Di ketinggian, saat pesawat melintasi Papua Selatan, bentang alam di bawah sana terbentang seperti lukisan hidup: sungai-sungai berliku, hamparan bakau yang tak bertepi, dan kampung-kampung kecil yang berdenyut bersama air. Di sanalah Asmat berada, bukan sekadar titik di peta, melainkan ruang pengalaman yang perlahan mengubah cara kita memandang perjalanan.

Speedboat adalah nadi transportasi masyarakat Asmat, membelah sungai dan rawa,menghubungkan kampung ke kampung, serta menjaga denyut kehidupan tetap bergerak. Foto Evi Aryati Arbay)
Asmat bukan destinasi yang menawarkan kemewahan atau kenyamanan instan. Ia tidak menjanjikan perjalanan yang mudah. Namun justru di situlah daya tariknya. Di Asmat, waktu berjalan lebih pelan, perjumpaan terasa lebih jujur, dan alam tidak menjadi latar belakang, melainkan rumah. Setiap perjalanan sungai adalah pelajaran tentang kesabaran; setiap sapaan adalah undangan untuk berhenti sejenak dan benar-benar hadir.
Budaya Asmat hidup, bukan dipamerkan. Ukiran kayu tidak dibuat untuk etalase, melainkan untuk menyimpan kisah leluhur. Tarian dan musik bukan pertunjukan, tetapi bahasa kebersamaan. Banyak pelancong datang dengan kamera dan pulang dengan cerita-cerita yang tinggal lama di hati, jauh setelah pesawat meninggalkan Papua Selatan.

Di tengah kerasnya alam, Asmat juga menyimpan kisah keteguhan manusia. Wilayah ini dilayani oleh Keuskupan Agats, salah satu yang paling menantang di dunia. Dari rumah papan, perahu kecil, dan malam-malam sunyi, lahir doa-doa yang sederhana namun kuat, doa-doa dari tanah bakau yang terasa begitu dekat dengan langit. Kisah-kisah inilah yang terekam dalam buku Dari Bakau ke Surga – TUHAN Tidak Pernah Jauh, sebuah karya yang merekam perjalanan panjang iman, budaya, dan kemanusiaan di Asmat. Ditulis dengan kedekatan dan rasa hormat, buku ini bukan sekadar bacaan, melainkan jendela untuk memahami Asmat dari dalam.
Tahun 2026, Festival Budaya Asmat kembali digelar, sebuah undangan terbuka bagi para penjelajah yang ingin menyaksikan denyut Asmat yang sesungguhnya. Di festival ini, budaya tidak dipentaskan untuk kamera, tetapi dirayakan sebagai identitas. Datang ke Asmat berarti menjadi tamu dalam rumah besar yang hidup; setiap langkah mengajarkan bahwa perjalanan terbaik bukan tentang seberapa jauh kita pergi, melainkan seberapa da
Asmat menawarkan sesuatu yang semakin langka dalam dunia perjalanan modern: keaslian tanpa kemasan, kedalaman tanpa keramaian, dan perjumpaan yang mengubah perspektif. Membaca Mgr Aloysius Murwito, OFM. Dari Bakau ke Surga – TUHAN Tidak Pernah Jauh adalah langkah awal yang bijak sebelum datang, membekali diri dengan pemahaman, empati, dan rasa hormat. Dan ketika suatu hari Anda benar-benar menjejakkan kaki di tanah bakau itu, Asmat akan menyambut bukan sebagai penonton, melainkan sebagai bagian dari perjalanan.
Asmat menunggu, bukan untuk sekadar dikunjungi, tetapi untuk dialami.