Pemandangan Waduk Jatiluhur begitu memukau kala ditatap dari Gunung Lembu, terlebih di malam hari dengan gemerlap lampu serta saat matahari terbit. Eksotisme Gunung Parang serta Gunung Bongkok yang berdampingan menambah pesona yang disodorkan Gunung Lembu.
Gunung Lembu di Purwakarta, Jawa Barat, mungkin belum pernah tertangkap telinga sebagian orang. Namanya tidak setenar Gunung Papandayan, Gunung Ciremai, Gunung Gede Pangrango, bahkan Gunung Burangrang. Padahal panorama Gunung Lembu tidak kalah cantik dengan gunung-gunung itu.
Awalnya nama Gunung Lembu pun saya dengar sepintas. Usai menelisik informasi sana-sini, barulah tahu sejatinya gunung setinggi 792 meter di atas permukaan laut (mdpl) di Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, itu sangat indah dengan sajian panorama Waduk Jatiluhur nan memesona. Konon, disebut Gunung Lembu karena jika dilihat dari arah timur berbentuk seperti lembu sedang duduk.
Jadilah bersama beberapa kawan bertolak mengunjunginya di akhir pekan. Untuk menekan pengeluaran, kami memilih naik kereta api dari Stasiun Jakarta Kota menuju Stasiun Purwakarta dengan tarif tiket hanya Rp 6.000. Perjalanan menuju Purwakarta ditempuh sekitar tiga jam.
Tiba di Stasiun Purwakarta, kami langsung terlibat tawar-menawar dengan salah satu pengemudi angkutan umum untuk mengantarkan kami menuju basecamp di Desa Panyindangan.
Bagi yang tidak membawa kendaraan pribadi, menyewa angkot atau sepeda motor menjadi pilihan karena tidak ada trayek angkutan umum menuju titik pendakian.
Jalur ke basecamp pendakian cukup menyenangkan. Jalanan berkelok-kelok melewati pedesaan di sekitar Jatiluhur. Gunung Parang, yang menjulang lancip menantang langit, menemani dari kejauhan, didampingi Gunung Bongkok. Setelah itu baru tampak Gunung Lembu yang begitu hijau.
Di basecamp, kami dikenakan biaya simaksi Rp 10 ribu per orang. Di sekitarnya terdapat warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman, sehingga bisa mengisi tenaga dahulu sebelum mendaki.
TREK CUKUP MENANTANG
Puncak Gunung Lembu bisa dibilang tidak tinggi, namun treknya tidak bisa dibilang mudah. Apalagi hujan turut menemani langkah kami. Pendakian diawali dengan menaiki beberapa anak tangga cukup terjal. Selepas tangga, jalanan berubah menjadi tanah basah yang cukup licin dengan pepohonan bambu di sekelilingnya. Hujan pun tidak begitu terasa karena terhalangi hutan bambu. Udara pun sejuk.
Kondisi jalanan cukup licin menuntut kaki melangkah hati-hati. Terkadang saya harus melewati batu-batu besar yang membuat perjalanan lebih bervariasi. Jika ada yang kurang bersahabat, tidak lain nyamuk-nyamuk berseliweran. Maka penggunaan antinyamuk pun disarankan.
Tidak terlalu jauh untuk sampai di pos satu, tempat banyak saung untuk istirahat para pendaki. Di sini juga terdapat warung-warung dari bambu menjajakan beragam makanan dan minuman. Warung-warung seperti ini akan cukup sering ditemui selama perjalanan menuju puncak. Di pos itu juga terlihat Gunung Parang dan Gunung Bongkok bertengger gagah di seberang. Di bawahnya hijau pesawahan dengan rumah-rumah warga andil mempercantik suasana.
Pemandangan serupa setia menemani perjalanan menuju pos dua. Adanya papan peringatan dan penunjuk jalan sangat membantu dalam orientasi jalur. Pun, keberadaan bambu pengaman yang terpasang di jalur-jalur yang dirasa sulit dan agak berbahaya.
Dalam perjalanan menuju pos tiga, saya melewati dua petilasan. Yang pertama petilasan Mbah Jongrang Kalapitung dan kedua petilasan Mbah Raden Surya Kencana. Petilasan-petilasan itu begitu sederhana, terletak di samping jalur pendakian dan hanya dibatasi pagar bambu. Dalam perjalanan ini pula sudah terlihat sajian utama Gunung Lembu, yaitu keindahan Waduk Jatiluhur.
Jalur yang dilalui pun cukup unik. Terdapat tiga punggungan bukit yang, jika dilihat dari bawah, tampak seperti punuk lembu (sapi). Rasanya jadi seperti sedang merayap di punuk sapi raksasa.
Tak lama setelah melewati pos tiga, kami pun mencapai puncak. Tidak terlalu lama waktu kami habiskan untuk sampai di sini, sekitar 1-1,5 jam. Pepohonan teman setia perjalanan berganti pohon-pohon besar nan rimbun. Di puncak ini pula kami dirikan tenda. Tempat camp di sini cukup terbatas. Hanya ada beberapa lahan datar. Namun, bisa dibilang camp site-nya baik karena berada di antara rimbun pepohonan tinggi, pelindung dari terpaan angin.
Di sekitar camp site tersembunyi batuan tinggi dan sangat besar. Batu ini tertutup rindang pepohonan sekitar. Dari atas batu ini bisa dipandangi keindahan sisi barat Waduk Jatiluhur. Di Gunung Lembu ini banyak ditemui mear, binatang seperti cacing berwarna hitam dengan kepala seperti martil atau kait. Menurut penduduk setempat, jika mear bertemu cacing, mereka akan berkelahi.
BATU LEMBU
Langit mulai gelap. Saatnya menuju Batu Lembu, spot terbaik di Gunung Lembu untuk menikmati keindahan Waduk Jatiluhur. Berbekal headlamp sebagai sumber penerangan, kami kembali berjalan dengan trek yang terus menurun dan cenderung curam. Kondisi tanah dibasahi hujan sore hari membuat kami harus ekstrahati-hati agar tidak terpeleset. Batang-batang pohon dan bebatuan besar andil membantu perjalanan ini karena bisa dijadikan pegangan.
Setelah sekitar 15 menit berjalan, sampailah kami di sebuah titik pada akhir jalur menurun. Inilah Batu Lembu, batu besar menurun dan cukup landai. Sesampai di sini suasana sudah cukup ramai dipenuhi para pendaki lain yang, tentunya, punya tujuan sama, menyaksikan keindahan Waduk Jatiluhur di malam hari.
Batu Lembu memberikan suasana terbuka yang menghadap tepat ke arah Waduk Jatiluhur. Pemandangannya benar-benar mengagumkan. Semarak lampu-lampu keramba berkilauan dan memantul di atas air, menyembulkan kesan laksana kota di atas air.
Dari kejauhan, riuh lampu Kota Purwakarta menambah manis suasana malam hari. Siluet sebuah gunung di tepi waduk melengkapi kecantikan yang bisa dinikmati dari Batu Lembu pada malam itu. Tak hanya terus memandangi keindahan alam itu, kadang saya berbaring sembari menikmati tenang suasana malam ditemani bintang-bintang. Udara yang tidak terlalu dingin andil menghadirkan kenyamanan tersendiri.
SUNRISE
Petualangan di Gunung Lembu belum berakhir. Sebelum fajar menyingsing, saat hari masih gelap, kami sudah terbangun dan segera melangkah kembali menuju Batu Lembu. Sapaan sang fajar di pagi hari tidak ingin kami lewatkan. Karena sudah tahu trek-nya, kami tiba di Batu Lembu tanpa butuh waktu lama.
Duduk menghadap Waduk Jatiluhur, menanti langit segera berganti warna. Hitam langit perlahan menjelma memerah. Mentari mulai keluar dari peraduan, memberikan nuansa oranye pada langit luas menghampar.
Serasa mentari tahu posisi kami yang sedang menantikannya. Ia muncul tepat di hadapan kami berdiri, di Batu Lembu. Momen seperti ini tentu sayang dilewatkan dari target kamera, baik untuk meng-capture keindahan panorama atau untuk ber-selfie ria. Hamparan kabut yang mengalir di antara bebukitan di sekitar berkontribusi besar menambah keeksotisan pagi itu.
Mentari terus beranjak naik memancarkan cahaya. Kami pun bergegas menuruni gunung ini, lalu kembali ke Purwakarta, kembali ke realitas keseharian yang menanti di Jakarta.
Dari Gunung Lembu, pesan saya kepada sesiapa pun yang ingin mengunjunginya, tetap jaga kebersihan dan kelestarian alam. Bawa turun semua sampah. Tinggalkan Gunung Lembu tetap bersih.**
Baca juga :
- Meralapkan Ribang Pantai Kelingking
- Kashmir Sejengkal Surga di Bumi
- Keindahan Selepas Fajar
- Maudu Lompoa Tradisi Perayaan Maulid Nabi yang Unik di Cikoang
- Taman Laut Indonesia Surga Bahari Bumi Nusantara