Rekacipta Suku Dayak Tomun menginterpretasikan niat melarung nestapa dan kematian.
Tengah hari setelah makan siang seperti ini, biasanya rasa kantuk menghela penduduk di kampung-kampung untuk rehat, sejenak tidur siang. Tapi di Delang, sebuah kecamatan di Lamandau yang terpisah 200 km dari Kota Pangkalan Bun, empat petani malah tekun berhadapan dengan serakan kayu.
Pak Ponten, yang duduk paling kanan, mengerut kayu-kayu menjadi beberapa bentuk. Dua teman lainnya membantu membenahi yang diperlukan. Sedangkan Pak Rudi, yang duduk paling kiri, tampak asyik membubuhkan warna pada kayu yang sudah nyata berwujud wajah hewan.
“Pewarna merah berasal dari buah kesumba,” kata Pak Rudi sembari menunjukkan buah kesumba yang tercecer di lantai. “Beginilah proses pembuatan Luha, topeng khas kami suku Dayak Tomun.’’
Ini adalah kunjungan perdana saya ke Kalimantan. Saya tidak tahu banyak tentang budaya Dayak, bahkan juga baru paham ternyata terdapat bermacam Suku Dayak dengan pola kultur masing-masing. Di Kalimantan Tengah yang saya datangi ini, Dayak Tomun merupakan suku asli. Telinga para perempuannya tidak berlubang menjuntai sarat gelang seperti Dayak Apo Kayan, tapi memiliki sejumlah ritual serta kriya seni.
Luha, topeng kayu, merupakan produk seni Dayak Tomun. Sebenarnya topeng sangat lekat dengan Suku Dayak mana pun, tetapi Dayak Tomun memberikan tempat khusus dan menamakannya Luha. Luha berkaitan erat dengan agama asli Suku Dayak, Kaharingan. Sebagaimana karya-karya seni budaya lainnya di Indonesia, Luha juga memiliki sejarah serta nilai filosofi.
Penghibur Nestapa
Syahdan, pada masa lampau kepala suku kehilangan nyawa anaknya karena sakit yang tak terobati. Sang kepala suku beserta keluarga amat berduka. Karena tak tega menyaksikan nestapa keluarga tersebut, beberapa penduduk terilhami melakukan sesuatu sebagai penghibur hati. Muncul ide membuat topeng. Wajah makhluk-makhluk buas, seperti hewan serta sosok hantu, ditampilkan wujudnya di topeng.
Menjelang mayat dikubur, mereka tampil dengan adegan-adegan lucu meniru tingkah hewan. Keluarga yang berduka pun merasa terhibur dan perlahan rela melepaskan kematian anaknya.
Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan. Setiap ada kematian, topeng-topeng dibuat dan ditampilkan sebelum upacara penguburan. Rupa Luha kerap mewakili hewan-hewan yang hidup dalam mitologi maupun keseharian Dayak, seperti gabon, tarsius, burung hantu, juga hantu-hantu di hutan Kalimantan semisal Kariyau.
“Luha bisa dipakai lagi untuk upacara pada kematian berikutnya. Jadi bukan sekali ditampilkan, langsung dibuang,” kata Pak Ponten menerangkan.
Lelaki itu pun membeberkan, dalam pembuatan Luha, Suku Dayak Tomun banyak memakai warna merah-putih-hitam untuk mengecat topeng. ‘’Kami mewarisi saja yang sudah digariskan leluhur. Mengenai arti warna-warna itu, kami tidak diberitahu,” ucap Pak Ponten.
Yang dipakai untuk menciptakan Luha adalah kayu pulai yang tidak keras, sehingga gampang dibentuk.
Seiring berkembangnya zaman, Luha dihadirkan tidak cuma dalam upacara kematian. Topeng ini sering juga digunakan sebagai penghias rumah. Penyuka karya seni etnik pun mulai melirik Luha sebagai benda untuk dikoleksi. ‘’Kami bisa membuatkan Luha dalam berbagai ukuran. Tapi tetap, ukiran serta pola-polanya harus selalu seturut pakem tradisi kami,” kata Pak Ponten.
Pencetus Tari Babukung
Topeng Luha tidak hadir begitu saja dalam upacara kematian, melainkan dalam atraksi tarian. Babukung merupakan tarian yang khusus dipentaskan dengan topeng Luha. Sementara para penarinya dinamakan Bukung.
Mempertegas histori Luha, setidaknya terdapat dua makna terkandung dalam pementasan Tari Babukung. Pertama, saling membantu (bersedekah kepada keluarga korban yang ditinggal meninggal). Kedua, berbagi simpati dalam upaya menghibur orang yang bersedih ditinggal anggota keluarga yang meninggal.
Para Bukung yang menari turut pula memberikan bantuan berupa makanan (hasil kebun), minuman (tuak), maupun uang. Ini merupakan ungkapan solidaritas atas keluarga yang ditimpa kemalangan mendadak. Ketika menari, para Bukung berusaha menampilkan atraksi semenarik mungkin dengan harapan keluarga yang berduka merasa terhibur.
Atraksi Tari Babukung bisa berlangsung selama beberapa hari, tergantung strata tuan rumah yang berduka. ‘’Kalau tuan rumah meminta, Luha pun dapat diberikan untuk dipasang di kuburan anggota keluarga yang meninggal,” kata Pak Ponten.
Kini Luha diperkenalkan kepada publik. Sejak 2004, Pemerintah Daerah Lamandau menyelenggarakan Festival Babukung. Berbagai macam Luha dari tiap daerah pun ditampilkan pada festival tersebut meski nilainya bukan lagi ritual kematian atau ritual kepercayaan Kaharingan, melainkan hendak mengangkat sisi seni dan budaya –seni merancang Luha, seni tari, serta seni pakaian para Bukung.
‘’Karena Tari Babukung mulai ditinggalkan dan keterampilan memahat topeng Luha menyusut, Festival Babukung setidaknya membuka mata bahwa kita punya warisan tradisi yang patut dipertahankan,” ujar salah warga yang hadir menemani Pak Ponten.
Matahari masih menyengat. Saya telah kehilangan kantuk. Ingin sekali saya pamit dengan menggamit sebuah Luha. Bukan untuk mengantar kematian, tapi membawa sukacita.
BACA JUGA