Semburat jingga baru terpancar dari balik Lawang Sewu, landmark ikonik Kota Semarang, Jawa Tengah.
Semburat jingga baru terpancar dari balik Lawang Sewu, landmark ikonik Kota Semarang, Jawa Tengah. Di seberangnya, Tugu Muda bergantian memancarkan rona ungu dan merah jambu. Persandingan Tugu Muda, monumen bersejarah Kota Semarang, melengkapi sisi historis Lawang Sewu. Tugu ini dibangun untuk mengenang Pertempuran Lima Hari di Semarang melawan penjajah Jepang.
Keberadaan Tugu Muda terkait erat dengan Lawang Sewu. Pada masa lalu, di lokasi Lawang Sewu itu tentara Jepang dipaksa bertempur oleh Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang berusaha mengambil alih kereta api. Bangunan yang mulai didirikan pada 1904 dan selesai pada 1907 tersebut, pada awalnya, memang difungsikan sebagai kantor perkeretaapian. Oleh karena itu pula hingga kini Lawang Sewu dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia.
Sengaja saya datang ke Lawang Sewu sejak dini hari. Selain HAKA Hotel Semarang, tempat saya menginap, tidak begitu jauh, momen matahari terbit merupakan waktu yang tepat untuk mengambil foto. Setelah itu baru masuk Lawang Sewu yang dibuka pukul 07:00 hingga 21.00 WIB.
Matahari pun meninggi. Usai membayar Rp 10 ribu di pintu tiket Lawang Sewu, ditemani seorang pemandu wisata saya mulai menjelajahi tiap-tiap sudut Lawang Sewu.
Kisah di Balik Lawang Sewu
Jika dilihat dari ketinggian (aerial), Lawang Sewu yang berada di Simpang Lima dikelilingi bangunan bersejarah, di antaranya Gereja Katedral Belanda, Museum Mandala Bhakti (dulu Pengadilan Hindia Belanda), Wisma Perdamaian (dulu kantor residen), serta di tengah-tengah terdapat Wilhelminaplein (Taman Wilhelmina) – lokasi berdirinya Tugu Muda.
Memasuki bagian pertama Lawang Sewu, serasa saya langsung dibawa menuju masa silam. Di sini terdapat museum, galeri, peta-peta, dan foto-foto zaman dulu. Kota Lama Semarang berada di timur laut Lawang Sewu, merentang sepanjang 2,7 kilometer dari Simpang Lima hingga Jembatan Berok, menyimpan 101 bangunan cagar budaya, termasuk di dalamnya Gereja Blenduk.
Pembangunan Lawang Sewu oleh Hindia Belanda berlangsung sepanjang 1904-1907 untuk Het Hoofdkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat Administrasi Kereta Api – NIS). NIS menunjuk Prof Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari Amsterdam sebagai arsitek.
Pembangunannya dilakukan dalam empat tahap. Satu tahap satu gedung. Gedung pertama yang dibangun pada 1904 adalah bagian belakang sebagai tempat percetakan tiket kereta api. Berikutnya adalah gedung utama dengan kaca patri indah, pada 1905-1907, yang menjadi Ruang Direksi PT Kereta Api.
Ornamen kereta api memang mendominasi beberapa bangunan. Beberapa barang peninggalan zaman dulu pun masih tersimpan rapi, seperti alat hitung yang dipakai bendahara stasiun atau unit Kas Besar Kantor Kereta Api. Alat-alat yang berkaitan dengan perkeretaapian juga tersimpan rapi. Ini bisa menjadi media edukasi yang baik tentang sejarah perkeretaapian Indonesia pada zaman dulu.
Kian Populer Pascapemugaran
Sempat tidak terurus, pada 2011 bangunan ini dipugar. Pemugaran inilah yang menjadi titik balik Lawang Sewu, menjadikannya salah satu destinasi wisata favorit di Semarang. Arsitekturnya nan unik membuat bangunan ini memiliki banyak tempat menarik untuk berswafoto maupun foto berkelompok.
Terlebih, ia ditunjang dengan kemajuan teknologi dan kian besarnya efek media sosial. Fenomena ini tidak hanya membuat Lawang Sewu sebagai sarana edukasi sejarah, tetapi juga destinasi kekinian untuk kawula muda.
Lawang Sewu berarsitektur khas Eropa yang megah. Salah satu ciri khasnya adalah pintu yang tinggi dengan daun pintu berlipat. Yang unik, satu pintu bisa memiliki daun pintu hingga enam lapis. Maka bangunan ini pun dinamai Lawang Sewu (Seribu Pintu) meski, berdasarkan data usai pemugaran, jumlah pintunya tidak sampai seribu.
‘’Setelah restorasi itu mulai sinkronisasi data-data wisata untuk panduan tour guide, termasuk penghitungan pintu. Jadi yang dihitung itu daun pintunya. Jumlah pintu sebenarnya, setelah dihitung, ialah 928 daun pintu, tidak sampai 1.000. Namun, masyarakat saat itu menyebutnya Lawang Sewu karena memang memiliki pintu yang amat banyak,” ujar Krisdani, pemandu wisata khusus Lawang Sewu sejak tahun 2000.
Krisdani mengatakan pernah ada penghitungan jumlah pintu pada 2011. Tepat di tahun tersebut, Lawang Sewu sedang dipugar besar-besaran. "Total dari lima gedung, paling banyak Gedung A, gedung utama, karena memang paling besar,’’ ujarnya.
Lawang Sewu memiliki lima gedung dengan fungsi pada masa lalu berbeda-beda. Perbedaan ini dikelompokan berdasarkan jenis pekerjaannya. ‘’Kalau di Gedung A isinya orang-orang penting, pusatnya. Kalau di B itu paling banyak orang pribumi yang menjadi karyawan bawahan,’’ kata Krisdani.
Dikaui Krisdani, tren berswafoto dan group photo di kalangan wisatawan saat ini turut meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Tidak heran jika Krisdani terlihat sigap dan bersemangat memberikan informasi kepada saya titik-titik favorit untuk berfoto. Mulai dari lantai satu hingga yang paling atas dengan ciri rangka kayu yang khas menjadi “buruan” para pencinta foto. Situasi ini membawa sisi positif bagi destinasi wisata di Lawang Sewu.