LAKI-LAKI itu muda, gagah, kariernya sedang menanjak, tiba-tiba meninggal dunia. Istrinya, yang selama ini setia mendampinginya, tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Ia merasa kecolongan. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang. Macam-macam lagi perasaan yang berbaur di dalam hatinya. Jika semua itu desak-mendesak mencapai puncak, "alam" lalu turun tangan menolongnya. Ia pingsan. Pada hari kematian suaminya itu, orang tak dapat menghitung berapa kali ia jatuh pingsan.
Begitu siuman, begitu ia lari ke tempat jenazah dibaringkan. Tanpa memperdulikan siapa-siapa, ia meraung sambil memeluk tubuh yang dingin dan diam, tubuh yang pernah hangat dan bersemangat mendampinginya pada hari-hari yang lalu; lalu... pingsan lagi. Tubuh wanita yang keadaannya mirip seonggok benda yang tak terawat itu dipindahkan ke tempat lain. Selang beberapa saat, siuman lagi. Orang-orang tak tega menghalanginya ketika ia lari terhuyung-huyung dan melemparkan badannya ke atas tubuh suami tercinta, lalu... pingsan lagi. Sampai sekian hari setelah suaminya meniggal, ia masih dalam keadaan sadar dan pingsan silih berganti. Memperhatikan keadaannya ini, beberapa orang menduga bahwa nasib si istri yang ditelan duka ini bakal segera mengantarnya bergabung dengan suaminya di alam sana.
Derita yang menyengat hati istri yang ditinggal mati suami itu sepenuhnya dapat dipahami. Mereka memadu janji sehidup-semati sejak masih di SMP. Mereka menikah setelah sama-sama berhasil mengantongi ijazah sarjana muda. Sekian tahun kemudian mereka bersama-sama pula menyelesaikan studi terakhir, dan sang suami tak lama setelah itu ditunjuk memangku jabatan sebagai walikota. Bayangkan! Suami gagah, muda, jantan dan notabene walikota lagi, harus pergi tiba-tiba, tanpa pamit. Istri macam mana yang tidak "gila" jika "kecurian" seperti itu?
*****
TIGA BULAN kemudian, berita kematian walikota yang disebabkan serangan jantung itu pengaruhnya tidak begitu mencekam lagi. Sudah banyak peristiwa lain yang muncul, yang menggesernya ke belakang.
Pada suatu malam minggu, saya sempat hadir di Stadion Mattoanging untuk turut menyaksikan "malam lawak" Bagyo dkk. Malam itu, saya gembira sekali, tertawa habis-habisan. Memang di antara pelawak Indonesia, Bagyo inilah yang paling saya senangi, dan sampai sekarang saya nilai tetap yang paling top.
Sementara tertawa meledak-ledak, seko-nyong-konyong mata saya menabrak sebentuk wajah dan begitu mengagetkan sehingga tulang rahang saya berhenti bergerak. Saya kehilangan nafsu untuk tertawa. Saya diam. Saya memutar ingatan ke tiga bulan yang lalu. Ya, tidak salah, sebentuk wajah itu adalah milik istri walikota almarhum. Saya harus sanggup menahan diri untuk tidak bersuara, apalagi untuk tertawa. Saya, kalau perlu, harus sanggup bersikap munafik, pura-pura masih sedih di hadapan janda yang baru saja ditinggal suami tercinta.
Kalau ada suatu yang saya paling benci, maka sesuatu itu adalah bersikap munafik. Meskipun demikian, sekali ini apa boleh buat saya bersikap munafik. Terpaksa. Betul-betul terpaksa. Saya harus menjaga perasaan orang. Kemunafikan dengan alasan ini, barangkali masih dapat dimaafkan.
Ternyata sesuatu telah terjadi dan otak saya agak terlambat mencerna kejadian itu. Apa yang tampak di depan mata dan yang terdengar oleh telinga, tidak segera dapat kupercayai. Saya melihat dengan pasti sebentuk wajah yang amat cerah memancarkan sinar bahagia, dan suara gembira tertawa cekikikan... dan semua itu muncul dari janda yang teramat bersedih tiga bulan yang lalu. Janda yang diduga orang akan segera menyusul suaminya ke alam baka.
Saya yang barusan terpaksa bersikap munafik, terpaksa lagi menertawai diri. Lucu, mau ikut solider bersedih, tahu-tahu yang punya ke-sedihan itu sendiri sudah cekikikan!
Alam, sebagai bagian kecil dari ciptaan Tuhan, menurunkan rahmatnya berupa kemampuan "bersesuai" kepada makhluk-Nya. Si istri yang kehilangan suami itu, setelah berproses, tiba pada kenyataan baru bahwa ia sanggup hidup dan bersesuai kembali. Inilah yang juga disebut berkat positif dari mekanisme adaptasi. *****
BACA JUGA :