Masyarakat pun tidak akan kecewa dengan yang dibayarkannya. Ada kenangan manis pada setiap botolnya. Limun nostalgia.
Teks dan Foto : Toto Santiko Budi
Kawasan Surabaya Utara sarat warisan sejarah kotanya. Bangunan-bangunan bergaya kolonial tegak berdiri hingga kini. Tidak banyak dari bangunan-bangunan tersebut masih difungsikan sebagaimana halnya ketika didirikan oleh sang empunya.
Namun, salah satu bangunan yang masih berkegiatan sebagaimana awalnya adalah sebuah pabrik sirup. Letaknya di sebuah gang sempit, tidak jauh dari kawasan Jembatan Merah yang sangat terkenal itu.
Arsitektur bangunan bercat putih dengan empat pilar silindris itu terlihat bersahaja. Jauh berbeda dengan bangunan-bangunan bergaya kolonial lain yang tampak megah dan indah di kawasan itu. Mungkin karena bangunan itu adalah sebuah pabrik, bukan kantor pusat sebuah perusahaan. Maka gedungnya pun biasa saja. Tetenger bertuliskan huruf balok berwarna hitam tertera pada bagian atas bangunan. “Pabrik Limoen J.C. van Drongelen & Hellfach”.
Pada awal berdirinya, pabrik tersebut membuat limun dan botol kaca. Gedung Pabrik sirup atau limun, istilah zaman old-nya, itu kali pertama berproduksi di era kolonial Belanda, tepatnya pada 1923. Pada 1942, pabrik diambil alih Jepang. Setelah Jepang kalah perang, pabrik kembali ke tangan Belanda hingga dinasionalisasi Indonesia pada 1958.
Pada 1962 pabrik itu diserahkan ke Perusahaan Industri Daerah Makanan dan Minuman, yang dilebur menjadi PD Aneka Pangan pada 1985. Sejak 2002 hingga kini pengelolaan Pabrik Limun & Sirup TELASIH berada di tangan PT Pabrik Es Wira Jatim.
Kisah pabrik di Jalan Mliwis —yang masih eksis membuat limun bermerek ‘’Siropen-Cap Bulan-Telasih’’ atau lebih dikenal sebagai sirup ‘’Telasih’’ saja dengan semua proses produksi dan kemasan (botol dan tipografi label) masih seperti awalnya— membuat penulis penasaran. Ketika ada kesempatan berkunjung ke Surabaya, penulis pun tak ragu bertandang ke pabrik ini.
Begitu membuka pintu kaca berwarna gelap, penulis berada di ruang penerima tamu. Nuansa vintage sangat kental. Satu set kursi beralas rotan dan meja berbentuk bundar berbahan kayu berada dekat jendela. Tak jauh darinya terdapat satu set meja dan sofa berangka kayu. Ada juga rak kayu berpintu kaca berisi aneka botol. Namun, hanya satu jenis botol yang telah dikonfirmasi buatan pabrik ini di masa lampau. Pada bagian sudut kiri ruangan terdapat bar dengan rak memajang botol-botol sirup.
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan, penulis kemudian diterima Laode Muhammad Alfian dari Siropen. Segeralah meluncur berbagai cerita tentang pabrik ini darinya. Ia juga mengizinkan penulis melihat bagaimana sirup yang konon tertua di Indonesia ini diproduksi.
Ruang produksi yang lebih tepat dikatakan dapur berada di bagian belakang pabrik. Luasnya lebih kurang 20 x 20 meter. Terdapat tiga wajan di atas tungku. Di seberang, tepatnya di dapur, terdapat tiga guci keramik besar dengan keran pada bagian bawah.
Wajan-wajan itu untuk melarutkan gula asli (gula pasir), sumber rasa manis sirup. Sementara, guci-guci untuk mencampur larutan gula dengan zat pemberi rasa hingga terciptalah produk akhir sirup. Sirup rasa frambozen, mawar, cocopandan, leci, jeruk keprok, melon, arbei, dan vanilla merupakan produk andalan Telasih. Jenis rasa sirup ini memang tidak sebanyak saat awal berdirinya pabrik.
Saat itu tidak terlihat pekerja sedang melarutkan gula di wajan. Penulis hanya menjumpai pekerja yang tengah mengisi botol dengan cairan sirup dari guci keramik, menutup botol, pemasangan kertas segel, dan penempelan merek pada badan botol yang semua dilakukan secara manual oleh karyawan bagian produksi yang berjumlah tidak sampai selusin, tetapi mampu memproduksi 1.000 botol sirup per hari.
Sejatinya, PT Wira Jatim adalah pabrik es. Belum lama ini PT Wira Jatim berinovasi. Mereka mendiversifikasi usaha dengan membuat air minum dalam kemasan dan sirup untuk kepentingan industri (cafe, restoran, dan hotel).
Bagaimanapun, sirup Telasih merupakan ikon utama produknya hingga sekarang. Cara pembuatan, alat, dan bahan-bahan juga masih sama seperti dulu. Masyarakat pun tidak akan kecewa dengan yang dibayarkannya. Ada kenangan manis pada setiap botolnya. Limun nostalgia.