Hidup di dunia ini sejatinya tak ubahnya seperti sebuah perjalanan naik pesawat. Kita semua adalah penumpang dengan tujuan akhir yang telah ditentukan: kampung akhirat. Tiket keberangkatan kita adalah kelahiran, dan waktu keberangkatan sudah ditetapkan oleh Sang Pemilik Pesawat, yaitu Allah SWT.
Ketika pesawat mulai lepas landas, kita tinggalkan segala yang ada di bawah: harta, pangkat, gelar, dan pujian. Semuanya tidak ikut serta, yang tersisa hanyalah amal, niat, dan bekal iman. Saat berada di udara, kita tidak bisa turun semaunya. Begitu pula hidup—kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tidak bisa memilih kapan akan berakhir.
Setiap turbulensi di udara mengingatkan kita bahwa hidup tak selalu mulus. Ada guncangan, ada ketakutan, ada doa yang dipanjatkan. Tapi kita percaya kepada pilot yang menerbangkan pesawat—sebagaimana kita seharusnya percaya kepada takdir dan kehendak Allah.
Penumpang yang bijak akan mematuhi aturan, mengencangkan sabuk pengaman, dan mengisi waktu dengan ibadah, dzikir, dan muhasabah. Ia tahu bahwa kapan pun, pesawat bisa mendarat darurat—begitu pula hidup bisa berhenti kapan saja, tanpa peringatan.
Ada yang duduk di kelas ekonomi, ada yang di kelas bisnis. Tapi pada akhirnya, saat mendarat, semua akan melewati proses pemeriksaan akhir. Sama seperti kelak, semua manusia akan melewati hisab di hadapan Allah, tak peduli ia siapa di dunia.
Maka bersiaplah. Jangan terlena dengan pemandangan dunia yang memanjakan mata. Fokuslah pada tujuan utama: keselamatan sampai ke surga. Gunakan waktu di dalam pesawat ini untuk memperbanyak amal, menebar kebaikan, dan memperbaiki hati.
Sebab saat panggilan dari pramugari terakhir terdengar“Bersiap untuk mendarat” itulah tanda bahwa dunia telah usai. Dan hanya mereka yang membawa bekal taqwa yang akan turun dengan senyuman menuju tempat istirahat yang abadi.(*)
