boleh-nggak-namaku-diganti
Ilustrasi | PIXABAY
"Boleh Nggak Namaku Diganti?"
By Edi Setiawan Tehuteru
Mon, 25 Jul 2022

Melihat situasi ini, kepada ibunya saya izinkan seandainya Barkah mau pulang sebentar ke Batam untuk istirahat dari rutinitas kemoterapi.

Barkah seorang anak lelaki pendiam yang terkena kanker darah atau dikenal dengan istilah leukemia. Anak ini tinggal bersama ibu dan kakak-kakaknya di Batam dan masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Ia menjalani kemoterapi layaknya anak-anak yang terkena leukemia lainnya. Protokol kemoterapi selama 2 tahun sudah dijalaninya dan hasil evaluasi menunjukkan kalau sel leukemianya sudah dalam batas normal. Pengobatan sudah selesai dan selanjutnya adalah pemantauan selama 5 tahun.

Sebagai dokter, tentunya saya berharap Barkah tidak kambuh lagi kanker darahnya. Namun apa daya kalau Tuhan berkehendak lain. Belum 1 tahun berjalan, ternyata sel-sel leukemianya sudah ada lagi. Mau tidak mau, Barkah harus menjalani kemoterapi yang kedua selama 2 tahun lagi.

Guna mengurangi efek samping dan ketidaknyamanan yang akan dirasakannya akibat pengobatan, saya hanya memberikan kemoterapi yang diinfus. Kemoterapi yang dimasukkan melalui celah di antara dua ruas tulang belakang tidak saya berikan selama tidak ada gejala yang menunjukkan penyebaran ke otak.

Ketika menjalani kemoterapi yang kedua, ada hal menarik yang saya perhatikan. Setiap kali kontrol ke poliklinik, Barkah selalu mengenakan batik. Sang ibu menjelaskan kalau Barkah ingin seperti dokter Edi yang setiap hari memakai baju batik.

Saya memang penggemar batik dan selalu memakainya setiap kali ke rumah sakit. Tanpa saya sadari, ternyata anak ini adalah fans berat saya dan dia berusaha tampil seperti idolanya.

Ibunya lebih lanjut berkata, “Kapan itu saya ke Mangga Dua, beli kain batik yang meteran. Terus saya bawa ke tukang jahit. Lumayan dapat 3 stel. Soalnya sekarang dia hanya mau pakai batik sama seperti dokter. Biarin deh setiap hari motif batiknya sama terus.”

BACA JUGA


Satu hal lagi yang tidak akan pernah saya lupakan dari Barkah ketika suatu hari dia kontrol ke poliklinik dan dengan malu-malu bertanya, “Dokter Edi, boleh nggak nama Barkah diganti jadi Barkah Tehuteru?”

Sambil menatap wajahnya dan tersenyum, saya menjawab, “Aku seneng banget kalau Barkah mau pake nama aku. Anak aku jadi nambah deh. Terima kasih ya, Barkah.” Dia terlihat senang sekali setelah mengetahui kalau diizinkan  menggunakan nama saya di belakang namanya.

Kemoterapi selama 2 tahun yang kedua dapat dilalui dengan baik. Evaluasi juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Selanjutnya adalah pemantauan lagi selama 5 tahun. Harapannya sama, tidak ada kekambuhan lagi selama 5 tahun sejak kemoterapi terakhir. Ternyata harapan tinggal harapan. Penyakit leukemianya Barkah kambuh lagi.

Sebenarnya saya tidak tega menyampaikan berita ini kepada ibunya. Hati saya juga sedih melihat kenyataan yang harus dihadapi Barkah dan keluarganya. Apa lagi yang mau dikatakan kecuali tetap semangat.

Secara teori, kemoterapi bukan lagi pilihan untuk menangani kasus seperti apa yang dialami Barkah. Mengingat di Indonesia belum dapat dilakukan transplantasi sumsum tulang, maka saya tetap harus memberikan kemoterapi, walaupun diketahui itu tidak akan efektif untuk menyembuhkan leukemianya.

Mendengar berita yang tidak mengenakkan hati, terlihat Barkah tidak sesemangat ketika harus menjalani kemoterapi yang pertama dan kedua. Terasa kalau dia akan menjalankan kemoterapi yang ketiga ini dengan terpaksa.

Tidak seperti biasanya, sekarang dia pasti menangis kalau harus menjalani kemoterapi yang membutuhkan perawatan. Dia sudah merasa bosan menjalani kemoterapi untuk yang ketiga kalinya.

Melihat situasi ini, kepada ibunya saya izinkan seandainya Barkah mau pulang sebentar ke Batam untuk istirahat dari rutinitas kemoterapi. Tawaran ini disambut dengan gembira oleh Barkah. Ia langsung memperlihatkan senyumnya yang manis.

Setelah Barkah pulang ke Batam, dia tidak pernah kembali lagi ke Jakarta. Barkah keduluan dipanggil pulang oleh Tuhan. Tuhan sangat menyayangi Barkah. Ia tidak menginginkan anak ini menderita lagi akibat kemoterapi ketiga yang telah siap menunggunya.

Barkah meninggal dunia di tengah-tengah keluarga yang mencintai dan dicintainya. Berbahagialah bersama-Nya di Surga mu, Barkah Tehuteru.

Pembelajaran di balik kisah: Menyenangkan hati sesama, apa lagi anak-anak, suatu kebahagian yang tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata. Saya juga belajar dan menyadari bahwa untuk membuat seorang anak bahagia itu sederhana. Tidak perlu hal yang aneh-aneh atau mahal-mahal.

Sebagai dokter anak, hati-hati juga dengan sikap dan perilaku kita, karena tanpa disadari ternyata pasien-pasien kecil ini suka meniru apa yang menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Sungguh membanggakan bila ternyata anak-anak ini mengidolakan dokternya.

Editor : Burhanuddin Bella

*Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA, Dokter Pusat Kanker Nasional Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta
Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru