ruang-kontemplasi-itu-bernama-bandara
| Ai generated
Ruang Kontemplasi itu Bernama Bandara
By Muliadi Saleh, Esais Reflektif
Fri, 19 Dec 2025

Bandara, tempat paling jujur tentang waktu. Di sana, manusia belajar bahwa tidak semua hal dapat dipercepat, tidak semua pertemuan bisa diperpanjang, dan tidak semua perpisahan bisa ditawar. Bandara bukan sekadar ruang transit, melainkan ruang antara. Tempat  berhenti sejenak sebelum melanjutkan diri ke arah yang tidak selalu kita pahami.

Di ruang tunggu bandara, menunggu menjadi pekerjaan utama. Menunggu panggilan boarding, menunggu koper berputar, menunggu pesan terakhir yang tak jadi dikirim. Menunggu di bandara berbeda dengan menunggu di tempat lain. Menunggu di bandara memaksa kita duduk bersama waktu, tanpa banyak pelarian. Bahkan ketika layar gawai menyala, ada jeda-jeda hening yang tak bisa diusir. Ketika pengumuman menggema, ketika langkah-langkah asing melintas, ketika mata bertemu mata lalu berpisah tanpa salam.

Bandara adalah panggung perpisahan. Ada perpisahan singkat, sekadar lambaian tangan dan senyum yang dipaksa tegar. Ada pula yang sunyi—berjalan berlawanan arah, membawa cerita masing-masing. Di bandara, perpisahan tidak selalu berarti sebuah kehilangan.

Di sudut-sudut bandara, kita menyaksikan kehidupan dalam versi ringkasnya. Orang-orang dari berbagai latar, tujuan, dan nasib bertemu tanpa saling mengenal. Ada yang pulang, ada yang pergi dengan harapan, ada yang sekadar transit tanpa tujuan yang jelas. Semua setara di hadapan waktu keberangkatan. Semua tunduk pada pengumuman yang sama. Di sini, status menyatu. Yang tersisa hanya manusia dengan cerita masing-masing.

Bandara mengajarkan penerimaan dengan cara yang tenang. Penerimaan bahwa tidak semua jadwal berjalan sesuai rencana. Penerimaan bahwa delay adalah bagian dari perjalanan. Penerimaan bahwa hidup, seperti penerbangan, kadang harus berputar sebelum mendarat. Kita belajar menarik napas, menyesuaikan diri, dan melanjutkan langkah. Bukan dengan kemarahan, melainkan dengan kesadaran.

Ada spiritualitas halus yang bekerja di bandara. Tanpa khotbah, tanpa ritual. Ia hadir dalam keheningan di antara pengumuman, dalam tatapan yang menua oleh jarak, dalam doa-doa kecil yang dilafalkan diam-diam sebelum terbang. Bandara mengingatkan bahwa hidup adalah perjalanan dengan banyak transit. Kita tidak selalu tahu kapan berhenti, kapan lanjut, dan kapan harus rela tertinggal.

Bagi pelancong yang peka, bandara adalah sebuah cermin. Ia memantulkan pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendalam. Apa yang kita tinggalkan, apa yang kita bawa, dan apa tujuan hidup sebenarnya? Di tengah koper dan boarding pass, kita berhadapan dengan diri sendiri—tanpa dekorasi, tanpa distraksi.

Mungkin itulah sebabnya bandara terasa melankolis.  Bandara mengajarkan bahwa tidak semua cerita harus tuntas dan berakhir.

Ketika pesawat lepas landas, kita tidak hanya meninggalkan kota, tetapi juga versi diri yang lama. Dan ketika mendarat, kita tidak selalu menjadi orang yang sama. Di antara keduanya, ada bandara—ruang kontemplasi yang sunyi—tempat kita belajar menunggu dengan sabar, berpisah dengan ikhlas, dan menerima hidup apa adanya.(***)


Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru