pesona-merah-bata-marakech
Alun-alun Elfna dilihat dari menara Masjid Koutoubia. | foto Makhfud sappe
Destination
Pesona Merah Bata : MARAKECH
Makhfud Sappe
Wed, 29 Jun 2022

Dari atas, kota ini berwarna merah. Tidak sempurna kunjungan kesini tanpa berbelanja di souk, lorong-lorong di alun-alun el Fna.

Pukul tiga dini hari, suhu di kota Paris mengambang di level 4 derajat Celcius. Bersama seorang kawan seperjalanan, Safari Aziz,  kami berdiri  di depan hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Porte Maillot, terminal shuttle bus yang selanjutnya akan mengantar kami ke Beauevais Airport, salah satu bandara low cost yang berjarak 60 km dari Paris. Pagi itu kami akan ke Marrakech.

Sekitar dua jam kemudian, pesawat yang membawa kami ke Maroko sudah mendekati Menara Airport, Marrakech. Dari atas, kota Marrakech kelihatan dominan berwarna merah bata.

Udara sejuk menerpa begitu keluar dari pesawat. Inilah cuaca antara musim dingin Eropa dan udara panas gurun Afrika, Maroko memang berada di ujung atas benua Afrika. 

Proses imigrasi pun cepat. Kami yang memegang paspor Indonesia menggunakan visa on-arrival untuk masuk ke Maroko. Seperti halnya bila kita berkunjung ke sesama negara ASEAN.   

Marrakech juga disebut “Red City” atau Al Hamra (warna merah) Hal itu mungkin karena hampir semua bangunan berwarna merah bata.

Berada di kaki pegunungan Atlas, Marrakech  adalah kota kedua di Maroko dan telah menjadi kota wisata utama di bagian utara Afrika ini. Sebuah kota yang penuh sejarah dan budaya yang menarik. Marrakech menggabungkan antara taman-taman yang cantik, istana-istana bersejarah dan hiruk-pikuk souk di sekitar alun-alun el Fna Djemaa yang terkenal.

Dari airport kami dijemput oleh Nabil Lebbar, seorang pengusaha dari Casablanca yang dulu sering ke Indonesia untuk membeli rumput laut.

“Kota tua Marrakech ini disebut Medina yang dikelilingi oleh tembok dengan 23 pintu masuk yang disebut Bab,” jelasnya.

Dalam perjalanan dari airport ke Medina, setelah melewati Jardin des Jeuress, mobil berbelok memasuki Medina melalui Bab Jadid  di depan Mammoniyah Hotel.

“Alfred Hitchcock menulis cerita film ‘The Birds and then onto El Bahia Palace’ di hotel ini,” tambah Nabil.

Pagi itu kami langsung ke Bab Doukala, daerah dimana Riad Rose du Desert yang akan menjadi tempat kami selama berada di Marrakech.

Medina dan Alun alun el Fna Djemaa

Alun-alun elFna  saat malam dipenuhi warung dari makanan khas Maroko sampai Eropa. FOTO MAKHFUD SAPPE

Medina adalah kota tua dengan tembok sekelilingnya. Menelusuri gang-gang di Medina seakan membawa kita ke masa lampau. Sepeda motor tua dan sesekali berpapasan gerobak yang ditarik oleh keledai menjadi pemandangan yang biasa. Terasa sangat kontras jika kita masuk salah satu pintu di lorong lorong itu.

Di balik pintu itu adalah riad-riad yang mewah. Ratusan riad tersebar di lorong lorong sempit di sekitar alun-alun, lebih dari setengahnya adalah milik orang Prancis.

“Di sini, tarif riad berkisar di 150 sampai 2000 Euro per malam. Riad adalah rumah tradisional Marocco yang dirubah jadi hotel butik, biasanya antara 10 - 30 kamar,” jelas Youssef, staf di riad Rose du Desert. Beruntung kami mendapat undangan menginap gratis di riad dari sebuah situs reservasi hotel.


Kostum khas penjual air di alun-alun Elfna. FOTO MAKHFUD SAPPE 

Magnet bagi wisatawan yang ke Marrakech adalah souk dan El Fna Square. Alun-alun ini menjadi tempat berkumpul para wisatawan dan penduduk setempat.

Saat matahari sudah mulai naik, El Fna sudah dipenuhi oleh warung-warung jus jeruk dengan harga segelas 2,5 dirham (sekitar Rp 4000,-) dan berbagai macam kacang seperti pistachio. Juga ada penjual air dengan kostum warna-warni lengkap dengan kantong air dari kulit dan cangkir kuningan. Tak ketinggalan pawang ular yang siap berfoto dengan wisatawan untuk beberapa dirham.

Sementara pada sore hari hiruk-pikuk semakin ramai, ada peramal yang akan meramal turis untuk 10 dirham atau anak-anak yang menari dengan pakaian tradisional.

penduduk setempat kumpul sambil minum teh mint, pemandangan sehari-hari di Alun-alun Elfna di siang hari. Foto MAKHFUD SAPPE 

Semua tujuan wisata di Medina dapat ditempuh dengan berjalan kaki, tapi kalau mau mencoba yang lain, disisi timur alun alun berjejer kereta kereta yang ditarik oleh kuda yang bisa disewa untuk mengelilingi Marrakech.

Saat malam tiba, alun-alun dipenuhi oleh puluhan warung berbagai makanan, dari makanan khas Maroko sampai Eropa. Asap mengepul di mana-mana. Para penjual sibuk mengajak pengunjung untuk mampir di warungnya.

Masjid Koutoubiah

Di sebelah timur alun-alun, di seberang Mohammed V Boulovard adalah Taman dan Mesjid Koutoubia, yang merupakan masjid terbesar di Marrakech.

Kereta-kereta yg bisa disewa untuk mengelilingi alun-alun, dan tampak di belakang menara masjid Koutoubia. FOTO MAKHFUD SAPPE

Menaranya setinggi 69 meter terdiri dari 6 lantai, di tiap lantainya terdapat kamar. Di bagian dalam menara ada tangga berputar yang dulunya digunakan oleh muazin sampai ke puncak menara.

Sewaktu kami shalat di mesjid ini, oleh muazzin saya diajak untuk naik ke puncak menara ini.

“Anda dari mana?,” tanya sang muazin dalam bahasa Arab. “Saya dari Indonesia,” jawab saya.Dengan cepat dia sahut “ Ah, Indonesia, Soekarno, Soekarno,” Rupanya, Presiden Republik Indonesia yang pertama ini cukup popular di Maroko.

Telah terjalin hubungan bagus antara kerajaan Maroko dan Pemerintah Indonesia sejak dahulu. Mungkin itulah alasannya kenapa ada jalan Casablanca di Jakarta dan pemegang paspor Indonesia menggunakan visa on arrival masuk Maroko.

Souk

Souk di lorong-lorong sekitar alun-alun elFna menjual berbagai macam tembikar, karpet, rempah, dan teh mint.

Di sekitar alun-alun el Fna, di dalam gang-gang yang diberi atap dengan jejeran toko toko yang disebut souk, artinya pasar. Tanpa belanja di sini, kunjungan ke Marrakech tidak sempurna. Berbagai macam barang dijual di sini, seperti kerajinan tangan khas Maroko, sandal, sampai kurma.

Kalau mau mencari produk kulit, karpet atau pakaian tradisional Maroko datanglah ke daerah Souk El Kabiri, atau di Souk el Attaire kalau mencari rempah rempah, keramik dan barang barang logam. Jangan segan untuk menawar sampai sepertiga harga. Setelah lelah tawar-menawar, di dalam souk kita bisa duduk menikmati teh mint manis khas Maroko.

Bahia Palace


Istana El Bahia, Marrakech. FOTO MAKHFUD SAPPE 

Dari Alun alun el Fna kami berjalan ke arah Jewish Quarter menuju Istana El Bahia. Istana ini bangunan yang indah sekaligus contoh yang sempurna dari Arsitektur Timur abad ke-19 dan merepresentasikan standar dan tren kemakmuran orang-orang pada masanya.

El Bahia dibangun antara tahun 1894 dan 1900 untuk Ahmed Ibn Moussa, menggunakan gaya Alawi yang popular pada masanya. Pahatannya dibawa dari Fes dan dikerjakan selama 15 tahun.

Istana ini adalah karya arsitektur Maroko yang luarbiasa, ukiran kayunya sangat detail dan pemakain warna kontras pada dinding maupun lantai. Walaupun ornamen didominasi oleh gaya desain Islam tapi juga dipengaruhi oleh arsitektur dari Afrika, Spanyol bahkan gaya Roman. Nama ‘Bahia’ sendiri berarti ‘istana keindahan’. Terdapat 160 ruangan di dalam istana yang dikelilingi taman seluas delapan hektar ini.

Selain menyusuri lorong lorong di Medina dan mengahabiskan waktu di alun alun El Fna Djemaa, kalau masih ada waktu, Anda bisa trekking di pegunungan Atlas, menikmati lembah Ourika, air terjun dan mengunjungi perkampungan suku Barbar. 

 BACA JUGA 

Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru