bulukumba-pesona-empat-dimensi
Pantai Bira | Foto Makhfud Sappe
Destination
BULUKUMBA Pesona Empat Dimensi
By Gener Wakulu
Fri, 05 Dec 2025


Di daerah ini, empat dimensi alam bertumpuk megah. Sementara kekayaan dan keunikan budayanya memiliki magnet tersendiri. Kepiawaian masyarakatnya dalam membuat perahu Pinisi yang mendunia juga menjadi daya tarik.

Mungkin kita pernah mendengar tentang Pantai Bira dengan bentangan pasir putihnya, di mana matahari terbit dan terbenam bisa direguk sepuas-puasnya pada satu kawasan yang sama. Mungkin kita pernah mendengar tentang kapal layar Pinisi yang mendunia. Berlayar ke Vancouver, Kanada. Mungkin pula kita pernah mendengar Suku Kajang dan kawasan adat Ammatowa di Tana Toa, di mana penduduknya berpakaian serba hitam, hidup sederhana dengan hukum adat untuk menjaga hutan mereka.

Pertanyaannya, di mana ketiga tempat tersebut berada? Pantai Bira adalah sebuah semenanjung di ujung tenggara Sulawesi Selatan, tepatnya di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. Kapal-kapal kayu Pinisi dalam berbagai ukuran dibangun di Tana Beru, yang juga berada di di Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba. Kawasan adat Ammatowa terletak di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Bulukumba. 

Ya, akhirnya kita tersadar bahwa, jawaban atas ketiga pertanyaan bermuara pada satu kata: Bulukumba. Kabupaten seluas 1.154,67 km persegi ini terletak di bagian tenggara Sulawesi Selatan, dengan jumlah penduduk 394.757 pada tahun 2010, yang menghuni 10 kecamatan. Secara geografis, wilayah ini memiliki empat dimensi yakni dataran tinggi karena berada di kaki gunung Bawakaraeng-Lompobattang, dataran rendah, pantai, dan laut lepas. Konon, nama “Bulukumba” berasal dari dua kata dalam bahasa Bugis, yaitu “Bulu’ku” dan “Mupa”. Kalau diterjemahkan, kira-kira artinya “tetap gunung milik saya”.


Jalan-jalan ke BULUKUMBA 

Nikmati angin tabuh daun-daun

Dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan ke Bulukumba, perlu menelusuri jalan darat sepanjang 153 km. Jauh? Sebenarnya relatif, karena pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana kami menyusurinya? Terus terang saja, berhubung jadwal kami ketat, kami mesti “ngebut” menggilas jalanan. Jadi, ketika Boeing 737-900ER Lion Air mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar pada siang hari, kami langsung mengambil sebuah Nissan Livina X-Gear bermesin 1.500 cc. Melintasi jalan lintas kabupaten yang cukup jauh rasanya perlu mobil serbaguna yang sekaligus membuat kita duduk seperti dalam sebuah sedan yang nyaman. Sementara di luar kabin, angin segar dan lansekap purba seperti sebuah nyanyian: “Menikmati angin, menabuh daun-daun."

Letak Bulukumba ibarat sudut tenggara pada ‘kotak’ Provinsi Sulawesi Selatan. Kelak dari ibukota Bulukumba, jalan akan bercabang, membelok ke utara menuju Kabupaten Sinjai atau ke selatan menelusuri jazirah kecil ke Pantai Bira, tempat terdapat pelabuhan penyeberangan feri menuju Kabupaten (Pulau) Selayar.

Jadi, bisa dikatakan Bulukumba adalah kawasan perlintasan ekonomi yang ramai, baik menuju kedua kabupaten tersebut maupun kabupaten-kabupaten lain yang dilaluinya seperti Gowa (yang berbatasan dekat dengan Makassar), lalu melintasi Takalar, Jeneponto kemudian Bantaeng. Kesemuanya dilayani baik oleh bus untuk penumpang maupun truk untuk angkutan barang. Jika diakumulasi, kami memerlukan empat setengah jam untuk mencapai Bulukumba. 

Memang, di sebagian besar ruas, jalanan mulus membentang. Sepanjang Takalar, kami bisa memacu kendaraan. Tapi sebenarnya di sini kami punya hambatan: deretan penjual jagung manis. Ya, itu sangat menggoda. Sehingga kami harus menghentikan keasyikan kami memacu mobil untuk mencicipinya.  

Kabupaten berikutnya yang kami lalui adalah Jeneponto. Sebagian besar jalan di Jeneponto bagus, tetapi sebagian lainnya berlubang. Pada ruas ini kami harus berhati-hati. Tapi itu tidak menghentikan kami untuk menikmati perjalanan, karena di Desa Allu ada deretan penjual lemang, nasi yang dibakar di dalam tabung bambu berukuran 50 cm, yang dijual Rp 6.000 per bambu. Sementara di Bantaeng, bisa dibilang sebagian besar jalannya bagus, meski ada ruas yang sedang diperbaiki agar lebih mulus. Sebenarnya, di Bantaeng, 'angin Bulukumba' mulai terasa. Bantaeng seperti semacam 'pemanasan' untuk menikmati Bulukumba, dengan lansekap yang mirip sebelum akhirnya kami bisa menikmati yang sesungguhnya: pembuatan perahu di Tanah Beru, Pantai Lemo-lemo, Pantai Tanjung Bira, Pantai Mandala Ria, Pantai Samboang, Kawasan adat Ammatoa, pemandian alam Bravo Bawakaraeng hingga perkebunan karet di Balombissie. 


Deretan perahu Pinisi yang sedang dibuat di Pantai Tanah Beru, Bulukumba. Foto Makhfud Sappe

OBJEK WISATA :

Pantai Mandala Ria  : Pantai ini terletak di Desa Lambanna Ara, 11 km dari Bira, atau 15 menit berkendara. Selain pantai pasir putih, di Mandala Ria, Goa Passohara dengan mata air di dalamnya dapat dijumpai. Banyak wisatawan berenang di sini. Ada pula Goa Passea. Dalam perjalanan ke Mandala Ria, Anda bisa menjumpai rumah-rumah panggung khas dengan anjungan rumah yang diukir.

Pantai Samboang: Tak jauh dari Mandala Ria, ke arah utara, terletak Pantai Samboang, tepatnya di Desa Eka Tiro, Kecamatan Bonto Tiro. Panoramanya indah, dengan lekuk bibir pantai yang landai. Terumbu karangnya yang indah tak jauh dari pantai, sehingga Samboang memiliki keunikan tersendiri. Di Samboang, terdapat pulau kecil yang dihubungkan dengan titian sepanjang 20 meter. Banyak wisatawan memancing ikan di sini.

Pemandian Alam Bravo : 34 kilometer sebelum memasuki ibu kota Bulukumba, dari arah barat, terdapat Pemandian Alam Bravo. Tempat ini cukup tinggi, yaitu 715 meter dari permukaan laut. Memang salah satu lereng Gunung Bawakaraeng. Airnya bening dan segar, didukung udara yang sejuk.

Perkebunan Karet : Bulukumba memiliki dua kawasan perkebunan karet. Yang pertama adalah kawasan Ballombissie di Desa Barugae, Kecamatan Bulukumpa. Dari sini, perjalanan sebenarnya bisa dilanjutkan menuju puncak Karang Puang. Sementara sisi lainnya adalah kawasan Palangisang, yang dapat dilanjutkan dengan mengunjungi tempat pengolahannya di Bulupadido. Awalnya, kawasan ini adalah perkebunan serai, lalu diganti kopi, dan terakhir karet. Kawasan ini telah dibuka oleh Belanda sejak tahun 1918. Kini, tempat ini sekaligus menjadi wisata agro.

PEMBUATAN PERAHU PINISI

TANAHTOA : Pertahanan Kearifan


Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru