Pulau terkecil dari rangkaian tiga nusa yang menjadi ikon wisata Lombok. Sebuah eskape sempurna bagi pencari relaksasi
Aktivitas Pelabuhan Bangsal siang itu cukup ramai. Selepas menitipkan sepeda motor di gudang penitipan yang disewakan warga, saya bergegas melangkah ke gedung penjualan karcis kapal laut. Wajah-wajah lokal diselingi wajah-wajah asing, dengan bahasa percakapan yang campur baur. Pemandangan demikian sangat wajar karena Pelabuhan Bangsal merupakan titik penyeberangan dari Lombok ke pulau-pulau kecil di sisi barat yang jadi incaran berlibur.
Resto yang asyik untuk melihat sunset Gili Air. Foto VALENTINO LUIS
Saya baru pulang mendaki Gunung Rinjani dan hasrat melepas penat karena pendakian yang menguras tenaga itu tampaknya sangat ideal diwujudkan di sebuah pulau tropis berair biru bening. Bagi saya, ini sebuah itinerary sempurna; terlebih dulu menyambangi destinasi spektakuler yang butuh perjuangan, lalu menutupnya dengan berleha-leha di suatu tempat beratmosfer rileks.
Begitu kapal siap berangkat, saya lekas-lekas memanggul ransel. Oh, ya, saya ingin ke Gili Air, satu dari tiga pulau imut yang amat kesohor di Lombok. Selain Gili Air, ada juga Gili Trawangan dan Gili Meno. Kata gili dalam bahasa setempat berarti ‘’pulau’’.
Sebenarny,a kebanyakan pejalan lebih memilih Gili Trawangan karena pulau itu surganya hiburan. Saya sudah pernah ke sana, namun suasana pulau tersebut agaknya terlalu ramai bagi saya yang cenderung menyukai tempat sunyi.
Lagipula, saya ingin lekas-lekas saja beristirahat, memulihkan pegal akibat pendakian Rinjani. Letak Gili Air paling dekat dengan Lombok, hanya butuh 15 menit menyeberang. Reputasinya pun lebih lekat sebagai tujuan bersantai ketimbang berpesta. Jadi, sudah betul alasan saya memilih Gili Air.
Jalan Kaki Keliling Pulau
Tiba di pulau imut ini serta merta berubah pula atmosfer. Terasa betul suasana liburan. Lalu lalang wisatawan berjalan kaki, sesekali diselingi gemerincing cidomo yang lewat. Transportasi di Gili Air memang mengandalkan cidomo, semacam bendi berukuran kecil.
Otoritas dan warga pulau tidak mengizinkan penggunaan kendaraan bermotor. Keputusan yang jitu karena, selain meniadakan sumber polusi, sepertinya Gili Air lebih keren tanpa hilir mudik kendaraan bermotor, punya citra beda, serta memberi kesan laid back, dan simplistik.
Cidomo salah satu angkutan umum di Gili Air. Foto VALENTINO LUIS
Sunrise Cottage, tempat saya menginap di Gili Air, berada tak jauh dari tempat kapal berlabuh. Hanya beberapa menit berjalan kaki langsung sampai. Posisinya tepat di tepi pantai, menghadap arah timur. Saya memilih kamar berupa rumah panggung etnik dengan ekspetasi bisa melihat matahari pagi terbit.
Penginapan itu memiliki kolam air tawar besar di tengah-tengah taman rimbun. Jika mau bermalas-malasan di tepi laut, bisa pula memanfaatkan sarana bersantai yang telah disediakan, lengkap dengan bar untuk memesan minuman.
Ukuran Gili Air hanya 170 hektare. Penduduknya pun sedikit. Topografinya rada saja, sama sekali tanpa bukit. Sore hari, setelah tidur siang, saya berjalan santai mengitari pulau ini. Sisi utara Gili Air lebih adem, sedangkan sisi barat paling sepi.
Saya suka pulau ini. Meski namanya lumayan terkenal, tapi ternyata masih punya ruang kosong dan sangat alami. Kesan romantis pun tampak di kedua sisi ini karena sering dilalui oleh pasangan kekasih atau suami-istri yang jalan bergandengan tangan melalui jalur yang hening. Ada pula kelompok keluarga bersepeda bersama. Banyak penginapan di Gili Air juga menyewakan sepeda.
Dengan ritme yang santai, saya mengelilingi Gili Air selama sejam. Ketika sampai di sisi selatan, saya tertarik pada sebuah kafe berarsitektur bagus dan memutar musik lounge penenang pikiran. Di situlah saya menghabiskan senja, mengantar sang surya terbenam, serta melihat cahaya kelap-kelip bagai serakan bintang pada batas laut muncul dari Gili Meno di seberangnya.
Bermain dengan Ikan
Pengunjung pulau ini didominasi turis asing, kebanyakan dari Australia. Mereka datang tak hanya sendiri, tetapi juga membawa serta anak-anak. Dari banyak pulau kecil yang pernah saya datangi, sepertinya di Gili Air yang paling banyak diminati keluarga beranak kecil. Lonjakan pengunjung biasa terjadi pada bulan Juni hingga Agustus, saat liburan. Di bulan-bulan demikian, harga kamar pun dinaikkan, bahkan bisa dua kali lipat. Jadi, kalau mau ke Gili Air, pilihlah di luar bulan Juni hingga Agustus.
Tabel coral pun dapat ditemukan di perairan Gili Air. Foto VALENTINO LUIS
Keesokan hari saya tergoda untuk bersnorkeling. Laut di Gili Air tidak hanya bersih dan berwarna biru toska, tapi di dalamnya pun dihiasi koral dengan berwarna-warni ikan. Wajar jika sejumlah Dive Center hadir di Gili Air. Orang-orang pun bisa menyelam lebih dalam. Mereka yang hendak belajar menyelam memilih Gili Air sebagai tempat kursus. Tiga PADI Dive center tersedia, yakni Manta Dive, Blue Marlin, dan Dream Divers.
Dari info yang saya dapatkan di penginapan, koral yang bagus berada di bagian tenggara dan timur laut. Berarti, tak jauh dari tempat saya menginap. Ikan-ikan kecil di lautnya sangat ramah. Ketika menabur remah roti, ramai-ramailah mereka datang berebut. Pelancong yang datang bersama anak-anak pun amat terhibur.
Tebersit dalam benak ingin merekomendasikan Gili Air untuk teman dan kerabat lainnya. Mereka akan suka.
TIPS LIBURAN KE GILIRI AIR
Bawa uang tunai karena di pulau ini belum tersedia ATM
Belilah barang-barang kebutuhan penting di sekitar Bangsal sebelum ke pulau karena harga di pulau lebih mahal.
Jangan lupa bawa tabir surya. Timpaan sinar matahari lumayan keras di Gili Air maupun pulau sekitarnya.
Jika tidak membawa banyak tas, sebaiknya penginapan dipilih langsung agar bisa memeriksa sendiri keadaannya. Saat terbaik adalah bulan Maret hingga Mei, kala harga kamar masih wajar.