Pertama kali bertemu Abiyu, dia masih balita (bawah lima tahun). Selalu digandeng oleh ibunya kalau kontrol ke rumah sakit.
Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA*
Anak ini, salah satu matanya terkena kanker bola mata atau dikenal dengan istilah retinoblastoma
Keganasan pada bola mata memang paling banyak terjadi pada anak usia balita. Seumur-umur jadi dokter kanker anak, tidak pernah saya menemukan kanker bola mata pada stadium awal. Semuanya datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut.
Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh dokter untuk anak-anak seperti ini selain berupaya untuk menyelamatkan nyawanya. Dokter sudah tidak dapat lagi menyelamatkan mata maupun penglihatannya.
Guna menyelamatkan nyawa dari anak-anak yang terkena retinoblastoma, tidak jarang mata mereka harus diangkat guna mencegah penyebaran lebih luas ke organ-organ sekitar yang dapat berakhir dengan kematian. Abiyu salah satu anak yang harus menjalani operasi pengangkatan mata.
Satu hal yang menarik perhatian saya ketika anak ini akan dilakukan operasi, ia ditemani hanya oleh ibunya. Kemana anggota keluarga yang lain? Usut punya usut, akhirnya sang ibu bercerita kalau sebenarnya keluarga besar tidak menyetujui Abiyu diangkat matanya. Makanya diam-diam, si ibu kabur bersama anaknya ke rumah sakit. Namun, tanpa disadari, justru tindakan nekat ibunya inilah yang akhirnya menyelamatkan nyawa sang anak.
Ibu mana yang ketika anaknya sakit tidak mengharapkan kesembuhan. Itu makanya kenapa si ibu bernazar, apabila anaknya sembuh, ia dan seluruh keluarganya akan selalu merayakan hari raya Idul Fitri di rumah dokter Edi.
Tuhan mengabulkan doa sang ibu. Nyawa Abiyu dapat diselamatkan setelah menjalani serangkaian pengobatan. Mulai dari kemoterapi, operasi pengangkatan mata, kemoterapi lagi, dan pemantauan selama 5 tahun.
Kendala yang dihadapi Abiyu seusai matanya diangkat adalah krisis kepercayaan akibat perundungan. Ia sering dikata-katain oleh teman-temannya di sekolah sebagai si mata satu atau si mata bolong. Akibatnya, ia tidak mau lagi pergi dan belajar di sekolah.
Keadaan ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya didapat informasi, di Tebet, Jakarta Selatan, ada seseorang yang dapat membuat mata palsu bagi anak dengan kanker bola mata yang telah diangkat matanya. Harganya cukup lumayan mahal untuk ukuran keluarga Abiyu, namun bersyukur ada donatur yang bersedia membantu pembiayaannya.
Mengingat operasi mata yang dilakukan terhadap Abiyu juga melibatkan kelopak matanya, maka supaya mata palsu dapat melekat dengan baik di bekas lubang matanya, mata palsu tersebut disangkutkan dengan sebuah kacamata. Ketika ia mengenakan kacamata yang ada matanya tersebut, kita akan melihat seolah-olah kedua matanya lengkap. Kita baru akan menyadari kalau salah satu matanya palsu pada saat melihat mata yang palsu ternyata tidak dapat digerakkan. Setiap 5 tahun, mata palsu ini harus diganti karena akan terlihat mengecil dibanding lubang mata yang semakin membesar karena mengikuti pertumbuhan anak.
Kepercayaan dirinya, sedikit demi sedikit, bangkit kembali ketika ia mulai mengenakan kacamata yang ada matanya. Ia sudah mau masuk dan belajar lagi di sekolah. Teman-temannya juga banyak yang telah mengerti keadaan Abiyu sehingga tidak lagi melakukan perundungan terhadapnya.
Sejak dinyatakan sembuh, setiap tahun di hari Lebaran kedua, Abiyu dan keluarganya selalu merayakan hari yang Fitri itu di rumah saya. Mereka hanya meminta saya untuk menyiapkan nasi berikut piring, gelas, sendok, dan garpu. Lauk pauk semuanya dipersiapkan oleh keluarga Abiyu.
Mengingat pekerjaan ayah Abiyu adalah nelayan, makanya lauknya tidak jauh dari makanan laut, seperti ikan, udang, dan cumi. Ikannya besar-besar dan biasanya sudah dibakar, sehingga tinggal dimakan dengan sambel yang rasanya luar biasa enak.
Jumlah keluarga yang datang bisa mencapai hingga belasan orang. Selain keluarga inti Abiyu yang berjumlah 5 orang, bisa hadir juga nenek, bibi, paman, dan sepupu-sepupunya. Hal ini membuat petugas satuan pengamanan di rumah saya bingung dan jadi ingin bertanya, “Bapak ini merayakan Natal atau Lebaran sih pak?”
Bayangkan seandainya Abiyu tidak diajak kabur oleh ibunya ke rumah sakit mengingat keluarga besarnya yang tidak menyetujui tindakan operasi pengangkatan mata yang direncanakan dokter. Mungkin kanker yang tadinya hanya ada di mata sudah menyebar sampai ke otak dan berakhir dengan kematian.
Saya melihat naluri seorang ibu itu luar biasa kalau sudah menyangkut masalah hidup mati anaknya. Ia akan melakukan apa saja yang dapat dilakukan demi kesehatan dan keselamatan sang anak. Inilah yang dilakukan ibu Abiyu sehingga anaknya dapat bertumbuh dengan sehat hingga dewasa.
Abiyu bukan balita lagi. Ia telah mengalami metamorfosis menjadi seorang dewasa yang telah meraih gelar sarjana. Semoga Abiyu dapat menjadi anak yang berbakti kepada orangtua serta menjadi anak yang dapat membangun bangsa dan negaranya, sekalipun matanya hanya satu. Sampai jumpa tahun depan di bulan yang penuh rahmat.
Pembelajaran di balik kisah:
Naluri seorang ibu untuk anaknya memang luar biasa. Namun, satu hal yang ingin saya tekankan di sini buat keluarga adalah jangan terlalu cepat mengatakan tidak boleh terhadap apa yang dianjurkan dokter. Jika tidak merasa puas dengan keputusan seorang dokter, minta pendapat dari dokter lain. Kalau semua dokter memang mengatakan agar prosedur yang dianjurkan tersebut memang harus dilakukan, ikutilah nasihat mereka dan serahkan semua ke dalam tangan-Nya. Jangan sampai keluarga akhirnya menyesal karena penyesalan biasanya datang terlambat. Percaya kalau Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik, namun harus diingat bahwa yang terbaik menurut Tuhan kadang tidak sama dengan apa yang terbaik menurut kita manusia.