bunga-kamboja-di-atas-kuburan
| Ai Generated
Bunga Kamboja di Atas Kuburan
By Muliadi Saleh - Esais Reflektif
Sun, 28 Dec 2025

Di atas tanah sunyi yang ditinggali nama dan kenangan, bunga kamboja tumbuh tanpa cemas. Ia mekar di tempat yang bagi sebagian orang adalah akhir. Namun bagi alam justru itulah awal. Kuburan, yang sering dipersepsi sebagai ruang duka dan keterputusan, bagi kamboja menjelma menjadi  lanskap harmoni. Perjumpaan paling jujur antara hidup dan mati. 

Kamboja bukan bunga yang manja. Ia tumbuh di tanah keras, di sela nisan, di tempat yang jarang disiram selain oleh hujan dan air mata. Namun justru di situlah keindahannya menemukan makna. Secara ekologis, kamboja adalah simbol adaptasi. Akarnya kuat, batangnya menyimpan cadangan air, daunnya gugur untuk bertahan. Ia mengajarkan bahwa harmoni bukan soal kenyamanan, melainkan kemampuan berdamai dengan keterbatasan. 

Dalam perspektif ilmiah, ekosistem pemakaman adalah ruang hijau mikro yang unik. Tanah kuburan relatif minim gangguan pembangunan, memungkinkan vegetasi tertentu bertahan dan menjadi penyangga keanekaragaman hayati skala kecil. Kamboja, dengan daya tahannya, berperan sebagai peneduh, penyerap karbon, sekaligus penanda musim. Namun sains hanya menjelaskan cara ia hidup, bukan mengapa kehadirannya terasa menenangkan. 

Di sinilah narasi budaya mengambil alih. Di banyak tradisi Nusantara, kamboja kerap diasosiasikan dengan kematian, kesunyian, bahkan mistik. Tetapi asosiasi itu tidak sepenuhnya gelap. Ia justru menjadi jembatan simbolik antara yang fana dan yang abadi. Bunganya yang jatuh dengan anggun seolah mengajarkan bahwa gugur pun bisa indah, asal dilakukan dengan ikhlas. 

Harmoni yang ditawarkan kamboja bukan harmoni yang riuh. Ia senyap, seperti doa yang tak diucapkan. Di tengah dunia yang gemar memekikkan pencapaian dan menimbun ambisi, kamboja di kuburan mengajukan pertanyaan sederhana namun mendasar: untuk apa semua kesibukan itu, jika pada akhirnya kita kembali menjadi tanah? 

Seorang sufi pernah berkata, “Kuburan bukan tempat kesedihan bagi orang arif, melainkan cermin bagi yang hidup.” Kamboja adalah bingkai cermin itu. Ia tidak menasihati, tidak menggurui. Ia hanya hadir, mekar, lalu gugur—mengulang siklus yang sama, setia pada kodratnya. 

Dalam konteks sosial hari ini, ketika harmoni sering direduksi menjadi slogan, kamboja menawarkan pelajaran yang lebih jujur. Harmoni tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari penerimaan. Kuburan mempertemukan semua identitas: kaya-miskin, terpandang-terlupakan, semuanya sama. Dan kamboja tumbuh tanpa memilih siapa yang dinaunginya. 

Mungkin itulah sebabnya taman pemakaman sering terasa lebih damai daripada pusat kota. Di sana, kehidupan tidak sedang berlomba, tetapi beristirahat. Kamboja menjaga ritme itu, mengingatkan bahwa harmoni sejati adalah keseimbangan antara hadir dan pergi, antara tumbuh dan rela ditinggalkan. 

Pada akhirnya, bunga kamboja di atas kuburan adalah puisi paling jujur tentang hidup. Ia mengajarkan bahwa keindahan tidak selalu lahir dari awal yang gemilang, melainkan dari kesediaan menerima akhir dengan tenang. Di atas tanah sunyi itu, harmoni tidak diperdebatkan—ia tumbuh, mekar, dan dipercaya begitu saja. (***)

Baca tulisan penulis lainnya : 

Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru