Ekspedisi pelayaran dua perahu bercadik dari Mandar menuju Luwuk Banggai melalui rute pelayaran yang memiliki narasi kuat sekaitan sejarah Jalur Teripang, dan Jalur Bajau.
Perahu yang digunakan dalam Ekspedisi Bajau Sulawesi adalah perahu bercadik dari Mandar, yaitu sandeq. Saat ini, perahu sandeq adalah satu-satunya perahu layar tradisional Nusantara yang bisa digunakan melintasi lautan luas dalam jangka waktu lama tanpa ada modifikasi signifikan.
“… sandeq sebagai perahu bercadik merupakan suatu warisan dari zaman migrasi suku-suku Austronesia. Akan tetapi, sebagai suatu warisan dari zaman terdahulu yang terus-menerus dikembangkan sampai masa kini, perahu sandeq merupakan salah satu puncak evolusi pembuatan perahu Austronesia: Lambung perahu ditutupi dengan geladak agar ombak yang dihadapi di lautan luas tidak dapat masuk, …” catat Horst Liebner dalam tulisannya yang membahas perahu tradisional.
Pelayaran secara resmi dimulai dari Pantai Palippis, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, 23 November 2024. Lepas dari Palippis, dua sandeq menuju dan berlabuh di Kampung Bajoe, beberapa mil laut dari perbatasan Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan. Masyarakat setempat menceritakan bahwa dulu kala orang Bajau bermukim di situ, tapi sekarang sudah bercampur dengan warga lokal. Nyaris tak ada jejak budaya Bajau, selain nama kampung.
Salah satu catatan tertua yang menyebut keberadaan orang Bajau di Teluk Mandar bisa dibaca dalam tulisan Vosmaer, kartografer Belanda yang memetakan Kota Kendari pada 1800-san. “Pada abad ke-19, nelayan Bajau di pesisir Teluk Mandar dan sekitar Makassar di bawah pengaruh kekuasaan Bugis.”
Dari Bajoe, tim ekspedisi menuju Pulau Salemo. Pulau ini dalam sejarah lebih dikenal sebagai pusat perdagangan di Selat Makassar sampai menjadi korban pemboman pada perang dunia II. Cornelis Speelman, laksamana yang memimpin pasukan yang menaklukkan Makassar pada tahun 1669, berkomentar orang-orang yang disebut orang Badjous, tinggal di sini dalam jumlah yang cukup besar sebelum perang, di bawah yurisdiksi Makassar, dan sebagian besar tinggal di pulau-pulau sebelum Labakkang (Pangkajene), khususnya di Salemo.
Pada tahun 1800-san, dalam catatan Eropa tentang orang Bajau, tidak ada Bajau di sekitar daratan Makassar. Mereka tinggal di pulau-pulau, seperti Pulau Kodingareng, yang memasok tripang kualitas terbaik yang dikenal di perdagangan Cina, sebagian karena cara yang terampil dalam mempersiapkan produk di sana.
Secara lokal orang Bajau dikenal dengan nama Makassar untuk mereka: Turijene. sering ditranskripsikan, salah satunya menurut Matthes (1872) sebagai “Taurijene” atau “Torijene” dan menjadi “Troyender” oleh para pelaut Belanda. Namanya berarti “orang air.”
Akhir November 2024, usai transit di Tanjung Bira, Bulukumba tim ekspedisi menyeberangi Teluk Bone, menuju Pulau Sagori. Pulau Sagori adalah salah satu pemukiman orang Bajau di barat pulau besar, Pulau Kabaena.
Bersambung ke : Ekspedisi Bajau Sulawesi: Pelayaran Sandeq Menyusuri Jejak Bajau Nusantara #2