romantisme-labirin
Souk di Marrakech | foto Makhfud sappe
Destination
ROMANTISME LABIRIN
By UKIRSARI
Mon, 14 Apr 2025

Banyak pengelana dari berbagai negara menjadikan kawasan Medina sebagai tempat menginap saat berada di Marrakesh. Tidak terkecuali saya. Kota tua itu menawarkan banyak titik wisata, seperti Alun-Alun Jemaa el-Fna, beberapa mesjid bersejarah, dan tak kalah penting bagi saya adalah souk atau pasar tradisional. Tempat menawan untuk “tersesat” di antara labirin-labirin berdinding tinggi dan menyaksikan kehidupan warga sehari-hari, termasuk melakukan transaksi di pasar.

Tembok yang dahulu berfungsi sebagai pembatas kota dengan warna dominan oker mengantar saya kepada souk bernuansa mirip Pasar Tanah Abang. Mulai rempah-rempah seperti kayu manis, saffron, dan oregano, bermacam jenis buah kurma (dates) yang dikeringkan sampai cendera mata seperti karpet dan lampu hias dijajakan. Jika ingin mengenakan djellaba atau jelaba, busana perempuan khas Maroko, berbagai toko juga menyediakannya, dipajang apik dengan mannequin.

Lamyaa dan Sanaa Saaed adalah kakak-adik yang saya jumpai tengah melakukan tawar-menawar di sebuah toko penyedia jelaba. ‘’Di sini, keahlian menawar sangat berguna,” bisik Lamyaa, yang berusia kurang lebih setara umur saya, dalam bahasa Inggris. “Pasalnya, penjual sering memberikan harga tertinggi! Cuma, kita juga mesti berhati-hati, karena kalau penawaran yang kita ajukan terlalu murah dalam ukuran mereka, bisa jadi mereka kesal, lalu marah-marah.”

Berkat keahlian merayu kakak-adik itu, termasuk menyebut saya sebagai “kerabat jauh kami di Indonesia”, saya berhasil mendapatkan dua lembar scarf sutra dengan harga 100 dirham (MAD) atau kurang dari Rp 150 ribu. 

Menyandang predikat sebagai “negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia”, kehadiran saya di Maroko serasa mendapat sambutan khusus: dianggap saudara. Senada ketika saya berada di Mesir. Tanpa ragu, petugas dermaga di West Bank saat itu menyatakan, “We are brother and sister” ketika saya menyebut asal dari Indonesia.

Kami bertiga menyusuri Souk Smarine, lalu menjelajahi alun-alun kecil, Rahba Kedima, yang dipenuhi pedagang aksesori seperti kalung, gelang, serta obat-obatan tradisional. Sampai di sebuah kedai, Lamyaa dan Sanaa mengajak saya mencicipi thé à la menthe, semacam teh hijau dengan mint, disajikan dengan gula terpisah. 

Minuman hangat itu adalah minuman nasional mereka dan biasa disajikan saat kita bertamu atau berbincang santai di rumah. Kami menikmatinya bersama kue pastry berisi cincangan almond dan bertabur gula. 

Kedua bersaudari itu bercerita bahwa mereka tinggal di Rabat, Ibu Kota Maroko. Hari itu adalah hari terakhir mereka berlibur di Marrakesh, sebelum bertolak kembali ke kota mereka dengan kereta serupa yang membawa saya dari Tangier.

Sanaa memberitahu saya, ‘’Kalau ingin ke Jemaa el-Fna, datanglah saat matahari terbenam. Alun-alun berubah menjadi pasar malam. Ada pertunjukan musik, sulap, serta kegiatan mendongeng pula. Bila datang siang hari, tempat itu dipenuhi pengamen ular.”


Saat Malum Hari Alun-Alun Jemaa el-Fna berubah Menjadi Tempat Jajanan Makanan Trasisional Marokko. Foto Makhfud Sappe

Saya membenarkan karena saat melewati Jemaa el-Fna pagi tadi, para pengamen ini sudah ada untuk warming up. Memperlihatkan kepiawaian bercumbu dengan satwa melata yang berbisa. Berangkat dari pemandangan serupa yang saya temui saat berada di Agra, India, membuat saya cepat-cepat melangkah menuju labirin yang mengantar ke souk di mana akhirnya saya berjumpa dengan Sanaa dan Lamyaa.

Dari Rahba Kedima, alun-alun bersambung ke ruang terbuka lainnya, yang dipenuhi penjual karpet berbagai ukuran. Mulai bentuk kecil untuk dipajang sebagai hiasan dinding, sampai dimensi besar sebagai penutup lantai. ‘’Tempat ini disebut sebagai La Criée Berbere,” jelas Lamyaa. “Kemarin kami juga ke sini untuk mencari karpet-karpet kecil. Di masa silam, tempat ini dijadikan sentra jual-beli budak.”

KUBAH DAN DINDING CANTIK

Kami bertiga berpisah di ujung Souk Smarine. Lamyaa dan Sanaa mesti kembali ke penginapan mereka untuk mengepak oleh-oleh dan check-out, sementara saya siap meneruskan penjelajahan di kota tua Medina. Berbekal tiket gabungan ke Marrakesh Museum, Ben Youssef Mosque, dan Almoravid Koubba, saya mendatangi Almoravid Koubba. 

Dinasti Almoravid yang berasal dari Suku Berber merupakan pendiri Kota Marrakesh, yang akhirnya jatuh ke tangan Kalifat Almohad. Almoravid Koubba atau La Qoubba Almoravid merupakan satu-satunya peninggalan dinasti ini dari abad ke-11 Masehi yang diurus secara apik. Dengan kondisi berada di permukaan tanah serta diapit bangunan masa kini yang centang perenang, situs arkeologi ini bisa terlewatkan jika mata saya tidak awas.

Bagian tercantik dari Almoravid Koubba, tentu saja, kubahnya yang dari luar bak setengah potong semangka berukir—mengingatkan saya kepada seni mengukir buah ala Thailand. Lantas bagian dalam cerukan kubah diukir sedemikian detail, dengan juring-juring bak jeruk yang sudah dikupas. Ragam hias jendela, pintu, dan dindingnya adalah inspirasi bentuk buah pinus, daun acanthus, serta palem.   

Di persinggahan berikutnya, saya terpesona oleh keindahan dinding Ben Youssef Medersa. Madrasah atau tempat belajar di lingkungan Ben Youssef Mosque ini berdiri pada abad ke-14 dan terpelihara apik hingga sekarang. Dinding sarat ornamen paduan warna oker dan cokelat tua, berpadu dengan bagian bawah dinding berornamen lingkaran warna oranye, biru muda, serta hijau kecokelatan. 

Sementara lantainya adalah ubin marmer. Pintu-pintu lengkung serba-simetris serta kolam air persegi panjang di bagian tengah ruang yang terbuka menambah unsur kemegahannya. Seni arsitektur madrasah ini mendapatkan pengaruh kuat gaya Andalusia, tecermin dari detail bangunannya yang mengingatkan kepada Istana Alhambra di Granada, salah satu daerah otonomi Spanyol. 

Tanpa terasa, waktu terus bergulir. Saat berada di museum yang terletak dekat Ben Youssef Medersa, saya teringat ingin pula mendatangi Koutoubia Minaret, menara yang menjadi salah satu penanda Kota Marrakesh. Menara itu dibangun tidak lama setelah Kalifat Almohad mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Almoravid.

Saya putuskan mendatanginya besok pagi. Menjelang petang itu, setelah puas menikmati benda-benda koleksi Marrakesh Museum serta berwisata arkeologi di Ben Youssef dan Almoravid, saya melangkah ke Jemaa el-Fna. Tempat para pengelana dari berbagai penjuru dunia dan warga setempat berkumpul. Bertukar sapa, menikmati berbagai suguhan seni, bersantap serta menikmati bulan sabit di langit Marrakech.


TIPS

  • - Marrakesh dapat dicapai lewat udara dari berbagai bandara di Eropa, termasuk London, Lisbon, dan Madrid. Dari laut dapat dicapai via Gibraltar (masuk teritorial UK di wilayah Spanyol), Genoa (Italia), Sete (Prancis), Tarifa dan Algeciras (Spanyol).
  • - Untuk menghemat pengeluaran, bisa menggunakan taksi dengan cara sharing, disebut petit taxi. Jika mendapatkan taksi besar, sebutkan une place, sehingga sopir mencari penumpang lain dan tidak dikenai biaya Carter. 
  • - Hati-hati memotret suasana yang melibatkan warga sekitar. Contohnya di Jemaa el-Fna. Bisa-bisa dimintai uang. Juga tidak diperkenankan memotret tempat penting bagi khalayak seperti bandara, pompa bensin, serta kantor polisi.
  • - Merujuk kepada status Maroko sebagai negara Muslim, perlu diperhatikan etika berbusana serta kesopanan publik seperti tidak bergandeng tangan dengan lawan jenis.
  • - Bagi kaum perempuan, scarf lebar bisa menjadi bekal serbaguna: untuk menutup bagian tubuh saat berkunjung ke tempat-tempat religius atau bertamu, sekaligus menahan terik matahari.

SEBELUMNYA

Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru