sama sekali tidak boleh mengetahuinya. Setelah mendengar dan mengetahui isyarat pikon, kaum laki-laki berkumpul di dalam "honey" (gubuk) mereka untuk bermusyawarah, kemudian mengambil langkah yang telah dimufakati bersama.
Saya pribadi merasa sangat berbahagia sempat berkunjung ke Wamena, walau cuma 5 jam. Kejengkelan saya kepada oknum panitia yang memberi informasi yang mengerikan itu segera terhapus setelah menikmati hasil jepretan tustel saya yang sempat merekam lembah Baliem dalam 105 lembar foto berwarna ukuran kartu pos. Saya mencoba belajar lebih banyak terhadap keanekaragaman kebudayaan di Indonesia. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri, seperti keunikan kebudayaan penduduk lembah Baliem ini.*****