Bangunan-bangunan tua di Istana Kaibon tidak lagi tersusun rapi. Pengunjung pun tidak tahu bentuk aslinya secara utuh.
Peninggalan sejarah Istana Kaibon di Kota Serang, Provinsi Banten, seyogianya masih bisa memberikan gambaran tentang kejayaan pemerintahan Banten pada masa silam. Namun, kondisinya kini terbengkalai. Yang tersisa hanya puing-puing bangunan tua yang tidak utuh lagi.
Kondisi banyak ruangan istana yang dibangun pada masa Kesultananan Banten (1526–1813) itu bahkan sudah tidak berbentuk. Beberapa bagian dinding dipenuhi aneka coretan tangan-tangan usil, sehingga merusak keindahan bangunan secara keseluruhan.
Istana Kaibon merupakan peninggalan sejarah bernilai estetika nan cukup bagus. Tidak kalah dengan bangunan-bangunan kuno Yunani. Sayang, istana itu terbengkalai. Hancur termakan usia. Kurang terawat dan sekadar dijadikan tempat bermain anak-anak.
Padahal, jika bangunan Istana Kaibon dikelola dengan baik dan dijadikan aset wisata, terbuka peluang berkontribusi pada pengingkatan pendapatan daerah bersangkutan.
Keraton Kaibon dibangun menghadap barat dengan kanal di bagian depan. Kanal itu merupakan jalur transportasi menuju Keraton Surosowan yang terletak di bagian utara.
Yang tersisa dari Istana Kaibon. Foto Makhfud Sappe/LIONMAG
Bagian depan keraton dibatasi gerbang dengan lima pintu. Arti angka lima mengikuti jumlah shalat dalam satu hari yang dilakukan umat Muslim. Gerbang dengan perpaduan gaya Jawa dan Bali itu setinggi 2 meter dengan bentuk Candi Bentar sebagai motif.
Di kawasan Istana Kaibon masih terdapat sebuah pohon besar dengan akar menjulur ke bawah yang bisa dijadikan tempat berteduh para pengunjung. Dekat pohon besar itu terdapat anak sungai berair warna hijau.
Dikelilingi saluran air membuat arsitektur Istana Kaibon begitu unik. Seolah istana itu dibangun di atas air. Semua akses masuk dari depan maupun belakang harus melalui jalan air. Ciri lainnya adalah nuansa arsitektur Islam; bangunan inti istana seperti masjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah.
Beberapa bangunan memang masih berdiri kokoh dan utuh, seperti tiang-tiang penyanggah, tembok, fondasi bangunan, saluran air, gerbang utama, serta sebuah pintu berukuran besar yang masih bisa dilihat utuh.
BACA JUGA :
- Pusat Pendidikan Dunia di Candi Muaro Jambi
- Lorong Waktu Lawang Sewu
- Mabadong Tarian Duka Ritual Rambu Solo
Berbeda dengan bangunan sekarang, tembok Istana Kaibon menggunakan batu bata berukuran besar. Lantai berwarna coklat dan tebal dari tanah merah. Pada bagian lain terdapat sebuah ruangan persegi empat. Ruangan dengan bagian dasar lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah itu diduga merupakan kamar Ratu Aisyah.
Terdapat pula ruangan lebih rendah yang digunakan sebagai ruang pendingin ruangan, dengan cara mengalirkan air di dalam serta diberi balok kayu pada bagian atas sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih terlihat jelas pada dinding ruangan.
Kekejaman Daendels
Ditinjau dari namanya, kata ‘’kaibon’’ berarti keibuan. Berdasarkan catatan sejarah, istana itu dibangun sebagai persembahan untuk Ratu Aisyah, ibunda Sultan Syafiudin, karena saat ditahbiskan sebagai Sultan Ke-21 Kerajaan Banten, Syafiudin masih belia. Ia baru berusia 5 tahun, sehingga belum pantas memegang tampuk pemerintahan.
Muasal penghancuran keraton itu terjadi ketika Philip Piete Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, meminta Sultan Syafiudin meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan serta pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada di kawasan Labuhan.
Sultan Syafiudin menolak tegas. Ia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daendels. Tindakan Sultan Syafiudin itu membuat Daendels marah besar dan menghancurkan Istana Kaibon.
Daendels adalah Gubernur Jenderal Belanda yang pernah memerintah pada 1808—1811. Ia dikenal sangat kejam dan menindas rakyat demi keuntungan pemerintah kolonial Belanda maupun pribadi.
Artikel ini pernah dimuat di majalah LIONMAG edisi Maret 2015
E-mag : LIONMAG edisi Agustus 2022