jumat-bersama-maria
Katedral di waktu malam | Foto : Teguh Sudarisman
Jumat Bersama Maria
By Text & Foto : TEGUH SUDARISMAN
Thu, 04 Dec 2025
Kulit wajahnya pucat, matanya terpejam. Namun segurat senyum masih tersirat dari wajahnya yang ayu dan teduh. "Semua keturunanku menyebut aku bahagia," katanya.

Sebagai warga Jakarta, tentu bukan baru pertama kali ini saja saya mengunjungi Gereja Katedral Jakarta. Saya pernah, datang minggu pagi ke sini. Bukan untuk ikut misa, melainkan untuk melihat bagaimana suasana misa di pagi hari. Ternyata nuansanya khidmat sekali ya, terlebih karena matahari perlahan-lahan naik dan sinarnya yang kuning menerobos masuk jendela katedral. Beberapa burung gereja, yang saya kira sudah tidak ada lagi di Jakarta, ramai berkicau dan berlonpatan masuk ke atas ruang altar utama.

Di waktu lain, saya mengantar bapak mertua saya yang datang dari Cebu City, Filipina. Terbiasa dengan suasana Basilica Santo Nino di sana yang setiap hari ramai oleh ribuan jemaat dan peziarah, beliau justru lebih menikmati keanggunan dan ketenangan di katedral ini. Kekagumannya makin bertambah ketika kami menyeberang jalan dan masuk ke Masjid Istiqlal. “Hebat ya, katedral dan masjid bisa berhadap-hadapan. Di Filipina tidak ada yang seperti ini.”  

Di pagi ini, ketika saya menginjakkan kaki lagi di halaman katedral, rasa bangga dan kagum kembali menyeruak di dalam hati. Di usianya yang menjelang 125 tahun, katedral ini tetap berdiri dengan kokoh dan anggun, dan menjadi landmark kota yang patut diapresiasi oleh pemeluk agama manapun. Sebab sebenarnya, perjuangan untuk bisa mempunyai gereja Katolik di Hindia Belanda (Indonesia) saat itu tidak diperoleh dengan mudah, melainkan melalui perjuangan para imam secara terus-menerus selama beberapa abad. 


Misi Katolik pertama yang tercatat di Kepulauan Nusantara adalah ketika Imam RD Simon Vaz membaptis Suku Moro di Halmahera Utara, pada tahun 1534. Tahun 1546, Imam Fanciscus Xaverius juga melakukan misi Katolik di Ambon dan Maluku Utara. Namun selama beberapa abad berikutnya, umat Katolik banyak mengalami persekusi dari VOC Belanda, sehingga kegiatan dan ibadah mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Keadaan mulai berubah ketika akhirnya pada tahun 1807, Paus Pius VII, pimpinan gereja Katolik di Vatikan, mendapat persetujuan dari Raja Louis Napoleon di Belanda—yang menganut Katolik—untuk mendirikan prefektur apostolik di Hindia Belanda. 

Sebagai Prefek Apostolik I diangkatlah Pastor Jacobus Nelissen (menjabat 1808-1817). Mei 1808, pastoran pertama didirikan di Batavia, berupa sebuah rumah bambu di tanah yang sekarang ditempati gedung Departemen Agama. Misa pertama dilangsungkan di sebuah gereja darurat, yang letaknya kini di dekat tempat parkir Masjid Istiqlal.


Dua tahun kemudian, 2 Februari 1810, ketika Hindia Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, barulah bisa didirikan sebuah gereja Katolik permanen di Jalan Kenanga, Senen. Di gereja ini pula, Sir Thomas Stamford Raffles, gubernur jenderal Inggris yang memerintah Hindia Belanda beberapa tahun kemudian, pernah menjadi orangtua baptis untuk seorang anak perempuan.

Sayang, 27 Juni 1826 gereja ini terbakar bersama 180 rumah pedagang Tionghoa di Pasar Senen. Karena sejak semula tidak memiliki hak atas tanah dan bangunan gereja, Dewan Gereja Katolik tidak bisa membangun lagi gereja di bekas kebakaran ini ketika ahli waris pemilik tanah itu menolak menjual tanahnya. 

Untungnya, oleh pemerintah Belanda, Dewan diberi kesempatan membeli tanah di Lapangan Banteng—di tanah yang ditempati katedral sekarang—yang waktu itu di atasnya telah berdiri bangunan bekas kediaman Jenderal De Kock. Segera kemudian dibuat denah gereja baru. Namun rencana ini juga tidak pernah terealisasi karena kebutuhan dananya terlalu besar. Akhirnya bangunan yang sudah ada dirombak agar bisa dipakai sebagai gereja. 

Gereja yang panjangnya 35 meter dan lebar 17 meter ini pada 6 November 1829 diberkati oleh Mgr. L. Prinsen Pr. dan diberi nama Santa Maria Diangkat ke Surga (The Church of Our Lady of the Assumption). Tanggal 1 Mei 1843 diadakan misa pontifikal pertama di sini, dipimpin oleh Mgr. Jacobus Grooff. 

Setahun sebelumnya, Mgr. Grooff telah diangkat menjadi Vikaris Apostolik Batavia I oleh Kongregasi di Propaganda Fide di Roma, yang menandakan bahwa status misi Katolik di Hindia Belanda kini telah naik. Sejak itu pula gereja ini berstatus katedral, yakni sebuah gereja yang mempunyai kathedra (kursi takhta) dari uskup setempat.


Tapi Ambruk

Sejalan dengan berkembangnya misi Katolik di Hindia Belanda, terutama sejak masuknya imam-imam dari Ordo Jesuit (Serikat Yesus), katedral ini makin berkembang dan membutuhkan renovasi. Tahun 1870, katedral dipugar dan dibuatkan menara baru di bagian depan gereja.

Sayang, meski berpenampilan kokoh, konstruksinya ternyata tidak memadai. Tanggal 9 April 1890, sebagian besar bagian tengah gereja ini ambruk. Selama 10 tahun kemudian, kegiatan-kegiatan gereja terpaksa berlangsung di katedral darurat yang berlokasi di garasi kereta kuda uskup.

Pembangunan katedral baru, yang rancangan arsitekturnya dibuat oleh P. Antonius Djikmans, S.J. sebenarnya sudah dimulai 1 November 1890. Namun setelah pemancangan batu pertama, setahun kemudian pembangunan dihentikan karena kekurangan dana. Hanya dengan melakukan pengumpulan donasi yang masiflah, mulai dari mengadakan undian berhadiah hingga menyebarkan kotak-kotak amal misi ke seluruh penjuru Belanda, akhirnya dana untuk pembangunan katedral bisa terkumpul. 

Pada 16 Februari 1899 pembangunan katedral pun dimulai lagi, dengan arsitek Marius Hulswit. Dua tahun kemudian, tepatnya 21 April 1901, gereja katedral yang baru ini akhirnya selesai dibangun, dan diresmikan oleh uskup Mgr. Luypen.

Renovasi yang cukup besar baru dilakukan lagi 87 tahun kemudian, tepatnya tahun 1988. Atap gereja yang tadinya dari sirap, diganti dengan lembaran-lembaran tembaga yang lebih awet dan tidak mudah bocor.

Menara Malaikat

Jika diamati, ruang ibadah katedral yang punya panjang 60 meter dan lebar 20 meter ini mempunyai denah seperti salib. Lorong utama dari pintu depan sebagai batang salib, pintu utara dan selatan sebagai batang mendatar, dan bagian altar utama sebagai kepala salib. Jika ditarik garis lurus ke atas, di pertemuan batang salib ini berdirilah Menara Angelus Dei (Malaikat Tuhan) setinggi 45 meter. 

Dua menara utama yang ada di atas pintu masuk, masing-masing tingginya 60 meter dan ditanam hingga ke tanah. Kedua menara ini mempunyai desain yang berbeda. Menara selatan yang disebut Menara Gading—lambang kesucian Bunda Maria—keempat sisinya disangga empat menara kecil yang lancip. Ciri khasnya adalah adanya jam dinding bertuliskan van Arcken & Cie. Sedangkan menara utara yang disebut Benteng Daud—lambang perlindungan Bunda Maria kepada umatnya—disangga empat menara kecil berbentuk benteng. Setiap hari, lonceng di menara ini berdentang-dentang sebanyak tiga kali, yakni pada pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore.

Diapit kedua menara ini, tepat di atas pintu masuk, terdapat Rozeta, jendela bulat dari kaca patri yang bermotif Rosa Mystica, lambang Bunda Maria. Kalau dari luar mungkin warnanya cuma terlihat abu-abu dan hijau lumut saja. Namun kalau dilihat dari dalam, terlebih saat terkena sinar matahari sore, jendela berhias 12 mahkota mawar ini akan berkilau indah berwarna-warni.

Katedral ini merupakan bangunan bergaya gotik, namun dengan beberapa penyimpangan. Misalnya bangunan menara yang dibuat dari besi cor—seharusnya dari beton—untuk mengantisipasi terjadinya gempa. Pilar-pilar utamanya yang berornamen bunga-bunga, bergaya Romawi. Lalu langit-langit ruang ibadah utamanya dari kayu jati, dengan polanya yang berbentuk seperti pelepah melengkung pohon palma, khas Timur Tengah. Tak heran jika katedral ini lebih tepat disebut bergaya neo-gotik.

Kaca-kaca patri cantik yang ada di tiap jendela, dan motif-motif bunganya tidak ada yang sama. Kaca-kaca itu sudah ada semenjak gereja ini berdiri, dan konon hingga kini belum ada yang pecah. 

Dua orgel pipa ada di dalam katedral ini. Satu orgel yang berukuran lebih besar dengan 1.000 pipa, terletak di sisi kanan ruang ibadah utama. Orgel ini dibuat perusahaan Verschueren dari Belgia, dan mulai dipasang tahun 1988, bersamaan dengan pemugaran besar katedral. Orgel ini berasal dari orgel lama dari Desa Amby di Maastrich-Belanda, yang dibeli karena coraknya cocok dengan gaya gotik katedral. Untuk memasang ulang orgel ini sampai dibutuhkan tiga insinyur Belgia.

Orgel yang lebih kecil dan lebih kuno—digunakan sejak katedral ini diresmikan tahun 1901—ada di lantai balkon, tepat di bawah Rozeta. Orgel ini berasal dari Stuttgart-Jerman dan memiliki 400 pipa. Mengingat usianya, sekarang orgel ini jarang digunakan kecuali untuk keperluan khusus.

Hal lain yang membuat saya kagum adalah deretan kursi-kursi kayu panjang untuk tempat duduk jemaat. Terdiri dari empat lajur memanjang: dua di bagian tengah, dua lagi di bagian kanan-kiri, di bawah balkon. Meski usia kursi-kursi kayu ini sudah sangat tua—dari tahun 1890—namun masih kokoh dan mengilat. Tidak ada bunyi derit sedikit pun ketika diduduki. Bagian tempat duduknya saja yang dari anyaman rotan secara teratur diganti jika ada yang rusak. 

Mimbar khotbah lama yang dinaungi tudung seperti kerang, yang berfungsi untuk memantulkan suara pengkhotbah, hingga kini masih cantik dengan relief-relief bergaya gotik di atas dan di bawahnya. Mimbar ini dibuat di Den Haag dan dipasang tahun 1905. Di pegangan tangga menuju mimbar ini ada patung Rasul Petrus memegang kunci surga, dan Rasul Paulus yang memegang sebuah buku dan sebilah pedang. Di bawahnya lagi bertengger ukiran berbagai pose gargoyle, makhluk kegelapan pengusir roh jahat.

Di sisi selatan dan utara ruang ibadah utama masing-masing terdapat dua ruang pengakuan dosa. Di dinding atasnya, mengitari ruang utama, terdapat 14 lukisan jalan salib dari potongan-potongan keramik, yang menceritakan kehidupan Yesus dari lahir hingga disalib.

Saat sedang tidak ada misa, hanya beberapa orang jemaat saja yang saya lihat terpekur berdoa di bangku panjang, menjadikan suasana di ruangan berlangit-langit tinggi ini makin khidmat. Satu atau dua jemaat menyalakan lilin atau duduk berdoa di depan pieta, yang ada di sudut sisi kanan dari pintu masuk. 

Pieta ini replika patung karya Michaelangelo yang menggambarkan Bunda Maria tengah memangku Yesus setelah diturunkan dari salib. Berbeda dengan pieta di Basilica St. Peter di Vatikan yang penuh sesak dengan orang—sebagian mau berdoa, tapi lebih banyak lagi yang ingin memotret—pieta di Katedral Jakarta ini sepi, tenang, dan temaram oleh cahaya lilin, sehingga jemaat lebih khusyu dalam berdoa.

Koleksi Unik di Museum

Gereja ini mempunyai lantai balkon yang ada di atas pintu masuk, menyambung ke bagian kanan dan kiri. Sejak tahun 1991 balkon ini difungsikan sebagai Museum Katedral, yang menyimpan koleksi sekitar 400 benda-benda gerejani, bahkan dari era sebelum gereja ini berdiri. Namun sejak 14 November 2018, museum ini pindah, menempati gedung tersendiri berlantai dua di bekas pastoran lama, di depan Gua Maria di sisi utara katedral. Selain lebih luas, museum ini terasa lebih fresh, lebih dingin, namun juga terasa agak sepi karena mungkin belum banyak orang yang tahu. Tiket masuknya gratis, kita cuma perlu mengisi buku tamu.

Di lantai satu, langsung menyambut begitu saya masuk, adalah replika Pastor P. Bonneke S.J. yang sedang naik perahu tradisional belo. Pastor ini gigih melakukan misi Katolik di Flores, namun meninggal saat perahunya tenggelam di Selat Lewotobi pada tahun 1889.

Kita juga bisa membaca sejarah misi Katolik di Hindia Belanda, timeline berdirinya Katedral Jakarta, dan profil para imam dan uskup katedral dari masa ke masa. Foto tujuh orang Suster Ursulin—yang kemudian mendirikan Sekolah Santa Ursula di kompleks katedral—juga ada di sini, termasuk kursi roda kuno yang dipakai Suster Emmanuella, salah seorang suster itu. Sayang, setiba di Batavia, dia meninggal dunia empat hari kemudian. Lalu ada sepeda onthel Pastor Jan Weitjen—yang sangat fasih berbahasa Jawa halus—yang membina umat di Yogyakarta. 

Lantai dua menampilkan buku-buku kuno dan manuskrip sejarah. Salah satunya, buku nyanyian gereja dalam bahasa Latin. Lalu ada ruangan yang mendokumentasikan kunjungan tiga Paus ke Indonesia: Paus Paulus VI (1970), Paus Johannes Paulus II (1989) dan Paus Fransiskus (2024). Berbagai relikwi—benda peninggalan tokoh suci Katolik—juga ada di sini, tersimpan di dalam relikwarium tembus pandang.

Beberapa monstrans, yakni wadah keemasan berbentuk pancaran sinar matahari yang biasa digunakan saat sakramen, juga ada. Lalu ada kasula, yakni jubah imam Katolik yang dikenakan saat Misa Kudus. Warna jubah dan hiasan bordir emasnya berbeda-beda, menyesuaikan dengan masa atau perayaan dalam kalender Katolik. Di sini masih tersimpan kasula dari abad ke-19, dengan ciri khasnya yakni hiasan salib besar di bagian punggung.

Yang paling menarik buat saya adalah adanya patung Maria berkebaya, dengan bordir lambang Pancasila di bagian dada. Lalu sebuah replika katedral yang dibuat dari bahan koran bekas, yang dibuat oleh empat narapidana binaan di Lapas Narkotika Bangli-Bali. Dibuat selama 12 hari, miniatur katedral ini menurut saya sangat indah, kalau tidak dibilang sebuah masterpiece.

Saya keluar dari museum dan menuju halaman depan, melewati halaman Gua Maria yang rindang, dengan tiga orang tengah duduk berdoa di bangku depannya. Bunyi lonceng katedral kini berdentang-dentang di atas kepala, bersahutan dengan suara azan salat Jumat dari Masjid Istiqlal di seberang jalan. Saya akan ke sana. Namun sebelum itu, saya pandangi lagi wajah Bunda Maria di atas pintu utama, di bawah Rozeta. Wajahnya yang cantik dengan senyum yang teduh, serasa pas dengan kalimat latin di bawahnya: Beatam me dicentes omnes generationes—Semua keturunanku menyebut aku bahagia. (*)

Artikel ini terbit juga di edisi Desember 2025, inflight magazine : LIONAIRGROUP


Share
Deheng event
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru