kawaliwu
Menatap Sang Surya terbenam di kaki langit | foto Valentino Luis
Destination
KAWALIWU
Valentino Luis
Sun, 18 Sep 2022

Pantai pada teluk teduh yang menyajikan sumber air panas sekaligus senja yang afdal.

Sekeluarnya dari kota Larantuka pas azar tadi, suasana lengang menyelangkupi perjalanan ke Lewolema. Mungkin lantaran baru usai hujan, orang-orang enggan digetik bumi yang kuyup. Lagipula rute yang saya tempuh melewati ladang-ladang yang rimbun oleh pohon kelapa juga jambu mede.

Tempat yang sasar yakni Kawaliwu, sebuah pantai di pesisir utara Lewolema. Apabila menilik pada peta Kabupaten Flores Timur, menuju ke tempat ini dari Larantuka sama halnya menebas leher Pulau Flores. Salah satu titik tersempit, sehingga tak butuh waktu sejam untuk berpindah dari pantai selatan ke pantai utara.

“Kamu musti ke tempat itu, bila memang mendambah sore yang tenang. Bisa jadi, dialah pantai paling ideal untuk melarung senja di seputar Larantuka,” terngiang kalimat Manto de Rosary, seorang kenalan lokal. Makanya begitu mata menangkap siluet lautan, dengan berdebar saya melinyarkan sepeda motor menuruni lereng yang mengarah ke barat. Sekelebat terendus sengat aroma belerang. Oh, ini berarti sebentar lagi sampai!

Semingguan sudah berada di Flores Timur, saya ingin melakukan mapping, semacam mendata loka-loka menarik, termasuk pantai-pantainya yang umumnya masih sangat natural. Keterbukaan penduduknya menandakan kesediaan menyambut datangnya pengunjung.

“Kami memang jauh dari Labuan Bajo yang sohor itu, namun tidak berarti kami terlelap. Justru kami mempersiapkan diri agar tidak shock bila pariwisata menjangkau daerah kami dalam skala lebih luas,” kata Manto. Larantuka identik dengan atraksi wisata rohani Semana Santa yang telah mendunia, namun sepertinya daerah ini tak ingin hanya dikenal semata karena itu.

KEDAMAIAN TELUK HADING
Masuk ke perkampungan Kawaliwu, jalur jalan langsung mengarah ke tepi pantai. Teluk lapang di depannya bernama Teluk Hading, nampak tenang sekali tanpa ombak. Jika dilihat dari ketinggian, lengkungan di sisi utara teluk ini bagaikan clurit. Dipagari oleh perbukitan yang tinggi-tinggi. Rimbun pohon-pohon kelapa berdesakan di beberapa titik. Saya menjuruskan sepeda motor ke selatan, mencari sudut-sudut tepat untuk mengabadikan teluk antara cela pepohonan, hingga ke ujung jalan di mana bentangan jalan aspal berakhir.  

Matahari mulai berwarna asfar. Di sebuah lahan yang penuh nyiur, saya melihat orang-orang memanjat dan menjatuhkan buah kelapa. “Bolehkah saya beli kelapa mudanya?” pinta saya. Awalnya mereka kebingunan, tapi kemudian menjatuhkan beberapa butir kelapa muda. Sepertinya warga di sini belum menangkap peluang bahwa pantai mereka punya daya tarik dan mereka bisa mendapat sedikit benefit dari kunjungan orang bila menjual kelapa muda yang berlimpah itu. Apalagi salah satu dari mereka berkata, “Sekarang tiap Sabtu dan Minggu pengunjung sangat banyak.”

Komunikasi singkat tentang peluang ekonomi dari kelapa muda yang saya kira belum disadari warga tersebut, membawa saya pada fakta sosial budaya yang berlaku di sana. Ternyata sebagian besar lahan di Kawaliwu berstatus tanah adat atau tanah suku, bukan milik perseorangan. Itulah sebabnya sulit bagi seseorang, secara individu untuk melakukan sesuatu di tanah adat bila tanpa kesepakatan sukunya, meskipun dia yang menggarap lahan.

Dalam kedamaiannya, Teluk Hading juga menyimpan sebuah kisah tragedi. Pada tahun 1992 gempa tektonik melanda Flores, Teluk Hading termasuk area yang dihantam tsunami. “Di Kawaliwu nanti kamu akan bertemu seorang pria. Tampak seperti linglung, tiap hari dia duduk di batu-batu tepi pantai tempat istrinya dulu hanyut diseret tsunami. Peristiwa itu sudah dua puluh tahun berlalu, namun ia masih setia mengharapkan istrinya kembali,” kata warga. 

AIR PANAS DI BIBIR LAUT
Satu keistimewaan Kawaliwu yang mungkin jadi godaan utama kenapa ia senantiasa didatangi, yaitu terdapatnya sumber air panas di bibir laut. Uniknya, sumber air panas ini bukan dalam wujud pemandian atau kolam yang besar. Bahkan nyaris tidak tampak oleh mata, sebab ditutupi oleh serakan batu-batu kerikil.


Kubangan kecil penampung air panas yang dibuat oleh pengunjung untuk mandi-mandi. Foto VALENTINO LUIS

Saban sore penduduk setempat datang sembari membawa gayung. Dengan gayung itu mereka menyingkirkan kerikil lalu membentuk kubangan-kubangan kecil. Air panas pun terkumpul di dalamnya, jernih tanpa lumpur sama sekali dan tidak beraroma belerang yang menyengat.

Nama Kawaliwu sendiri berarti ‘Genangan atau kubangan air belerang.’ Kemunculan air panas ini diyakini berasal dari perut Gunung Ile Padung, mengalir menyusupi bawah lereng lantas muncul tepat pada bibir laut.

“Air panas dari Gunung Ile Padung mengalir ke dua haluan. Sisi selatan muncul di tepi Laut Sawu tepatnya di Oka, disebut Wai Plati. Sedangkan sisi selatan muncul di sini, Kawaliwu,” terang warga lagi.

Panasnya air tergantung intensitas matahari. Siang hari hawa air mampu mencapai 45-500 Celcius, mendekati malam suhunya turun 35-400 Celcius. Di puncak musim kemarau seperti bulan September hingga November temperaturnya lebih tinggi. Datang sore-sore adalah momen paling tepat, airnya hangat sedangkan udara sejuk. Ideal untuk berelaksasi sambil menatap matahari tenggelam tepat di tengah lautan.

FESTIVAL NUBUN TAWA
Karena lansekapnya yang menawan, sejak tahun 2018 Kawaliwu menjadi lokasi Festival Nubun Tawa. Gelaran ini merupakan momen menampilkan kekayaan budaya wilayah Lewolema. Bermacam atraksi kultural seperti teater yang diangkat dari cerita rakyat setempat dipentaskan berlatar pemandangan teluk serta pantai.

Tak hanya hiburan, ritual bernilai sakral pun dihelat. Masyarakat Kawaliwu punya satu tradisi khusus yang dinamakan ‘Lodo Ana.’ Ini adalah ritual inisiasi bagi anak-anak agar mendapatkan status sah dalam suku mereka.

Pada hari yang telah disepakati, keluarga menggendong anak-anak mereka untuk dikukuhkan oleh para tetua adat secara massal di halaman rumah adat. Puncak Lodo Ana yakni saat anak-anak diselimuti dengan kain tenun lalu kepala mereka diperciki air kelapa. Ritual ini umumnya dilaksanakan setahun sekali. Awalnya hanya disaksikan oleh komunitas adat, namun kini Lodo Ana menarik minat pengunjung dari luar kampung.

Tahun 2020 ini Festival Nubun Tawa akan dihadirkan lagi dan Kawaliwu akan kembali menyambut kedatangan banyak orang. Tempat ini akan menjentik indra lewat kesyahduan teluk dan pantainya, lewat hangat terbenam matahari serta air panasnya.


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru