berlayar-ke-australia
Perahu Padewakang Berlayar dari Makassar ke Australia. | FOTO : Ridwan Alimuddin
Travel Idea
Berlayar Ke Australia
By Ridwan Alimuddin
Wed, 04 Mar 2020

“Hei, ada paus di sana,” teriak salah satu awak perahu.

Pandangan serentak mengarah ke horizon di sisi kanan haluan. Melihat makhluk terbesar di muka bumi di tengah lajunya perahu didorong angin dan ombak, makin memacu adrenalin pelayar.

“Kraaaaakkk”, bunyi beberapa meter di atas kepala para awak membuyarkan perhatian. Sesuatu yang serius terjadi. Layar robek! Hilangnya dorongan membuat perahu terombang-ambing dihempas gelombang.

Bunyi layar robek menambah cekam suasana. Dikomando nakhoda, layar camping digulung jurulayar. Layarnya berat, melintang di tiang layar, terayung-ayung membahayakan. Nyaris butuh waktu sejam agar pelayaran berlanjut. Usai layar robek digulung, layar cadangan dibentang. Kembali mengarahkan haluan ke arah yang dituju.

Itulah drama yang dialami perahu padewakang menjelang sebulan pelayarannya, terjadi di perairan utara Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Layar tradisional berbahan daun gebang (sejenis lontar) buatan Mandar robek. Tak kuasa menerima beban hembusan angin, ditambah energi arus dan gelombang laut tak beraturan yang memberi hentakan ke layar.

Persis masa sebulan pelayaran, kami angkat sauh dari salah satu teluk di Pulau Alor. Keluar dari teluk, memasuki bagian selatan Laut Banda, laut yang terkenal keganasannya, tempat palung-palung terdalam di perairan Indonesia. Kami akan menuju Pulau Wetar, berjarak lebih 70 mil laut atau hampir 150 km.

Dua layar selesai dikembangkan. Angin kencang mendorong elegan padewakang. Di laut, angin kencang hampir selalu dibarengi gelombang besar. Gelombang semakin besar, angin tak mau kalah. Awan hitam munson barat berarak mengiringi laju perahu ke arah timur. “Kraaak,” saya yang berada di tiang layar melihat ada benda panjang, warna kuning terapung-apung di sisi kiri perahu. “Kemudi patah,” teriak saya.


Untuk kedua kalinya perahu padewakang yang berlayar dari Makassar ke Australia ini mengalami patah kemudi. Kejadian pertama sewaktu berlayar, 2 Januari lalu, hanya berselang sepekan. Waktu itu, ketika kemudi sisi kiri patah, mengharuskan kami untuk singgah di Wai Lolong, teluk kecil di utara Pulau Lembata. Di situ kami mengganti dua kemudi sekaligus, sisi kiri yang patah dan sisi kanan yang masih bagus.

Kembali patah kemudi, Horst Liebner memutuskan untuk langsung mengganti kemudi yang patah dengan kemudi lama, yang dilepas di Wai Lolong. Kemudi itu kami simpan di kapal pendamping, kapal motor yang mendampingi padewakang sejak dari Makassar.  Akhirnya kemudi bisa terpasang dengan baik.

Angin keras, gelombang besar tak ada tanda-tanda berhenti. Layar kecil yang berada dekat buritan digulung. Berbahaya mengembangkan dua layar di kondisi angin demikian. Tapi sepertinya sudah terlambat mengurangi aliran energi angin ke kemudi. Kemudi kanan ikut patah! Diputuskan untuk menonda padewakang kembali ke Pulau Alor.

Kejadian yang menimpa kami adalah hal biasa dalam pelayaran, apalagi di pelayaran ini yang memang menggunakan model dan teknik pelayaran tradisional. Kami bersyukur tak ada luka serius yang menimpa kami.

***

Sepekan usai lebaran Juni 2019 lalu, lunas sebagai tulang belakang perahu padewakang menjalani upacara ritual penyambungan. Itulah upacara pembuatan perahu pesanan komunitas muslim di Australia. Perahu yang punah 1930-an dihidupkan kembali. Orang lebih banyak mengenal pinisi, nyaris tak pernah mendengar tentang padewakang. Padahal, padewakang-lah yang berevolusi menjadi pinisi.


Perahu padewakang ini selesai dibuat di Tana Beru Bulukumba November 2019 dipimpin H. Usman. Sebulan kemudian, secara resmi memulai pelayaran berbahayanya di Makassar, beberapa puluh meter dari Benteng Rotterdam. Diawaki oleh 11 pelaut dari Makassar, Bugis, Mandar, dan Flores. Mereka adalah Sampara Dg. Nyarrang, Umar Dg. Naba, Kaseng Dg. Sewang, Anton Dg. Tompo, Guswan Gunawan, Abdul Muis, Basir, Muhammad Ridwan Alimuddin, dan Rofinus Marianus Monteiro. Pelayaran dikoordinir oleh antropolog maritim yang juga tenaga ahli Kemenko Maritim, Horst Liebner.

Rute yang sudah dilalui ialah Makassar, Galesong, Tana Beru (tempat pembuatannya), Bira, Pamatata (P. Selayar), P. Madu, Larantuka, P. Adonara, P. Lembata dan P. Pentar. Pekan pertama Januari 2020 padewakang “Nur Al Marege” berlayar dari P. Pentar menuju P. Alor, P. Wetar dan titik terakhir sebelum menyeberang ke Australia, di Saumlaki.

Perahu padewakang menguasai perdagangan antar nusa, setidaknya dari abad ke-16 sampai ke-19. Bandingkan penggunaan pinisi yang baru muncul di abad ke-19 dan mulai ditinggalkan beberapa dekade kemudian. Pinisi nyaris tak genap 100 tahun digunakan.

Padewakang-lah saksi bisu ketika segenggam rempah cengkeh lebih mahal dari segenggam emas. Padewakang menyaksikan ketika orang-orang Eropa mulai berdatangan ke kepulauan ini, padewakang pula yang terlibat dalam perdagangan budak dan digunakan bajak laut di kawasan ini, dan padewakang jua yang pertama kali membawa agama Islam ke Australia.

Perahu padewakang, yang amat mirip dengan relief perahu layar bertiang ganda di Candi Borobudur, mendapat banyak goresan pena para orientalis dan penjelajah dalam catatan mereka pasalnya menjadi armada utama yang hilir mudik dari Makassar ke Australia Utara membawa para pencari teripang sejak abad ke-16. Nelayan Makassar setiap musim barat berlayar ke timur, melintasi Laut Flores dan menyusuri jejeran kepulauan dari Nusa Tenggara Timur hingga Maluku Barat Daya. Dari situ, biasanya Pulau Moa atau Saumlaki di Pulau Tanimbar, haluan diarahkan ke Selatan, menuju Australia Utara yang oleh orang Makassar disebut Marege.

Di Marege pelaut-pelaut bertemu dengan penduduk asli setempat, Aborigin. Entah bagaimana proses awal perkenalan mereka. Apakah ada konflik atau tidak, yang jelas, salah satu suku Aborigin yang bermukim di Australia Utara (ada beberapa komunitas atau klan di Suku Aborigin yang tersebar di banyak tempat di Benua Australia) memendam kerinduan pada orang Makassar sampai hari ini.

Ada hubungan kebudayaan erat antara Suku Aborigin dengan kebudayaan Makassar. Ratusan suku kata Makassar diadopsi oleh suku pribumi, identik dengan unsur-unsur baru yang dibawa pelaut ke Marege. Semisal tembakau, celana, badik dan sebagainya.
Mengharukan, memori kedatangan dan kerinduan pada orang-orang dari utara yang datang tiap musim barat (“baraq” juga menjadi kosakata baru di Aborigin, yang berarti angin barat) oleh orang Aborigin direkam di dinding gua dan gerabah. Lukisan atau motif yang menggambarkan perahu banyak ditemukan di artefak arkeologis orang Aborigin.

Semangat itulah yang menjadi landasan Ekspedisi Perahu Padewakang Makassar – Australia. Sebuah napak tilas kebudayaan, persaudaraan orang Nusantara dengan Aborigin (Austalia), mengenang kembali apa yang terjadi sebelum tahun 1770, sebelum orang Eropa membuat koloni di Australia.

Pada 23 Januari 2020, Ekspedisi Perahu Padewakang ini dilepas dari Saumlaki melanjutkan perjalanan menyeberang ke Australia. Upacara pelepasan tersebut dilakukan oleh Plt. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin. “Kapal Padewakang ini adalah salah satu kapal tradisional yang kemudian berkembang sebagai asal muasal kapal pinisi, tidak ada alat modern kecuali handphone atau telepon genggam. Mereka menggunakan listrik dari solar sel khusus untuk mengisi baterai, memakai lampu teplok dan tembikar untuk keperluan sehari-hari. Hari ini kita akan lepas kapal ini yaitu dalam rangka untuk memperkuat kembali budaya maritim dan persahabatan dengan masyarakat Australia,” ujar Plt. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin dalam sambutannya di acara pelepasan yang diselenggarakan di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Turut hadir pula dalam kesempatan ini, Sekretaris Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat Piterson Rangkoratat.

Pelayaran dari Makassar berhitung bulan karena perahu menggunakan teknologi pelayaran klasik, hanya menggunakan layar, tanpa mesin. Gaya hidup di atas perahu pun demikian. Masak nasi pakai kayu bakar, dengan panci dan wajan terbuat dari tanah liat. Piring makan dan gelas minum pun demikian. Untuk urusan keselamatan, ekspedisi menerapkan standar keselamatan internasional. “Life raft” tiga unit, pelampung, “beacon” pemancar suar bila terjadi kecelakaan, radio komunikasi, dan telepon satelit.

Ekspedisi perahu padewakang ini adalah ekspedisi internasional kesekian yang menggunakan jenis perahu tradisional Nusantara. Kegiatan napak tilas ini didukung oleh Yayasan Abu Hanifa yang berada di Australia, Pemerintah Australia serta Pemerintah Indonesia melalui Kemenko Marves untuk memperkuat kembali hubungan persaudaraan antara Suku Bugis Makassar dengan Suku Aborigin Australia. Hal ini dibuktikan bahwa kapal ini membawa kembali perlengkapan asli sehari-hari seperti tembikar, garam, parang yang merupakan alat tukar seperti yang biasa dilakukan pada abad ke-16 dan ke-17.

Ekspedisi paling terkenal adalah pelayaran pinisi ke Kanada 1986 dan perahu yang diilhami relief di Candi Borobudur, Samudera Raksa, ke Afrika Barat 2003 – 2004. Pernah ada juga ekspedisi sejenis, yakni menggunakan padewakang, sama-sama dibuat di Tana Beru dan berute Makassar – Australia Utara, yakni Ekspedisi Padewakang Hate Marege Desember 1987 - 1988.

Proses pembuatan dan pelayaran padewakang membentang lembaran berisi jejak purba nenek moyang kita, ketika hanya mengandalkan kekuatan angin membuat jaringan budaya dan ekonomi di benua maritim Nusantara yang selalu kita banggakan. Nenek moyang kita pelaut ulung, semoga cucunya menjadi pewaris bijak. ***


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru