takdir
Ilustrasi | Ai
Bacaan Sekolom Sambil Minum Kopi
TAKDIR
By Arsal Alhabsi
Sat, 12 Oct 2024

HARI Ahad 19 Mei yang lalu saya terbang dari Jakarta ke Makassar. Saya menggunakan pesawat domestik, penerbangan pertama, yang tinggal landas pukul lima subuh. Ini berarti, dua jam sebelumnya yaitu pukul tiga dini hari, saya mesti sudah meninggalkan rumah di Jakarta menuju Cengkareng, Bandara Soekarno-Hatta.

Di dini hari seperti itu, lalu lintas masih lengang. Mobil keluarga yang saya tumpangi saya minta tak usah ngebut, sebab tak ada yang perlu dikejar. "Perintah" saya tersebut secara langsung menyiksa Andi—si pengemudi, yang tak lain adalah kemanakan saya sendiri—yang terkenal di kalangan teman-temannya sebagai hell-driver yang sangat berani dan terampil.

Perintah tersebut saya keluarkan bukan tanpa alasan. Saya berkali-kali menyaksikan terjadinya tabrakan maut justru di saat lalu lintas sedang lengang. Apa yang saya khawatirkan betul-betul terjadi. Sebuah sedan Mercy Boxer hancur berantakan karena bertabrakan dengan sebuah mobil pick-up Kijang Super. Musibah yang mengerikan itu terjadi di wilayah Slipi. Jika mengamati keadaan fisik kedua mobil yang naas itu, hanya 'mukjizať yang mampu menyelamatkan para penumpangnya.

Lalu-lintas yang tadinya lengang, tiba-tiba menjadi ramai. Mobil-mobil yang lewat, sengaja atau tidak, terpaksa berhenti untuk menyaksikan peristiwa yang mengerikan itu. Itulah sebabnya lalu-lintas di dini hari, sekitar pukul 3:20 menjadi macet sementara. Dari jarak lebih-kurang delapan meter, terlihat jelas plat nomor polisi sedan mewah tersebut masih berwarna putih. Artinya, masih nomor "percobaan"! Jika si pemilik sendiri hadir di dalamnya di saat itu dan nyawanya tak tertolong lagi, maka pada detik awal kematiannya telah menelan biaya di sekitar Rp 300 juta. Suatu kematian yang sangat menyedihkan, dan sekaligus cukup "mewah".

Setelah kami meninggalkan tempat kecelakaan itu, meneruskan perjalanan ke airport, sesekali saya mencari sesuatu di wajah Andi. Adakah sejenis kengerian terbayang di situ? Apakah peristiwa maut tadi memantulkan sesuatu ke dalam jiwanya? Jawaban yang saya inginkan tak muncul sama sekali. Ekspresi wajah Andi polos-polos saja, mulutnya bersiul diselang-selingi nyanyian kecil.

"Sebagai seorang yang gemar ngebut, apakah peristiwa yang barusan kita saksikan itu tidak memantulkan kengerian di dalam dirimu?" Saya mencoba mengusik Andi.

Andi tidak segera bereaksi. Pada air mukanya terbaca, ia sedang berpikir dan menyusun jawaban yang sejitu mungkin. Setelah memeras otaknya beberapa saat, ia meluncurkan jawaban:

"Bagi saya, peristiwa tadi tidak mengerikan. Jika di dalam kedua mobil tadi sang maut merampas korbannya, maka para korban sekadar menjalani takdirnya. Tidak lebih!"

Saya terperanjat mendengar jawaban yang sama sekali tak terduga, tetapi saya berusaha keras menyembunyikannya.

"Oom percaya 'kan bahwa takdir tak dapat dielakkan. Semua kita akan menjalaninya sendiri-sendiri. Di antara teman-teman, sayalah hell driver number one. Tetapi modal saya tidak sekadar keberanian. Saya juga mengandalkan pengalaman, kejituan perhitungan, keterampilan mengemudi, dan kemampuan menyatukan roh dengan mobil yang saya kendarai. Artinya, tidak sembarang mobil yang dapat saya gunakan ngebut!" Andi mengucapkan kata-kata itu dengan suara datar dan penuh percaya diri.

Perjalanan singkat dari rumah ke Cengkareng—yang diinterupsi beberapa saat di wilayah Slipi—sempat melahirkan penilaian baru terhadap Andi. Dia yang selama ini saya anggap mewakili kelompok pemuda yang cuek terhadap apa saja yang berada di luar diri dan kelompoknya, ternyata mampu bersikap dan bernalar. Lebih dari itu, ia mampu "membingkai" perasaannya untuk tidak terlalu hanyut dalam ketegangan dan kengerian.

Konsep "takdir" yang dianutnya, berhasil membuatnya mengalir dengan tenang ke hari-hari yang akan datang. Takdir apa yang akan datang dan takdir apa yang menunggunya di sana tak pernah dipersoalkannya.*****

* Tulisan ini bagian dari buku kumpulan tulisan Arsal Alhabsi  "WARTAWAN KOBOI'. 

* Pernah di muat di Harian Fajar tahun 1994-1996 dalam Kolom : Bacaan Sekolom Sambil Minum Kopi. 



Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru