ayutthaya
Diagram Layout: dapat disaksikan betapa kebesaran dan kerapian bangunan kuil tersusun di Wat Phra Si Sanphet, yang dianggap terbesar. Jajaran Patung B | Foto Paul Zacharia
Destination
Ayutthaya
Paul I Zacharia
Mon, 22 Aug 2022

Nama Ayutthaya telah beken di telinga sejak masa SD. Waktu itu ia lebih dikenal sebagai Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin Sri Rama, tokoh utama Ramayana. Baru bersamaan dengan pengetahuan wisata, kita mengerti sebetulnya kota dalam komik itu benar-benar ada di Siam, nama perdana dari Thailand. Ternyata Ayodhya merupakan kota kerajaan bangsa Thai yang sudah ada pada kurun 1351—1767 M.

Pada 1350 Raja Ramathibodi I (Uthong) mendirikan Ayutthaya sebagai ibu kota kerajaannya dan mengalahkan dinasti Kerajaan Sukhothai, 640 km ke arah utara, pada 1376. Sejak dulu Ayutthaya aktif berinteraksi dagang internasional dengan negara-negara tetangga, seperti China, India, Jepang, Persia, serta beberapa negara Eropa.

Kerajaan Siam pada masa awal itu bahkan sudah mengundang saudagar Portugis, Spanyol, Belanda, dan Prancis untuk memiliki pemukiman di luar tembok Kota Ayutthaya. Raja Narai (1656-1688) bahkan memiliki hubungan sangat baik dengan Raja Louis XIV dari Prancis dan tercatat pernah mengirimkan dutanya ke Prancis.

Ayutthaya memasuki abad keemasan pada perempat kedua abad ke-18. Di masa yang relatif damai tersebut, kesenian, kesusastraan, dan pendidikan berkembang pesat.


Usapan Penyembahan: di kepala Patung Buddha yang terbaring di kompleks Wat Phra Si Sanphet ini tersisa gosokan kertas emas sebagai ungkapan doa pengunjung. Foto PAUL ZACHARIA

Pada 1765 Kerajaan Thai diserang oleh dua buah pasukan besar Burma. Setelah dikepung dengan gigih, Ayutthaya akhirnya menyerah dan dibumihanguskan pada 1767. Berbagai kekayaan seni, perpustakaan berisi kesusastraan, serta tempat-tempat penyimpanan dokumen sejarah Ayutthaya nyaris musnah. Bahkan kota tersebut ditinggalkan dalam keadaan hancur.

Bangsa Thai dapat terselamatkan dari penaklukan Burma karena terjadi serangan China ke Burma serta adanya perlawanan dari seorang pemimpin militer bangsa Thai bernama Phraya Taksin yang akhirnya mengembalikan kesatuan kerajaan.

Petilasan kota bersejarah Ayutthaya dan kota-kota bersejarah sekitarnya di lingkungan Taman Bersejarah Ayutthaya akhirnya dimasukkan UNESCO sebagai Warisan Dunia UNESCO.  Raja Taksin lalu mendirikan ibu kota baru di Thonburi, terletak di seberang Sungai Chao Phraya yang berhadapan dengan ibu kota yang kemudian kita kenal sebagai Bangkok. Kota Ayutthaya yang baru kemudian didirikan dekat lokasi kota lama dan sekarang merupakan Ibu Kota Provinsi Ayutthaya.

Dilihat dari udara, Ayutthaya tampak seperti pulau tersendiri yang dikelilingi tiga sungai, yaitu Chao Phraya, Lopburi, dan Pa Sak. Dulu manusia bahkan harus naik feri untuk menyeberang sampai Ayutthaya. Setelah jembatan dibangun, kita bisa menuju kota ini tanpa naik feri.

Banyak lokasi bisa dikunjungi di petilasan purba ini, namun demi mempersingkat, di sini disajikan dua kompleks yang dianggap penting.

Wat Phra Mahathat
Merupakan kuil terpenting selama masa keemasan Ayutthaya, meliputi satu kompleks kuil yang amat luas. Ada beberapa petilasan yang bisa dilihat di sini. Yang paling terkenal adalah Patung Kepala Buddha yang terlilit akar pohon dan jajaran Patung Buddha tanpa kepala. Jika berfoto dengan Patung Kepala Buddha, kita harus berjongkok dulu karena, katanya, tidak boleh melebihi kepala Buddha yang dianggap suci.

Seluruh petilasan kuil Buddha ini dibangun dengan bata merah yang disalut plesteran dinding biasa. Setiap profil struktur bata rata-rata tersusun oleh tumpukan pasangan bata bersiku-siku yang ada pada bangunan lainnya di Thailand. Akbarnya kawasan ini dapat terlihat dari ketebalan dinding serta ketinggian pintu dan jendela struktur bangunan yang sangat memesona.

Di sini disewakan audio guide sehingga pengunjung bisa berkeliling sambil mendengarkan sejarah kuil ini.

Kawasan Bata Merah: petilasan yang bersisa dari dinding-dinding yang tebal dan akbar menandakan kebesaran kerajaan yang pernah dimiliki. Foto PAUL ZACHARIA

Wat Phra Si Sanphet
\Merupakan kuil terutuh di Ayutthaya yang dulu digunakan untuk upacara keagamaan kerajaan. Kuil ini terkenal dengan jajaran Chedi-nya (stupa bergaya Thailand) dan Patung Emas Buddha setinggi 16 meter dengan berat 340 kg.

Ketika Burma menjarah kota itu, mereka membakar Patung Buddha tersebut untuk melelehkan emasnya, sekaligus membakar habis jajaran Chedi-nya yang kini tersisa hanya tiga buah. Ketiga Chedi tersebut menyimpan abu jenazah raja-raja Ayutthaya.

Dalam kuil utama ini, pengunjung dapat mendaki ke stupa utama untuk menghormati Patung Buddha di dalam stupa di tengah Chedi. Di pintu masuk, seorang penjaga kuil menjual kertas berlapis emas untuk digosokkan sebagai cara melapiskan selaput emas pada Patung Buddha atau poster Raja Thailand yang juga sangat dihormati.

Dekat persembahyangan utama itu, terdapat Patung Buddha berukuran akbar sedang berbaring. Postur berbaring ini sering kita jumpai di seluruh kawasan purba ini.

Banyak pengunjung juga sibuk menempelkan gesekan kertas emas pada kepala Patung Buddha itu. Walau tampak seperti aktivitas yang terkesan mengotori, semua dilakukan dengan tetap menjaga kerapian serta kebersihan seluruh kawasan wisata tersebut.

Jika kita memiliki lebih banyak waktu, tentunya perjalanan menjelajahi kawasan purba ini lebih memesona saat senja tiba. Suasana sepi yang terabadikan bakal sangat tepat melambangkan berjuta kisah dari hikayat yang pernah menggelayut di sini.

BACA JUGA :


Artikel ini pernah tayang di majalah LIONMAG edisi Maret 2015


Dapatkan e-mag Lionmag, klik untuk langganan :

LIONMAG edisi Agustus/September 2022


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru