pesan-seorang-anak
| ILUSTRASI : Muhammad Saleh Hanif
Pesan Seorang Anak
Jemy V Confido
Fri, 11 Jul 2025

Yang terpenting bukanlah memberikan sebanyak mungkin namun mengajarkan cara mendapatkannya dan cara menggunakan apa yang sudah didapatkan tersebut.


sebagai orang tua,saya dan istri tentu berharap dan
bertekad memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak saya. Untuk itu kami berusaha menemukan sekolah yang sebaik mungkin sesuai dengan kemampun kami. Namun setelah putri kecil kami mulai bersekolah
di sana, kami terkejut karena anak-anak lain sebayanya sudah diikutkan berbagai macam kursus sejak mereka masih kecil. Beberapa di antaranya bahkan sejak berumur enam bulan. Kami pun mulai bertanya-tanya. Apakah memang kami yang terlalu santai dalam mendidik putri kami atau justru memang sebaiknya begitu supaya putri kami tidak jenuh pada saatnya nanti duduk di bangku sekolah dasar. 

Terdapat banyak perdebatan mengenai hal ini. Saya sendiri hanya berpikir praktis saja. Sebagai seorang trainer saya menyadari bahwa training tidak akan pernah efektif ketika pihak pengajar dan yang diajar tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dan saat putri kami berusia nol sampai dua tahun, menurut hemat saya, dia belum bisa berkomunikasi secara efektif dengan kami dan sebaliknya pun demikian. 

Mungkin saja kami keliru. Namun ada dua kejadian yang membuat kami menjadi lebih yakin bahwa paling tidak kami tidak tertinggal. Kejadian pertama adalah saat teman-teman putri
kami berdebat mengenai rumah siapa yang paling besar. Dalam kesempatan tersebut putri kami tidak ikut dalam perdebatan dan asyik bermain dengan mainan sekolahan. Kami pun merasa
lega karena putri kami tidak ikut melibatkan diri dalam percakapan yang tidak perlu itu. Kejadian ke- dua adalah saat putri kami berjalan masuk ke kelas diantar oleh ibunya, ia disapa oleh salah seorang petugas kebersihan sekolah. Diluar dugaan kami, putri kami tidak menjawab. Lalu istri saya pun bertanya, “Mengapa kamu tidak menjawab? Mbak yang barusan kan sudah ramah menyapa kamu?” Cukup mencengangkan bagi kami ketika mendengar jawaban putri kami. Ia menjawab, ”Untuk apa dijawab?


Dia kan cuma tukang pel!” Kami benar-benar terkejut dan hampir tidak percaya bahwa jawaban itu muncul dari seorang anak berusia empat tahun, khususnya lagi anak itu adalah putri kami. Ucapannya yang biasa terasa polos, seketika
itu menjadi tidak lucu lagi. Kami pun segera memberikan pengertian kepada nya bahwa kita tidak boleh menilai tinggi rendah seseorang dari pekerjaan, kekayaan atau status yang dimilikinya. Sejak saat itu kami pun mulai memperhatikan respon yang diberikan puteri kami saat berinteraksi dengan orang-orang yang bisa jadi ia nilai lebih rendah statusnya. 

Pada kesempatan yang berbeda, saya diundang untuk turut menghadiri sebuah acara wisuda sarjana di sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung. Karena saya bukan akademisi, tentu saja wisuda menjadi suatu acara yang langka buat saya. Dalam acara tersebut saya pun menyadari bahwa cara wisuda sekarang dilakukan lebih menarik dibandingkan jaman saya dulu. Misalnya saat setiap wisudawan dipanggil, maka layar besar yang ada dibelakang para anggota senat menampilkan foto wisudawan tersebut dalam berbagai pose lucu dengan komentar-komentar mereka yang polos namun jujur. Misalnya ada yang mengatakan,”Hore, sudah lulus! Berarti tinggal cari kerja dan cari pacar!” 

Dari semua posesi acara yang berlangsung lebih dari tiga jam itu, bagian yang sangat mengharukan adalah saat para wisudawan yang cumlaude membawa bunga dan mencari orang tua mereka untuk kemudian menyerahkan bunga tersebut. Perjuangan mereka
untuk mencari orang yang telah membesarkan mereka di tengah kerumunan ratusan orang lainnya menjadi tidak sepadan dibandingkan dengan harapan yang tertanam dalam diri mereka sebagai anak. Harapan yang terpatri sejak mereka duduk di bangku pra taman kanak- kanak dan hingga mereka lulus sarjana dan terus akan terpatri hingga orang tua mereka tiada barangkali. 

Pengalaman pergumulan kami saat memikirkan pendidikan 
putri kami yang baru duduk di 
TK Kecil dan pengalaman saat
 saya menyaksikan acara wisuda sarjana adalah pengalaman yang sama dalam dua ilustrasi yang berbeda. Saya katakan pengalaman yang sama karena sama-sama berbicara tentang harapan dan kekhawatiran orang tua tentang pendidikan dan keterampilan anak- anaknya. Namun ada hal lain yang juga perlu diperhatikan di samping pendidikan keterampilan yang acap kali membuat bangga orang tua. Sebagai seorang ayah, dan sebagai mantan mahasiswa tentunya, saya mencoba merenungkan kembali apa sebenarnya yang menjadi kerinduan seorang anak khususnya dalam memenuhi tuntutan dan harapan orang tuanya? 

Dengan merenungkan beberapa kejadian yang dialami puteri kami serta menghayati suasana wisuda yang diwarnai kelucuan di awal namun diakhiri dengan nuansa haru biru di akhir, saya kemudian mencoba mereka-reka kira-kira pesan apa yang akan ditulis oleh seorang anak manakala ia diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan apa pun kepada orang tuanya, khususnya terkait dengan harapan- harapan mereka. Dari perenungan tersebut, saya kemudian menuliskan sembilan pesan berikut ini: 

  • Janganlah malu bila tidak memberi ku baju yang bagus, malu lah bila baju bagus itu membuat ku angkuh. 
  • Janganlah merasa minder karena aku tidak bisa bernyanyi, minder
lah bila aku tidak bisa bergembira ketika menyanyikan lagu yang riang. 
  • Janganlah menyesal bila tidak memberiku mobil yang bisa mendampingi ku, menyesal lah bila tidak bisa mendampingi ku dimana aku berada. 
  • Janganlah merasa kalah ketika tidak bisa membelikan aku rumah, 
  • merasa kalah lah ketika aku tidak bisa membangun rumah tangga yang baik. 
  • Janganlah menjadi kecut karena tidak pernah merayakan pesta meriah untuk ku, tapi merasa kecut lah ketika aku selalu berpesta pora dalam hidupku. 
  • Janganlah takut bila tidak memberi ku kursus keterampilan, takut lah bila aku tidak terampil membawa diriku dalam mengarungi kehidupan ini. 
  • Janganlah cemas bila aku tidak bisa menghitung dengan baik. Cemas lah bila aku selalu memperhitungkan hal-hal yang baik. 
  • Janganlah sedih karena tidak mengajari ku ilmu yang tinggi, sedih lah bila tidak mengajari ku cara menggunakan ilmu itu. 
  • Janganlah marah bila aku masih sering berbuat salah, marah lah bila aku tidak pernah belajar dari kesalahan itu. 

Mungkin pesan-pesan tersebut tidak pernah dituliskan dalam bentuk yang kongkrit seperti di atas. Namun saya percaya bahwa pesan- pesan tersebut akan dirasakan oleh putera-puteri kita manakala mereka mencapai situasi tertentu dalam hidup mereka. Sekarang, sebelum situasi tersebut benar- benar terjadi dan akhirnya putera- puteri kita menyampaikan pesan- pesan tersebut dalam keadaan yang sudah terlambat, marilah kita benar-benar memahami mana yang paling penting untuk kita berikan kepada mereka dalam mengarungi samudera kehidupan yang luas ini. 

www.jemyconfido.com 


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru