mendulang-riang-di-riung
Panorama dari atas bukit Taman Nasional 17 Pulau | foto EDDY DUE WOI
Destination
Mendulang Riang di Riung
Valentino Luis
Wed, 24 Aug 2022

Mengulik lagi salah satu primadona bahari di Nusa Bunga, yang tetap memukau meski pamornya kini seolah meredup.


Burung-burung putih pemakan siput beterbangan saat kapal mendekat. Foto EDDY DUE WOI

Dulu, sebelum Taman Nasional Komodo dinominasikan sebagai New 7 Wonders, Riung merupakan salah satu persinggahan wajib bila bertandang ke Flores. Begitu Komodo booming, tempat ini seakan dilupakan. Nusa-nusa kecil yang dilingkari pasir putih pun seakan menyepi.

‘’Ya, sekarang tamu baru berdatangan menjelang Juni-Juli. Di luar bulan-bulan itu, palingan satu-dua kapal yang disewa. Itu pun hanya akhir pekan, bukan hari biasa,” kata Arul dengan ramah. Arul merupakan warga lokal yang menyewakan kapal bagi pelancong di Riung. Dibandingkan beberapa tahun lalu, aktivitas wisata di Riung sekarang memang agak senyap.

Bersama tiga teman asing, saya menjumpai Arul di dermaga, beberapa menit setibanya di Riung. Di dermaga itulah tempat biasanya pengunjung mencari tumpangan kapal. Setelah berbincang, kami sepakat memakai kapalnya, seharga Rp 600 ribu, sudah termasuk makan siang.

‘’Nanti kita bakar ikan di pulau,” katanya berganti sumringah menerima bayaran. Saya kembali ke Pondok SVD, penginapan kami, dengan sukacita membayangkan ekskursi esok hari.

BACA JUGA

Dirgantara Kelelawar
Pukul tujuh pagi, sembari menenteng air minum dan cemilan, kami sudah ditunggu Arul di dermaga. Cuaca cerah bersahabat, ideal untuk island hopping.

Riung berstatus Taman Nasional. Jadi, untuk memasuki kawasannya pengunjung harus membayar retribusi. Bagi pelancong domestik cuma dikenai tarif Rp 5.000 per orang, sedangkan pejalan asing harus membayar lebih, senilai Rp 100 ribu per orang. Rentang harga yang lumayan jauh, namun sebagai warga negara Indonesia tentu saya senang hanya kena karcis seharga demikian. Paling tidak dalam hati saya bisa sedikit bersorak.

Dalam denominasi resmi, nama Riung tercatat sebagai Taman Nasional 17 Pulau. Pemberian nama ini sebenarnya tidak sesuai fakta mengingat jumlah pulau kecil yang bertaburan di perairan Riung melampaui 20 pulau. Katanya, angka 17 sengaja dipakai agar sesuai dengan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Mungkin bertujuan menimbulkan rasa patriotisme.

Kapal yang kami sewa adalah kapal kayu yang cukup mampu menampung lebih dari 10 orang. Nelayan-nelayan di sini cenderung suka melabur kapal mereka dengan cat dasar warna putih, diberi atap terpal atau dari daun nyiur sebagai peneduh. Begitu kapal mulai melaju membelah lautan utara yang tanpa ombak, saya sepintas seakan-akan berada di salah satu sudut Kepulauan Komodo. Topografi Riung memang sama dengan Komodo, termonopoli oleh savana.

Persinggahan pertama kami adalah Pulau Kalong, di sebelah barat Taman Nasional ini. Arul mematikan mesin tatkala kapal mulai mendekati hutan mangrove. Saya hapal betul gelagat para awak kapal ketika membawa pengunjung ke sini. Mereka akan menciptakan suasana hening, sehingga para penumpang pun berhenti bercakap-cakap. Di cabang-cabang atas pohon, kelelawar bergelantungan dalam koloni besar. Jumlahnya ribuan.


Memasuki hutan mangrove di Pulau Kalong. Foto  EDDY DUE WOI

Begitu kapal berhenti bergerak, Arul menepukkan tangannya, menghasilkan bebunyian lantang. Seketika pula kelelawar berhamburan, terbang beramai-ramai melengkingkan suara. Saya bisa melihat jelas rupa serta bentuk tubuh mereka yang padat. Saat dirgantara dipenuhi hewan bernama latin Chiroptera itu, kami seperti berada dalam lokasi film horor.

Pasir Putih & Snorkeling
Pulau Tiga menjadi tujuan kami berikutnya. Kata Arul, sekalian nanti makan siang di sana. Namun, sebelum sampai Pulau Tiga, Arul menghentikan kapal sekitar 500 meter arah barat Pulau Rutong. ‘’Di sini bagus untuk snorkeling, ada sejumlah mawar laut,” katanya.

Tidak menunggu lama, tanpa komando menceburkan diri. Karena laut pasang, keindahan koral-koral baru bisa dinikmati bila menyelam sekitar kedalaman 2 meter. Saya tidak membawa fin, sehingga tidak leluasa bergerak dalam air.

Usai snorkeling, kapal kemudian menuju ke Pulau Tiga. Kontur pulau ini hanya punya bukit rendah, selebihnya landai, berhias gradasi air laut antara hijau-biru cerah-biru pekat serta keteduhan beberapa pohon. Cocok buat piknik.

Beberapa menit setelah kami tiba, giliran kapal lainnya ikut merapat, juga membawa pelancong. Bisa jadi karena keteduhannya, Pulau Tiga dipilih sebagai lokasi makan siang karena di pulau lain sulit menemukan pohon rindang.


Sebuah kapal pinisi melintasi pulau. Foto EDDY DUE WOI

Awak-awak kapal di Riung ahli juga memasak, terlebih soal seafood grill. Rupanya mereka bekerja sama dengan nelayan, diantarkan ikan segar hasil tangkapan hari itu. Sedangkan nasi, sambal, dan sayuran telah dimasak dari rumah. Dengan bumbu organik, citarasa hidangan terasa gurih. Uh, betah jadinya berlama-lama di Pulau Tiga, bahkan saya sampai tertidur pulas di hammock usai makan, sementara beberapa turis asing berjemur dan kembali masuk dalam laut.

Sekitar jam 15.00 sore, kapal meninggalkan Pulau Tiga, giliran menyambangi Pulau Rutong yang tadi hanya sepintas dilalui. Di antara banyak pulau di Taman Nasional 17 Pulau, Rutong merupakan destinasi paling diminati lantaran begitu fotogenik serta mudah diakses. Pasir pulau mungil ini bersih, putih benderang, ditambah lekuk-lekuk menawan.

Begitu memijakkan kaki di Pulau Rutong, hampir semua kami sigap sibuk berfoto, mencari sudut-sudut terindah. Bintang laut gampang dijumpai di bagian yang dangkal, juga aman berjalan di air karena tidak ada bulu babi. Mereka yang tidak puas sekadar bersenang-senang di pantai memutuskan mendaki bukit. Sudah ada jalur trekking di sejumlah pulau. Di Pulau Rutong ini bisa dibilang a must try karena pemandangan Taman Nasional menakjubkan ditilik dari atas bukit.


Artikel ini pernah dimuat di majalah LIONMAG edisi Mei 2016

e-mag LIONMAG  Edisi Agustus/September 2022


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru