Dari atas, kota ini berwarna merah. Kunjunag ke sini tidak akan sempurna tanpa berbelanja di souk, lorong-lorong di alun-alun el Fna.
Pukul tiga dini hari, suhu di kota Paris berada di level 4 derajat Celcius. Bersama seorang kawan seperjalanan, Safari Aziz, kami berdiri di depan hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Porte Maillot. Dari sana, shuttle bus akan mengantar kami ke Bandara Beauevais, salah satu bandara low cost yang berjarak 60 km dari Paris. Pagi itu kami akan pergi ke Marrakech.
Sekitar dua jam kemudian, pesawat yang membawa kami ke Marrakech sudah mendekati Bandara Menara, Marrakech. Dari atas, kota Marrakech tampak didominasi warna merah bata. Udara sejuk terasa begitu kami keluar dari pesawat. Inilah cuaca antara musim dingin Eropa dan udara panas gurun Afrika, Maroko memang berada di ujung utara benua Afrika.
Proses imigrasi pun berjalan cepat. Kami pemegang paspor Indonesia menggunakan visa on-arrival untuk masuk ke Maroko.
Marrakech juga disebut “Red City” atau Al Hamra (warna merah) karena hampir semua bangunan berwarna merah bata. Berada di kaki pegunungan Atlas, Marrakech adalah kota kedua di Maroko dan telah menjadi kota wisata utama di Afrika Utara ini. Marrakech kota yang kaya akan sejarah dan budaya yang menarik, menggabungkan antara taman-taman yang cantik, istana-istana bersejarah dan hiruk-pikuk souk di sekitar alun-alun Djemaa el Fna yang terkenal.
Dari bandara kami dijemput oleh Nabil Lebbar, seorang pengusaha dari Casablanca yang dulu sering ke Indonesia untuk membeli rumput laut. “Kota tua Marrakech ini disebut Medina, yang dikelilingi oleh tembok dengan 23 pintu masuk yang disebut Bab,” jelasnya.
Dalam perjalanan dari airport ke Medina, setelah melewati Jardin des Jeuress, mobil berbelok memasuki Medina melalui Bab Jadid di depan Mamounia Hotel. “Alfred Hitchcock menulis cerita film ‘The Birds " di hotel ini,” tambah Nabil.
Pagi itu kami langsung ke Bab Doukala, daerah di mana Riad Rose du Desert yang akan menjadi tempat kami selama berada di Marrakech.
Marrakech dan Alun-alun Djemaa el-Fna saat malam dipenuhi warung yang menjual makanan khas Maroko hingga Eropa. FOTO MAKHFUD SAPPE
Medina dan Alun alun Djemaa el Fna
Medina adalah kota tua yang dilelilingi oleh tembok. Menelusuri gang-gang di Medina seakan membawa kita ke masa lalu. Sepeda motor tua dan sesekali berpapasan gerobak yang ditarik oleh keledai menjadi pemandangan yang biasa. Terasa sangat kontras jika kita memasuki salah satu pintu di lorong lorong itu.
Di balik pintu itu terdapat riad-riad yang mewah. Ratusan riad tersebar di lorong- lorong sempit di sekitar alun-alun, lebih dari setengahnya adalah milik orang Prancis.
“Di sini, tarif riad berkisar antara 150 sampai 2000 Euro per malam. Riad adalah rumah tradisional Maroko yang dirubah jadi hotel butik, biasanya antara 10 - 30 kamar,” jelas Youssef, staf di riad Rose du Desert. Beruntung, Lionmag mendapat undangan menginap gratis di riad dari sebuah situs reservasi hotel.

Kostum khas penjual air di alun-alun Elfna. FOTO MAKHFUD SAPPE
Magnet bagi wisatawan yang datang ke Marrakech adalah souk dan El Fna Square. Alun-alun ini adalah tempat berkumpul wisatawan dan penduduk setempat.
Saat matahari mulai naik, El Fna dipenuhi oleh warung-warung jus jeruk seharga 2,5 dirham (sekitar Rp 4000) dan berbagai macam kacang seperti pistachio ada penjual air berkostum warna-warni lengkap dengan kantong air dari kulit dan cangkir kuningan. Tak ketinggalan, pawang ular yang siap berfoto dengan wisatawan dengan bayaran beberapa dirham.
Sementara itu, saat sore hari hiruk-pikuk semakin rama; ada peramal yang bersedia meramal turis seharga 10 dirham atau anak-anak yang menari dengan pakaian tradisional.
penduduk setempat kumpul sambil minum teh mint, pemandangan sehari-hari di Alun-alun Elfna di siang hari. Foto MAKHFUD SAPPE
Semua tujuan wisata di Medina dapat ditempuh dengan berjalan kaki, tetapi jika mau mencoba yang lain, di sisi timur alun-alun berjejer kereta-kereta yang ditarik oleh kuda yang dapat disewa untuk mengelilingi Marrakech.
Saat malam tiba, alun-alun dipenuhi oleh puluhan warung yang menjual berbagai makanan dari makanan khas Maroko hingga Eropa. Asap mengepul di mana-mana. Para penjual sibuk mengajak pengunjung untuk mampir ke warung mereka.
Masjid Koutoubiah
Di sebelah timur alun-alun, di seberang Mohammed V Boulovard, terdapat Taman dan Mesjid Koutoubia; yang merupakan masjid terbesar di Marrakech.
Kereta-kereta yg bisa disewa untuk mengelilingi alun-alun, dan tampak di belakang menara masjid Koutoubia. FOTO MAKHFUD SAPPE
Menara setinggi 69 meter terdiri dari 6 lantai, di tiap lantai terdapat kamar. Di bagian dalam menara, terdapat tangga berputar yang digunakan oleh muazin sampai ke puncak menara.
Sewaktu kami shalat di masjid ini, saya diajak muazzin naik ke puncak menara ini. “Anda dari mana?” tanya sang muazin dalam bahasa Arab. “Saya dari Indonesia,” jawab saya. Dengan cepat dia menyahut, “ Ah, Indonesia, Soekarno, Soekarno,” Rupanya, Presiden Republik Indonesia yang pertama ini cukup populer di Maroko.
Telah terjalin hubungan bagus antara kerajaan Maroko dan Pemerintah Indonesia sejak dahulu. Mungkin itulah alasannya mengapa ada jalan Casablanca di Jakarta dan pemegang paspor Indonesia menggunakan visa on arrival untuk masuk Maroko.
Souk di lorong-lorong sekitar alun-alun elFna menjual berbagai macam tembikar, karpet, rempah, dan teh mint.
Souk
Di sekitar alun-alun el Fna, di dalam yang gang-gang beratap dipenuhi jejeran toko yang disebut souk, yang artinya pasar. Tanpa berbelanja di sini, kunjungan ke Marrakech tidak akan sempurna. Berbagai macam barang dijual di sini, seperti kerajinan tangan khas Maroko, sandal, dan kurma.
Jika mau mencari produk kulit, karpet atau pakaian tradisional Maroko datanglah ke daerah Souk El Kabiri, atau kunjungi Souk el Attaire kalau mencari rempah-rempah, keramik dan barang-barang logam. Jangan segan untuk menawar sampai sepertiga harga. Setelah lelah tawar-menawar, kita bisa menikmati teh mint manis khas Maroko di dalam souk.

Istana El Bahia, Marrakech. FOTO MAKHFUD SAPPE
Bahia Palace
Dari Alun alun el Fna, kami berjalan ke arah Jewish Quarter menuju Istana El Bahia. Istana ini bangunan indah sekaligus contoh sempurna dari arsitektur Timur abad ke-19, yang merepresentasikan standar dan tren kemakmuran orang-orang pada masanya.
El Bahia dibangun antara tahun 1894 dan 1900 untuk Ahmed Ibn Moussa, menggunakan gaya Alawi yang populer pada masanya. Pahatan ini dibawa dari Fes dan dikerjakan selama 15 tahun.
Istana ini adalah karya arsitektur Maroko yang luar biasa, ukiran kayunya sangat detail, dan pemakain warna kontras pada dinding maupun lantai. Walaupun ornamen didominasi oleh gaya desain Islam tetapi juga dipengaruhi oleh arsitektur dari Afrika, Spanyol, bahkan gaya Roman. Nama ‘Bahia’ sendiri berarti ‘istana keindahan’. Terdapat 160 ruangan di dalam istana ini, yang dikelilingi taman seluas delapan hektar ini.
Selain menyusuri lorong-lorong di Medina dan menghabiskan waktu di alun-alun El Fna Djemaa, jika masih ada waktu, Anda bisa melakukan trekking di Pegunungan Atlas, menikmati Lembah Ourika, air terjun , serta mengunjungi perkampungan suku Barbar.
BACA JUGA