Dari jendela pesawat, dunia di bawah perlahan menjauh. Kota, sungai, dan pepohonan mengecil seperti gambar lama. Di sekeliling terbentang kerajaan awan. Putih, halus, dan bergerak pelan. Langit seolah membuka tirainya. Mempersembahkan orkestrasi indah yang jarang kita lihat di bumi.
Awan-awan itu berubah-ubah. Kadang menjulang seperti istana cahaya. Kadang merebah seperti padang luas tempat angin beristirahat. Ada yang rapat seperti jamaah yang sedang sujud. Ada pula yang berjalan perlahan, seperti kafilah yang bergerak pelan menuju cakrawala.
Pesawat meluncur menembus kabut tipis. Kita seolah memasuki ruang lain. Ruang yang tidak punya jam dan tidak punya suara. Hanya denting lembut mesin pesawat, terdengar seperti napas besar semesta. Keheningan ini mengalir ke dada. Mengajak kita diam. Menuntun kita mendengar.
Cahaya matahari jatuh perlahan di ujung sayap. Biasnya selembut sentuhan. Dari celah awan, cahaya itu menembus perlahan, seperti doa yang turun dari langit. Entah mengapa, hati terasa hangat. Mungkin ini bentuk syukur yang paling sederhana. Melihat langit dari sisi yang jarang 'diteropong' manusia.
Awan itu tampak akrab. Seolah sedang bercerita. Tentang jarak yang ditempuh. Tentang rahasia yang dijaga. Tentang Tuhan yang mengatur arah angin tanpa pernah terlihat. Di ketinggian ini, kesadaran terdalam muncul bahwa kita kecil, tetapi tidak dibiarkan sendiri.
Lihatlah awan yang disapu cahaya sore. Warnanya berubah menjadi emas lembut. Seperti permadani yang digelar di hamparan langit. Lihat pula bayangan pesawat yang berlari pelan di atasnya. Semua itu terasa seperti salam dari langit—pelan, tetapi sampai ke hati.
Di antara gumpalan putih itu, kita belajar sesuatu. Bahwa perjalanan bukan hanya perpindahan. Ia juga pengingat. Pengingat bahwa rahmat hadir dalam bentuk yang tenang, dalam warna yang lembut, dalam gerak yang tidak tergesa. Bahwa keindahan tidak selalu memanggil dengan suara. Kadang ia hanya lewat, dan tugas kita adalah menikmatinya.
Ketika pesawat mulai turun, awan-awan itu perlahan menjauh. Langit kembali menjadi langit. Bumi kembali menunggu kita di bawah. Namun, ada sesuatu yang tertinggal di dalam dada. Sesuatu yang halus. Sesuatu yang sederhana.
Sejenis kesadaran bahwa kebesaran Ilahi tidak hanya ada di ketinggian. Ia juga ada dalam setiap napas yang kita tarik. Dalam setiap langkah yang kita ambil. Dalam hati kita sendiri, yang terus belajar bersyukur—pelan, lembut, setia—seperti senandung awan yang mengiringi perjalanan pulang.(***)