secangkir-seribu-cerita
| Foto Makhfud Sappe
Secangkir Seribu Cerita
By Gener Wakulu
Wed, 06 Nov 2024

KULTUR NGOPI DI ACEH

Di Aceh, kopi bukan cuma minuman yang disajikan atau komoditas pertanian, tapi bermuara ke warung kopi di mana isyu-isyu bisnis, sosial hingga politik dibahas.


Mengangkat tinggi penyaring untuk mengurangi rasa asam kopi.

Seperti halnya kisah “Seribu Satu Malam” atau “Neverending Story” yang tiada habis-habisnya diceritakan, mungkin begitu pula materi obrolan di warung warung kopi di Banda Aceh. Semuanya ngobrol, kadang gaduh. Tapi seru. Hanya, kontennya bukan hanya soal hikayat seperti tajuk-tajuk di atas melainkan lebih banyak ke persoalan sosial dan politik. Partisipannya juga majemuk.

Di kebanyakan kota yang kami kunjungi, warung kopi didominasi kaum pria. Tetapi di Banda Aceh malah terlihat egaliter, wanita hingga mahasiswi juga campur baur. “Di Banda Aceh, banyak persoalan memang diselesaikan di warung kopi, dari mulai bisnis, sosial hingga politik. Soal kopinya sendiri, saya pikir ini komoditi dan sebuah keunikan dan kekayaan kultural tersendiri yang menjadi nilai tambah,bukan hanya potensi kekayaan alam,” ujar Reza, kawan saya di Banda Aceh yang menemani saya. 

Nah, di Banda Aceh ada kawasan yang disebut Ulee Kareng. Di sini, warung-warung kopi seperti berbaris tak beraturan membentuk komunitas besar, memberi warna tersendiri yang menarik bagi mosaik kota Banda Aceh. Dan dari situ bergulir beribu cerita. Bagi yang pernah datang ke Aceh semasa dan paska musibah tsunami bisa melihat orang dari berbagai bangsa tumpah-ruah di warung-warung kopi di sepanjang Ulee Kareng.

Salah satu warung kopi yang kami datangi adalah warung kopi “Solong” yang menjadi salah satu favorit di kawasan itu. Ini salah satu warung kopi yang cukup “tua” di kawasan itu, ada sejak tahun 1974. Menu utamanya tentu kopi. Dan kalau bener-benar ingin menikmati kopi Aceh, kami anjurkan menikmati kopi hitamnya yang gurih itu. Meski tentu untuk selera berbagai orang, ada juga disajikan kopi susu. Bahkan selain kue-kue lainnya peneman minum kopi, warkop ini juga menyediakan roti lembut yang diisi selai. Dan ternyata selai srikayanya mereka buat sendiri. 

Solong adalah nama dari ayah pemilik warung kopi tersebut, yang dulunya bekerja pada orang Tionghoa di Peunayong, suatu kawasan pemukiman etnis Tionghoa di Banda Aceh. Seiring makin bertambahnya penduduk yang suka ngobrol sambil ngopi di warung kopi Solong, maka nama itu akhirnya terkenal hingga saat ini, dan mayoritas masyarakat di sini menyebutnya dengan nama Kopi Solong. 

Tentu, kalau menyambangi warung-warung kopi di Aceh jangan tampilannya melainkan nikmat kopinya. Di warung kopi yang kami sambangi, kami melihat bagaimana kopi diracik dan disajikan. Seorang peracik kopi nampak sedang meramu bubuk kopi dengan air mendidih kemudian disaring dengan saringan kain yang begitu unik bentuknya. Kopi tadi dituang di beberapa cangkir bergantian, kemudian disaring dengan cara mengangkat saringannya hinggakucuran air kopi masuk tepat diantara jejeran gelas di atas meja. Ternyata, teknik ini ikut menentukan kualitas nikmat kopi yang disajikan.


Semakin pendek jarak tuang antara saringan dan gelas, kemungkinan kadar masamnya masih tinggi. Itulah kenapa para “sopir” kopi ini mengangkat setinggi mungkin penyaring untuk mengurangi rasa masam yang mungkin timbul. Nah, gaya mengangkat tinggi penyaring kopi inilah yang jadi atraksi tersendiri dalam kontes para sopir kopi di Banda Aceh.

Soal kopinya sendiri, kebanyakan berasal dari jenis robusta. Uniknya, banyak warung kopi di Banda Aceh punya “jalur khusus” dalam persediaan kopi mereka. Warkop Solong misalnya, tidak membeli kopinya dari pedagang biji kopi melainkan memiliki perkebunan sendiri yang dikelolah oleh keluarga mereka di Takengon.

Setelah disajikan, harga per cangkir Rp 6.000 untuk kopi hitam, sedang untuk kopi susu Rp 10.000 12.000. Dalam sehari warkop paling favorit ini bisa menjual 10 kg kopi (bubuk) untuk diminum, sedangkan untuk dijual dalam kemasan bubuk 50 kg. Ya, di warkop ini memang dijual kopi yang telah digiling dalam bentuk bubuk dengan banderol Rp 85.000 per kg, Rp 40.000 untuk per ½ kg dan Rp 25.000 untuk kemasan¼ kg. Namun di Banda Aceh, termasuk di toko-toko souvenir bisa kita jumpai kopi bubuk dalam kemasan yang lebih canggih dengan merek Ulee Kareng. Tapi bila Anda pencinta kopi, sebaiknya masuk ke warung kopi dan membelinya di situ.***

BACA  :  LIONMAG EDISI OKTOBER NOVEMBER 2024


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru