dari-solo-ke-jakarta-dan-akhirnya-pulang
| ilustrasi - Foto Makhfud Sappe
Dari Solo ke Jakarta dan Akhirnya Pulang
By Edi Setiawan Tehuteru
Thu, 19 May 2022

Banyak orang yang mengatakan kalau Arnev sudah sembuh. Benar, karena ia sudah pulang ke rumah yang Empunya Kehidupan, yang telah menyembuhkannya secara sempurna.

Suatu siang, saya diminta oleh dokter jaga untuk segera ke ruang gawat darurat karena ada pasien anak. Tidak sulit untuk mengidenfikasi seorang anak di dalam ruang yang isinya hampir semua orang dewasa. Dari kejauhan sudah terlihat ada anak yang badannya sangat kurus namun perutnya membuncit. 

Itulah pertama kalinya saya bertemu dengan Arnev, seorang anak lelaki usia sekitar 8 tahun yang ditemani ibunya. Arnev sebenarnya sudah terdiagnosis penyakitnya di rumah sakit lain, namun tampaknya keluarga tidak segera mengobati anaknya sesuai petunjuk dokter. 

Menurut keterangan ibu, Arnev terkena kanker saraf tepi atau lebih dikenal dengan istilah neuroblastoma. Pengobatannya adalah kemoterapi, namun keluarga tidak langsung menyetujuinya. Mereka membawa Arnev justru ke Solo untuk mendapatkan pengobatan alternatif dari “orang pintar” di sana. 

Selama 6 bulan minum jamu, perutnya bukan makin mengecil ,.tetapi makin membesar. Melihat perkembangan yang terjadi, akhirnya keluarga membawa anaknya kembali ke rumah sakit di Jakarta, namun bukan ke rumah sakit yang pertama mereka datangi. Sepertinya karena takut dimarahi oleh dokter sebelumnya.

Saya bertanya kepada ibunya, “Kenapa ibu bawa anaknya ke Solo?” 

Ibu menjawab, “Kami keluarga takut kalau anak kami dikemoterapi. Kalau saya baca-baca, itu kan efek sampingnya sangat berat.” 

“Nah, sekarang pengobatan di Solo berhasil nggak?” Kembali saya bertanya. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Sekarang kalau ibu ke rumah sakit ini, rumah sakit ini pengobatannya kemoterapi lho,” kata saya melanjutkan pembicaraan. 

“Nggak apa dok, kemoterapi saja,” jawab ibu. 

“Tapi maaf sebelumnya ya bu, ini kan sudah 6 bulan sejak anak ibu ketahuan penyakitnya. Biasanya kanker itu, kalau tidak diapa-apain, apa lagi sudah lama begini, sudah menyebar kemana-mana dan respon kemoterapi biasanya tidak sebaik kalau kankernya belum kemana-mana. Jadi, kalau saya boleh usul, kita akan coba lakukan kemoterapi sebanyak 3 siklus. Kalau hasilnya bagus, kita akan lanjutkan. Jika hasilnya tidak bagus, kita akan setop kemoterapinya dan akan saya pikirkan jalan lain untuk kelanjutannya. Bagaimana menurut ibu? tanya saya lagi. 

“Baik dok, saya ikut saja”, jawab ibunya Arnev pasrah.

Singkat cerita, Arnev menjalani kemoterapi sebanyak 3 siklus. Hasil evaluasi setelah 3 siklus menunjukkan tidak ada perubahan yang bermakna. Lingkar perutnya hanya menyusut sekitar 1 -2 cm saja. 

Sebelum hasil disampaikan kepada keluarga, kami tim dokter berunding untuk membahas bagaimana penanganan Arnev selanjutnya. Kami akan memberi 2 opsi kepada keluarga. Opsi pertama adalah paliatif. Pengertiannya, Arnev tidak akan dilakukan tindakan yang tujuannya untuk menyembuhkan lagi. Opsi kedua adalah tindakan operasi pengangkatan hati, karena penyebaran utamanya di hati,  yang akan dilanjutkan dengan kemoterapi lagi. 

Sebetulnya tim dokter setuju hanya ada 1 opsi, yaitu opsi pertama. Hanya saja secara psikologis, kalau tidak ada opsi kedua, pasien Indonesia itu sering jadi bertanya-tanya mengapa anak atau keluarganya tidak dilakukan apa-apa lagi atau dengan kata lain keluarga merasa dokter sudah menyerah. Pengetahuan masyarakat tentang paliatif saat masih kurang. Itu mengapa tim dokter, kalau saya boleh bilang, mainnya harus manis.

Setelah kedua opsi ini disampaikan kepada orangtua, saya beri mereka waktu selama 2 hari untuk mengambil keputusan. Ternyata tidak perlu 2 hari bagi ayah dan ibunya Arnev untuk mengambil keputusan. 

Saya sangat bersyukur kepada Tuhan karena mereka memilih opsi pertama, yaitu paliatif. Menurut saya ,itu pilihan yang sangat bijak karena bayangkan saja kalau seandainya anak ini harus terus menerus dikemoterapi. Seberapa besar penderitaan yang harus dialaminya. Arnev akan lebih banyak menerima dampak negatif dibanding dampak positif dari kemoterapi. Persiapan pulang saya lakukan, termasuk menghubungi tim Yayasan Rumah Rachel (YRR) yang akan melakukan pelayanan paliatif di rumah.

Mendengar cerita dari tim YRR, ternyata tidak mudah melakukan pendekatan kepada si bocah satu ini. Kalau dia tidak izinkan tim masuk kamar, tim tidak dapat begitu saja masuk ke dalam kamarnya. 

Setelah kunjungan ketiga, tim baru dapat diperbolehkan masuk ke kamar dan berinteraksi dengannya. Tim menjelaskan kepada Arnev apa saja yang akan dilakukan setiap kali mereka datang. Setelah mengerti kalau tim YRR datang untuk membantu dia, suasana menjadi lebih cair. 

Arnev mulai mengizinkan anggota tim untuk mengobati luka di bokongnya akibat posisi tidurnya yang sukar untuk diubah-ubah. Arnev sejak perutnya membesar memang sulit untuk bergerak, apalagi berjalan. Kakinya juga mulai membengkak seiring dengan perutnya yang semakin membesar. Tim secara perlahan-lahan juga mulai menurunkan ilmu penanganan luka kepada pelaku rawat, seorang perempuan paruh baya yang khusus dibayar hanya untuk mengurus Arnev.

Kami menangani Arnev di saat film Laskar Pelangi untuk pertama kalinya diputar di bioskop. Berita ini sampai di telinganya dan ia ingin juga menonton film tersebut. Masalahnya anak ini tidak bisa duduk dan bioskop saat itu belum ada yang bangkunya bisa dibuat rata seperti tempat tidur. 

Cukup lama kami memutar otak bagaimana caranya agar Arnev bisa nonton film yang ingin dia tonton, yang waktu itu penayangannya hanya baru ada di bioskop. Salah seorang relawan akhirnya punya ide menghubungi Mira Lesmana sebagai produser film tersebut untuk membeli videonya. 

Keberuntungan ternyata berpihak kepada kami, Mira memberikan secara cuma-cuma video tersebut. Akhirnya keinginan Arnev bisa terpenuhi. Tim membuat suasana kamar Arnev seperti bioskop dengan memasang video di laptop dan dipantulkan ke layar menggunakan LCD, lampu semua dimatikan, dan tidak lupa pop corn sebagai pelengkap. Kami nonton beramai-ramai dan dapat terlihat kalau Arnev sangat senang dan menikmati film tersebut.

Sebelum sakit, Arnev sempat bersekolah dan mempunyai banyak teman. Setelah sakit, ia masih semangat belajar dengan dibantu kakak-kakak relawan yang hampir setiap hari datang ke rumahnya. Kadang ia sangat merindukan teman-temannya. Rindu untuk bermain dan belajar bersama dengan mereka. 

Guna mengobati rasa kangen pada teman-temannya, tim pernah mengundang semua teman sekelasnya ke rumah. Mereka saling cerita, bercanda, dan bermain sebisanya dengan Arnev. Suatu kejutan yang sengaja dibuat untuk menyemangati anak yang pintar ini.

Kebanyakan orang beranggapan kalau seorang pasien sudah dinyatakan paliatif, pasti tidak lama lagi akan meninggal. Tidak dengan Arnev. Sejak dinyatakan paliatif, Tuhan masih mengizinkan Arnev untuk hidup selama satu setengah tahun. Kami semua masih diberi kesempatan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-9. Arnev minta kepada kami untuk mengundang pesulap idolanya, Demian. Tim berusaha mengabulkan permintaan Arnev, yang mungkin ini merupakan permintaan terakhirnya sebelum ia meninggal. 

Kembali, keberuntungan berpihak kepada kami. Demian bersedia datang ke rumah Arnev dan bermain sulap di hadapannya. Saat itu saya hanya melihat muka Arnev yang sangat ceria dan antusias melihat sulap demi sulap yang disajikan dengan apik oleh pesulap favoritnya. 

Ketika waktunya untuk potong kue ulang tahun, dengan tidak disangka-sangka, potongan pertama kue tersebut dia serahkan bukan kepada ayah dan ibunya, melainkan kepada pelaku rawatnya yang senantiasa menjaga dan merawatnya setiap hari. Benar-benar suasana yang mengharukan. Sang pelaku rawat tanpa disadari mengeluarkan air mata haru dan segera memeluk anak asuhnya dengan sepenuh hati. Tim tidak lupa memberi hadiah berupa boneka komodo untuk mengganti boneka komodo yang lama, yang sudah lusuh. Oleh Arnev, boneka komodo ini diberi nama Momo.

Suasana gembira tidak berlangsung lama. Seminggu setelah merayakan ulang tahunnya, Arnev menghembuskan napasnya yang terakhir di kamarnya. Suasana duka menyelimuti keluarga dan seluruh anggota tim yang selama ini menanganinya. Kalau dipikir-pikir, inilah jalan terbaik yang Tuhan berikan bagi Arnev. Banyak orang yang mengatakan kalau Arnev sudah sembuh. Benar, karena ia sudah pulang ke rumah yang Empunya Kehidupan, yang telah menyembuhkannya secara sempurna.

Pembelajaran di balik kisah:

Obat kanker adalah kemoterapi. Hingga saat ini, belum ada obat lain yang dapat menggantikan peran kemoterapi untuk menyembuhkan kanker. Oleh karena itu, jangan membuang waktu dengan mencari pengobatan yang justru dapat memperburuk penyakitnya. Kanker, jika dapat diketahui secara dini dan diobati secara cepat, tidak mustahil dapat disembuhkan. Cari informasi yang benar tentang kanker dari orang yang benar-benar kompeten di bidangnya. Jika ada masukan dari kerabat atau teman, tetap konfirmasi untuk memastikan apakah masukkan mereka baik dan dapat digunakan untuk mengobati kanker.

Editor : Burhamuddin Bella

*Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA, Dokter Pusat Kanker Nasional Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta

Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru