Ketika salju-salju telah mencair di musim panas, kini saatnya melayari Danau Brienz dengan kapal uap yang telah beroperasi selama 105 tahun.
Lengkingan panjang peluit kapal memecah suasana pagi cerah di dermaga Interlaken Ost See. Suaranya menggema dipantulkan oleh bukit-bukit di seberang kanal Aare di mana kapal bersandar, dan segera mengingatkan saya akan suara peluit kereta-kereta pengangkut tebu yang berlalu-lalang di pabrik gula di desa saya, waktu kecil dulu.
Sedetik kemudian, sang kapten kapal memberi perintah melalui corong mikrofon berbentuk seperti mulut terompet, diikuti dengan menekan tombol untuk membunyikan peluit pendek. Tepat pukul 11.07, kapal uap Loetschberg berwarna hijau toska itu pun bergerak.
Di depan saya, bersandar pada pagar dek lantai dua kapal ini, seorang anak lelaki berusia sekitar 7 tahun yang diapit kakek-neneknya, melambaikan tangan sepada ibu dan adik bayinya yang mengantar hingga dermaga. Para penumpang yang duduk di buritan kapal di bawah saya, mulai sibuk menata diri melihat pemandangan di kanan-kiri. Bendera Swiss besar di belakang mereka berkibar-kibar, dan air kanal berwarna kehijauan berkilat-kilat tersibak laju kapal. Hari yang sempurna untuk berlayar!
Ini untuk yang ketiga kalinya saya ke Interlaken, namun baru kali ini saya berkesempatan melayari Danau Brienz. Tak lain, karena sekarang saya datang di awal Juli, sementara di dua kunjungan sebelumnya saya datang di akhir musim dingin, di bulan Maret. Kapal Loetschberg dan kapal-kapal wisata lain yang melayari desa-desa di sekitar Danau Brienz memang baru beroperasi mulai sekitar 6 April hingga 20 Oktober.
Kapal Uap Berusia 105 Tahun
Ada beberapa kapal yang melayani pelayaran wisata di Danau Brienz, namun berlayar dengan Loetschberg serasa membawa kita kembali ke era kapal Titanic, karena kapal Loetschberg ini digerakkan dengan tenaga uap, dengan cerobong asapnya yang khas. Well, tentu saja, kapal ini tidak sebesar Titanic sih, hahaha!
Dibuat oleh galangan kapal Escher Wyss di Zurich, Loetschberg mulai beroperasi pada tahun 1914.
Dulu, kapal ini menggunakan batu bara sebagai pemanas uapnya, namun sekarang sudah diganti bahan bakar minyak. Uap bertekanan ini selanjutnya menggerakkan mesin dan memutar ‘pedal’ (lebih tepatnya seperti kincir air) yang membuat kapal bisa melaju hingga kecepatan 13 knot per jam.
Jika dilihat dari samping, Loetschberg yang punya panjang 56,5 meter ini bisa menipu mata, karena kelihatan bentuknya yang ramping, pipih, panjang dan lancip di kedua ujungnya. Persis seperti kapal perang frigat. Tapi jika dilihat dari depan, akan tampaklah bahwa kapal ini gemuk, dengan lebar 12,8 meter. Di sisi kanan-kirinya kita bisa melihat baling-baling pedal kapal ini berputar mengaduk air. Saking besarnya, baling-baling ini juga bisa kita lihat dari balik kaca di lantai dua kapal ini.
Loetschberg kini bergerak dengan suara ritmis pedalnya meninggalkan kanal, dan masuk ke Danau Brienz. Air kanal yang tadinya mirip hijau daun kini berubah menjadi hijau toska. Gunung-gunung kelabu tanpa salju yang melingkupi danau ini kini terlihat jelas, dan perbukitan hijau serta rumah-rumah yang sepi dengan garasi perahunya di pinggir danau menghiasi beberapa titik.
Loetschberg ini terdiri dari tiga lantai. Lantai paling bawah merupakan ruang mesin, dengan sang mualim alias jurumudi kapal yang berdiri di depan tiga speaker warna emas yang juga berbentuk seperti mulut terompet. Speaker itulah yang menyalurkan perintah suara dari sang kapten kapal yang ada di anjungan kapal, di bagian paling tinggi dari kapal ini. Jika kapal mau belok kanan, sang kapten akan berjalan keluar dari anjungan ke sisi kanan, lalu memberikan perintah melalui mikrofon sisi kanan.
Begitu sebaliknya kalau mau belok kiri, sang kapten akan keluar ke sisi kiri, lalu memberikan perintah ke mualim dari situ. Jadi di ruang mualim ada tiga speaker supaya jelas dari sisi mana perintah berasal. Maklum, di depan mualim ini, hanya dibatasi sekat, piston-piston mesin yang besar bergerak sinkron tanpa henti memutar pedal kapal. Saya bisa bercerita seperti ini karena memang para penumpang bisa melihat sang mualim bekerja dari lantai dua, persis dari atas piston, hanya dibatasi oleh pagar besi. Anak-anak maupun orang dewasa suka sekali berkumpul di sini – selain melihat baling-baling pedal kapal dari balik kaca tadi.
Lantai dua kapal ini untuk penumpang kelas dua. Dek utamanya bernuansa kayu, termasuk tangga, lantai, jendela, dan juga meja-meja dan kursinya yang berwarna marun. Ujung haluan (depan) kapalnya tidak selega di bagian buritan karena menjadi tempat menyimpan jangkar dan rantainya. Kalau mau lebih leluasa melihat pemandangan depan mapun kanan-kiri, naiklah di lantai berikutnya, dek penumpang kelas satu. Meja-meja dan kursinya bernuansa cerah off-white dengan jendela-jendela kaca kanan-kiri yang lebih besar.
Memang, harga tiketnya juga agak beda jauh. Untuk Interlaken Ost ke Giessbach See pergi-pulang, kelas dua bayar 43 franc Swiss (sekitar Rp 625 ribu), sementara kelas satu 70 franc Swiss (sekitar Rp 1 juta). Sistem ticketing di Swiss buat saya agak membingungkan karena banyak pass dan skema diskon tertentu. Untuk pastinya bisa cek skedul dan harga tiket ini di fahrplan.bls.ch/index.html.
Air Terjun 14 Tingkat
Loetschberg berhenti di Iseltwald selama satu menit, lalu meninggalkan dermaga yang di sampingnya ada hotel cantik Strandhotel. Para turis tampak bersantai menikmati musim panas di bawah kanopi-kanopi di halaman hotel.
Danau yang bersih dan sepi tanpa lalu-lalang kapal lain, membuat perjalanan ke Giessbach menjadi tak terasa. Tahu-tahu saya melihat kapal ini tengah mengarah ke sebuah bangunan dermaga panjang dengan rel kereta yang menaik di belakangnya, dan sebuah bangunan di ketinggian bukit, di antara rerimbunan pohon-pohon besar. Sebuah aliran air yang deras tampak menyembul dari gerumbul pohon di pinggir danau. Tapi, di manakah air terjun Giessbach Wasserfall yang terkenal itu?
Rupanya saya, dan para turis lain yang ternyata banyak turun di sini, harus naik kereta kabel dulu ke stasiun di dekat bangunan yang tak lain adalah Grandhotel Giessbach. Barulah ketika menginjak halaman depan hotel, suara air terjun itu menggemuruh dari sisi kanan. Wow, air terjun bertingkat 14 alias cascade ini masih melimpah dengan airnya yang mencurah dari puncak bukit. Kabut airnya berpendar saat terkena sinar matahari dan airnya mengalir bertingkat-tingkat melewati jembatan pandang dengan beberapa orang di atasnya, lalu menghilang di rimbunan hutan.
Tapi yang lebih ramai di halaman hotel ini, karena ini saatnya makan siang. Orang-orang bersantap maupun minum wine dengan dilayani para pramusaji di halaman hotel di bawah rimbunan pohon, dengan pemandangan kanan air terjun ini, sementara sebelah kiri Danau Brienz. Panas tengah hari tak terasa di sini. Apa yang lebih menyenangkan dari ini di musim panas?
Halaman samping kanan hotel yang hanya terpisah pagar tembok dengan danau ini segera mengingatkan saya pada lokasi honeymoon Padma Amidala dan Anakin Skywalker di film Star Wars. Situasinya mirip-mirip seperti itu. The biggest irony-nya ya karena saya datang sendiran dan tidak ada turis lain yang bisa membantu motoin.
Makan siang pun saya percepat karena kaki sudah tak sabar untuk menuju air terjun. Jalan setapaknya datar dan hutan sekitar air terjun yang didominasi pohon beech, ash, dan pohon oak yang tinggi, tertata rapi dan bersih seperti ada tukang kebunnya saja. Sensasi yang paling menyenangkan adalah karena kita bisa berjalan di jembatan setapak tepat di bawah kucuran air yang terjun menggemuruh dan menetes-netes dari dinding batu di atas kepala.
Sejak abad ke-19, para turis sudah bisa mengunjungi air terjun ini karena jasa Pendeta Daniel Wyss dan kepala sekolah Johann Kehrli. Kehrli seorang diri membuat jalan setapak dari pantai danau ke air terjun terendah kedua dan membuat bangku-bangku di sana, sementara Wyss membuka jalan ke air terjun yang lebih tinggi. Kehrli juga menyalakan obor di tiap tingkatan air terjun saat malam hari, membuat shelter berteduh, diikuti dengan membuka restoran kecil, dan akhirnya penginapan Gasthaus Giessbach pada tahun 1832. Anak-anaknya menghibur para tamu dengan menyanyikan lagu-lagu tradisional dan memainkan alphons.
Di lokasi penginapan inilah, setelah beberapa kali pindah tangan, akhirnya tahun 1870 dimiliki oleh Karl Hauser. Karl lalu menugaskan Horace Edouard Davinet, perancang hotel terkenal saat itu, untuk membangun hotel 5 lantai dengan kubah ala Museum Louvre dan tangga besar menuju lobi. Tahun 1879 Karl menambahkan kereta kabel -menjadi kereta kabel pertama di Eropa- untuk memanjakan para tamunya yang terdiri dari keluarga kerajaan Rusia, India, Afrika dan Eropa, taipan bisnis, para pemimpin industri, tuan tanah dari Polandia dan Hongaria, hingga para seniman dan sastrawan terkenal.
Setelah terjadi kebakaran besar tahun 1883, lantai atas hotel yang bergaya Louvre itu diganti dengan gaya chalet Swiss dengan menaranya yang runcing. Namun dua Perang Dunia membuat hotel ini jatuh bangun dan tidak terurus. Sampai akhirnya tahun 1982, Franz Weber, seorang pegiat lingkungan, memimpin penggalangan dana nasional untuk membeli hotel ini.
Setelah direnovasi beberapa tahap, Juni 1984, Grandhotel Giessbach dibuka kembali. Sejak itu hotel dengan 175 kamar ini semakin populer di seluruh Swiss, dan tahun 2004 bahkan menyabet penghargaan bergengsi 'Historic Hotel of the Year'.
Memasuki lobinya yang lega, nuansa klasik abad ke-19 sangat terasa. Beberapa koleksi lukisan milik Davinet menghiasi lobi hingga restoran Le Tapis Rouge di sampingnya, yang punya jendela-jendela yang menawarkan pemandangan ke air terjun.
Sayang saya tak sempat melongok ke Giessbach Suite yang kamar dan terasnya mempunyai pandangan langsung ke Danau Brienz. Sebab pukul 14.44 kapal Loetschberg akan kembali dari Brienz dan sampai di Giessbach See pukul 14.51. Saya harus ikut.
Saya memilih untuk tidak naik kereta kabel, melainkan treking menyusuri jalan setapak menurun yang dibuat Kehrli. Ini treking yang menyenangkan karena dinaungi pohon-pohon yang teduh. Dan beruntungnya lagi, karena saya akhirnya melewati jembatan kayu di atas air terjun paling bawah yang airnya langsung mencurah ke danau, yang tadi saya lihat dari kapal.
Kapal Loetschberg dengan haluannya yang berhias ornamen bunga emas sudah terlihat berlayar anggun menuju dermaga Giessbach See. Saya pun mempercepat langkah agar tak ketinggalan melayari Danau Brienz lagi bersama si cantik beruap ini.
"Loetschberg, tunggu saya!"