Pantai Losari
Tak lengkap rasanya membahas Makassar tanpa menyebut Pantai Losari. Bukan sekadar tempat menikmati senja, Losari menyimpan cerita panjang yang melekat erat dengan perkembangan kota Daeng ini.
“Sebelum menjadi ikon wisata seperti sekarang, Pantai Losari dulunya merupakan pesisir yang digunakan sebagai tempat bersandar perahu dan kapal dari daerah, dengan vegetasi alami seperti bakau dan nipah. Menurut pengamatan sejarah, kawasan ini masih dipenuhi pohon-bakau dan nipah pada awal abad ke-20.
“Pada masa Hindia Belanda, pembangunan tanggul atau lantai beton sepanjang sekitar 910 meter dilakukan di bibir pantai untuk melindungi dari abrasi ombak Selat Makassar. Pembangunan ini banyak dikaitkan dengan jabatan wali kota DM van Switten (1945-1946). Terdapat juga versi yang menyebut penanggulan pertama telah dimulai pada tahun 1926 atau 1930-an.
Selama beberapa dekade berikutnya, Pantai Losari berfungsi sebagai pasar ikan dan pusat aktivitas sosial. Pada era 1980-an hingga 1990-an, jajaran warung kaki lima memenuhi bibir pantai. Banyak yang menyebutnya sebagai "rumah makan terpanjang di dunia" karena deretan warung yang berjajar sepanjang pantai, menjajakan berbagai kuliner khas Makassar.
Tak hanya soal kuliner, Losari menjadi tempat berkumpulnya warga kota untuk bersantai, menikmati angin laut, dan tentu saja menyaksikan matahari tenggelam yang memukau. Warung pisang epe, salah satu makanan khas yang mudah ditemui di sini, menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman berkunjung ke pantai ini.
Seiring waktu, pemerintah kota melakukan revitalisasi untuk menata ruang publik dan memindahkan pedagang ke tempat yang lebih terorganisir. Tanggul dan fasilitas pantai terus diperbaiki agar Losari tetap menjadi tempat nyaman dan aman bagi warga dan wisatawan.
Kini, Pantai Losari bukan hanya destinasi wisata, tapi juga ruang hidup masyarakat Makassar. Dari masa ke masa, ia menyimpan cerita yang kaya, menjadi saksi bisu perkembangan kota, dan terus mengukir pesona di hati siapa saja yang singgah.
Masjid Kubah 99 Asmaul Husna Makassar
Di antara hembusan angin laut dan gemerlap senja Makassar, berdiri sebuah mahakarya arsitektur modern: Masjid Kubah 99 Asmaul Husna. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga landmark kota yang menghadirkan nuansa religius dalam balutan desain futuristik.
Berada di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), masjid ini begitu mencolok dengan desain 99 kubah warna-warni. Setiap kubah mewakili Asmaul Husna, nama-nama agung Allah SWT. Nuansa jingga, merah, emas, dan putih menghiasi struktur kubah yang tersusun simetris, menampilkan siluet megah saat matahari terbenam. Dirancang oleh arsitek sekaligus tokoh publik Ridwan Kamil, masjid mulai difungsikan sekitar tahun 2022, dan sejak itu langsung menjadi salah satu destinasi favorit di Kota Makassar. Tak hanya dikunjungi untuk beribadah, masjid ini juga jadi tempat swafoto, syuting video musik, hingga lokasi foto prewedding.

Menteng Rotterdam. Dok KITLV, Leiden
Benteng Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam berdiri megah di pesisir barat Makassar, tak jauh dari Pantai Losari. Bangunan ini merupakan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo, dan dikenal juga dengan nama Benteng Ujung Pandang atau Benteng Panyyua karena bentuknya yang menyerupai penyu menghadap laut.
Dibangun pertama kali pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-10, benteng ini berfungsi sebagai pusat pertahanan dan pelabuhan laut.
Sejak dikuasai Belanda pada tahun 1667, nama benteng diubah menjadi Fort Rotterdam. Lima bastion dengan nama-nama daerah seperti Bone, Bacan, Buton, Mandarsyah, dan Amboina menjadi bagian dari sistem pertahanannya. Saat ini, area dalam benteng difungsikan sebagai Museum La Galigo yang menampilkan koleksi sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.
Benteng Fort Rotterdam menjadi situs sejarah terbuka. Suasana tenang, arsitektur khas abad ke-17, serta pemandangan laut dari atas bastion menjadikannya tempat favorit untuk bersantai, belajar sejarah, maupun mengambil foto dengan latar dinding batu kuno yang khas.

Museum Kota Makassar
Museum Kota Makassar menempati bekas Gedung Balai Kota Lama, yang dibangun pada masa kolonial Belanda sekitar tahun 1916 sebagai Gemeente Huis atau kantor walikota Makassar pertama di luar Benteng Rotterdam.
Bangunan dua lantai dengan gaya arsitektur campuran NeoKlasik, Renaisans dan Gotik ini memiliki fasad khas dengan jendela melengkung dan ventilasi besar.
Resmi dibuka untuk umum pada 7 Juni 2000, atas gagasan Drs. H.B. Amiruddin Maula saat menjabat walikota, museum ini bertujuan menyimpan dan menyajikan identitas kota, sejarah, dan budaya masyarakat Makassar yang pluralistik.
Koleksi Museum Kota Makassar pun beragam. Ada koleksi bola meriam dari perlawanan Kerajaan Gowa melawan Belanda, foto-foto sejarah, reproduksi naskah, artefak dari keramik Cina, bahkan koleksi numismatika (mata uang) dari masa kolonial dan kerajaan.

Perahu-perahu Pinisi di Pelabuhan Paotere, Makassar. Foto Makhfud Sappe
Kapal Pinisi
Kapal Pinisi adalah mahakarya pelaut Suku Bugis-Makassar dari Sulawesi Selatan. Dibangun dengan kayu pilihan tanpa paku, hanya pasak dan tali, Pinisi mencerminkan keahlian turun-temurun dan keberanian pelaut menaklukkan gelombang laut.
Dahulu Pinisi dipakai untuk perdagangan antar pulau, kini juga menjadi simbol budaya dan kebanggaan maritim Indonesia.
UNESCO menetapkan Pinisi sebagai warisan budaya tak benda pada 2017, mengakui keindahan dan keunikan kapal tradisional ini.
Selain sejarahnya, pengunjung kini bisa merasakan berlayar di perairan Losari. Menikmati angin laut, panorama pesisir, dan sunset yang memukau, sambil menapaki dek kapal tradisional ala pelaut Bugis-Makassar.