Pada suatu malam, Don Silupahutang dan kawan- kawan ngobrol di sebuah kafe. Tanpa menunggu pertanyaan, Don yang terkenal doyan ngomong itu cerita perihal perceraian dengan istrinya yang ketiga. Ya, tiga kali kawin, tiga kali pula dia bercerai -- dengan berbagai dalih.
Perceraian pertama dulu, gara-garanya dia ketahuan selingkuh. Lalu kawin kedua, pecah lantaran si istri yang serong. nah, yang ketiga sekarang alasannya sebagai berikut.
“Coba kalian bayangkan, tiga bulan pertama perkawinan, oke-oke aje. Aku bicara, dia cuma dengar....”tuturnya.
“Terus, terus?” kata seorang kawannya.
“Masuk tiga bulan kedua, eh dia yang banyak bicara, dan aku jadi pendengar,” kata si Don.
“Wah, itu rumah tangga ideal, dong,” kawannya yang lain nyeletuk.
“Naaa..., pada tiga bulan ketiga. Kita saling rebutan bicara. Capek deh! Yang jadi pendengar malahan tetangga...”
“Ah, bisa saja kau bikin alasan untuk kawin lagi, sama tidak warasnya dengan cerita sinetron di televisi,” komentar kawan- kawannya.
Kemudian seorang kawannya mengajak Don agar lebih memahami makna sakral sebuah perkawinan. Dia tanya tentang cincin kawin: kok dipasang di jari manis?
“Yah, memang begitu dari zaman dulu,” kata si Don. “Apanya yang aneh?”
“Ini bukan soal aneh atau tidak,” sahut kawannya. “Tapi menyangkut makna hakiki dari ketemunya sepasang anak manusia.”
Lima jari di tangan kita punya nama: jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, kelingking. Si jempol biasa disebut ibu jari. Kita tidak akan bertanya, kok “ibu” yang satu ini tak pernah didampingi “bapak”. Jadi, jangan tanya lagi mana “anak jari”. Oke?
Tapi belum tertutup peluang bertanya tentang jari manis.
Bukan menyangkut jari sebelahnya yang dinamai “jari tengah” -- kan cocoknya “jari jahil” karena ... dia panjang sendiri. Bukan itu, tapi mengapa cincin kawin harus dipasang di jari manis?
Kenapa bukan di jempol? Kan ini ibunya jari. Atau di telunjuk -- ini jari yang paling doyan menuding. Atau di jari tengah, yang lebih panjang. Atau di kelingking, kan kalau diadu dia menang terhadap jempol. Mengapa?
Ya, kok malahan di jari manis, yang tak masuk hitungan dalam main suit. Biasanya, orang menjawab, yah, begitulah adanya sejak zaman dulu. Ini namanya jawaban ogah-ogahan. Untuk dapat jawaban sahih, perlu contoh konkret.
Rapatkan kedua telapak tangan, lalu jari tengah tekuk ke dalam dan tempel. Empat jari lainnya juga saling menempel pada ujungnya, seperti contoh dalam foto. Mari kita uji: buka tempelan dua kelingking, posisi si jari tengah tetap rapat.
Begitu pula ketika jempol dan telunjuk dibuka, lekatnya jari tengah tidak terusik. Lalu coba buka si jari manis.... apa yg terjadi? Jari tengah ikut terbongkar alias hubungan bubar-bar! Ini bukti sahih: sekali orang saling memakaikan cicin di jari manis pasangannya, itulah isyarat sejati sebuah “kontrak mati”.
Begitu sang cincin belah rotan disarungkan di jari manis sepasang anak manusia, itu artinya ketemu jodoh. Pada perkembangan selanjutnya, mahligai rumah tangga kemudian ambruk brantakan. Dan dengan enteng orang sering bilang “kami cerai karena begitulah maunya yang di atas”.
Kita berprasangka-baik saja memahami istilah “maunya yang di atas” itu, artinya bukan orang yang tinggal di lantai atas, atau ada atasan yang punya mau. Tapi lantaran super-awam meyakini bahwa Tuhan -- kalau memang begitu maksudnya -- itu “lebih dekat dari urat nadimu”.
Dalam ajaran agama, memang, soal “jodoh” dipercaya sebagai wilayah prerogatif Sang Al-Khalik -- Tuhan Yang maha dekat. Akan halnya “cerai” bukan lagi urusan Beliau, tapi tulen pilihan manusia sendiri. Bukti sahih tersimpul di jari manis. (*)
* Humor Koleksi Ed Zoelverdi (Alm.)
Pernah tayang di In-flight Magazine : LIONMAG edisi Mei 2011 Hal. 72
__