menyambut-ritual-tenun
Festival Tenun Pelauw | Dok Istimewa
Art & Culture
Menyambut Ritual Tenun
By Muchsin Salampessy - Pemerhati Sejarah Dan Budaya Lokal
Tue, 14 Oct 2025
Menyusur Jejak Spiritualitas dan kesadaran kolekif Orang Pelauw

Di negeri Pelauw menjelang pelaksanaan Pagelaran Budaya Ritual Tenun yang biasa dilaksanakan setiap Tiga tahun sekali, tepatnya diawal bulan Nopember 2025 nanti. masyarakat mulai sibuk dengan berbagai bentuk persiapan menjelang pagelaran itu. Para pemuda terlihat mulai sibuk membuat parang cakalele dan menyiapkan pakaian cakalele-nya, para perempuan juga sibuk melatih hapalan syair-syair kapata kuno sebagai pengiring tarian, ada juga yang menyiapkan benih-benih dari hasil-hasil kebunnya, sementara yang lainnya repot dengan menata kebersihan pelataran negeri, pagar-pagar rumah warga sepanjang ruas-ruas jalan dicat rapih. Semenara itu di rumah-rumah Soa para tetua juga sudah disibukkan dengan segala persiapan menjelang pelaksanaan ritual tiga tahunan ini.

Sementara itu, dari lembah-lembah yang diselimuti kabut pagi hingga puncak-puncak bukit, tanital belakang negeri, terpampang langit Pelauw yang membentang dengan keteduhannya yang seakan turut serta menyambut pagelaran sakral itu. Diantara riuh ombak pantai di haita Namalatu, negeri yang menyimpan jejak-jejak pemukiman lama leluhur. Rumah-rumah Soa berdiri kokoh dan bertengger dalam ruang batin kolektif yang menyatu dengan manusia, alam dan lelehur yang terus bertahan dalam narasi-narasi adat, spirituaitas, dan harmoni kosmos. 

Memasuki awal bulan Jumadil Ula nanti atau memasuki pekan pertama di bulan Nopember nanti, suasana negeri akan mulai hening namun sarat dengan getaran aroma ritual meski masih berjarak beberapa hari lagi dari acara pagelaran. Para pemuda yang akan mengikuti Ritual Maatenu Pakapita – Cakalele, selain menyiapkan parang dan pakaian cakalele, mereka juga mulai mencukur plontos rambutnya di halaman-halaman rumah sebagai sebuah simbol pembersihan diri dari kesombongan duniawi. Tubuh mereka dibersihkan setiap hari di Wae Marikee juga di Wae Masawae, dua sumber air yang dianggap suci yang diyakini sebagai medium penyucian ruhani. Sepanjang hari ada yang memilih tidak lagi memakai alas kaki sebagai bentuk mendekatkan diri dalam dimensi leluhur, dimana menapaki bumi dengan kesadaran bahwa setiap langkah adalah sebuah ziarah menuju makna asal mula.

Di rumah-rumah Soa, para tetua juga sibuk mengatur tentang bagaimana distribusi pasukan, selain koordinasi penentuan siapa saja yang akan ditunjuk untuk sebagai Penari Tenun mewakili setiap dari keempat Soa, Sementara para perempuan dari hampir setiap rumah tangga tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan ritual jelang Maalawa Hinia Huwai.

Kesunyian yang merayap di hari-hari itu menumbuhkan energi disiplin bathin yang kuat, namun terkadang kesunyian itu acapkali dipecah oleh suara raungan dan pekikan pemuda yang tiba-tiba masuk dalam kondisi trans (kaa). Dalam keadaan yang demikian itu, ia lalu menghunuskan pedang yang baru diasah saban hari diwaktu pagi dan petang, lalu menari dengan keberanian tanpa takut terluka dan rasa sakit, menjadi pertunjukan kecil yang kerap muncul dilorong-lorong, pelataran, dan ruas-ruas jalan utama negeri. Adegan itu bukan sekedar tontonan, melainkan bentuk dialog purba antara manusia dan roh leluhur yang terus menyelimuti negeri dalam aura sakral setiap hari jelang waktu pagelaran dimulai. 

Sementara hinia huwai, benih kehidupan yang menjadi sembol kemakmuran telah dipersiapkan untuk disemai nanti di Baileo, rumah adat negeri. Dimana di ruang itu pula para penari dari keempat Soa mulai berlatih setiap hari, mengharmonisasikan gerak tari dengan alunan kapata tua diiringi irama tabuhan tifa dalam balutan lingkaran para pelantun Kapata (Lani). Setiap langkah mereka, gerak ayun lentik jemari dan gemulai lengan mereka dan bahkan tarikan nafasnya seolah menjadi jembatan utama antara dunia kini dan masa lampau. 

Bagi masyarakat Pelauw, persiapan ini bukan hanya soal kegiatan adat dan ritual saja, melainkan jejak sebuah perjalanan spiritual yang mempertemukan kembali generasi hari ini dengan leluhurnya dan juga tanahnya sendiri. Demikian hari-hari terakhir jelang pagelaran budaya tiga tahunan ini mengalir dengan aroma spiritua yang sangat kental.

Harapan penulis dari pelaksanaan ritual Tenun kali ini adalah agar makna yang tersimpan dalam setiap gerak tari dan nyanyian kapata, dalam setiap hentakan kaki dan pekikan diantara sayatan pedang, atau disetiap gerak laju para pembawah benih kemakmuran, adalah bukan hanya soal menjaga kesinambungan nilai luhur. Akan tetapi bahwa ditengah derasnya arus modernisasi ini, ritual Tenun tetap menjadi jangkar identitas, menautkan kembali generasi muda dengan akar budayanya yang memberi arah pada perjalanan masa depan, bahwa Kesucian perjuangan dan pengorbanan, ikatan kebersamaan, dan pengormatan kepada leluhur bukanlah mengenang memori masa lalu saja, melainkan sebagai sumber kekuatan yang terus menumbuhkan identitas dan kesadaran kolektif Orang Pelauw terutama generasi mudanya di masa kini dan yang akan datang.(***)

Share
Sample Banner 1

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru