Thorong-La Pass tetap akan ada. Kapan saja bisa dikunjungi
Rabu malam kami semua berkumpul di Dining Room tempat kami menginap — di ketinggian 4 ribuan mdpl di Annapurna Circuit, Himalaya. Niraj Shakya — trekk-leader pendakian — mengumpulkan semua peserta. Hujan salju masih terus turun. Seharusnya Rabu pagi kami melanjutkan perjalanan tetapi tertunda karena hujan salju sejak Selasa sore sudah menumpuk setinggi 20-30 cm.
Kami berharap bisa lanjut pada Kamis pagi. Namun ternyata, hingga Rabu malam tak ada tanda-tanda hujan salju akan reda. Niraj juga mendapat laporan dari beberapa sherpa (pemandu pendakian) bahwa badai salju di Thorong-La Pass juga sudah berada di posisi: ditutup oleh otoritas Nepal.
Dengan suara terbata-bata — Niraj meminta maaf dan agar kami semua memahami bahwa alam tak bisa dilawan oleh siapapun. Bahwa ia setelah berkonsultasi dengan Pimpinan Tim Fauzan Elyafei dan Pengarah Tim Achmad Hasan — mengambil keputusan bahwa misi harus dihentikan dan kita tidak mungkin melanjutkan pendakian.
Jika Kamis udara cerah dan matahari bersinar tetap dibutuhkan waktu 2-3 hari untuk mencairkan timbunan salju yang menutupi trek pendakian hingga setinggi lutut orang. Tak mungkin berjalan selama delapan jam dengan kaki yang mungkin ‘membeku’.
Annapurna memang terkenal karena ke-ekstriman cuacanya. Mungkin karena itu tingkat kematian di kawasan Annapurna berdasarkan catatan di Google tertinggi di dunia (bandingkan Everest yang berada di ranking ke-8).
Semua peserta tertunduk lesu tetapi harus memahami keputusan itu. Beberapa di antaranya mencoba memberikan argumentasi dan saran agar misi tetap dilanjutkan. Namun Niraj memberikan satu kata kunci, bahwa ia belasan tahun bolak-balik mengantar tim dan tak pernah mengalami cuaca se-ekstrim ini.
Sesuai kutipan Sir Edmund Hillary — penakluk Mt Everest pertama, “Human life is far more important than just getting to the top of a mountain.” Keselamatan peserta adalah segala-galanya. Thorong-La Pass tetap akan ada. Kapan saja bisa dikunjungi.
Sesungguhnya grup-pendaki Himalaya ini dari berbagai profesi: pengusaha, CEO penerbangan, manajer profesional, purnawirawan, dosen dan praktisi lainnya — dimulai kegiatannya sejak Maret 2023.
Bermula ketika di akhir tahun 2022, Achmad Hasan (Direktur Niaga Lion Air) bersama pengusaha Chandra Bong punya ide untuk menjajal pendakian ke Everest Base Camp (EBC). Ide ini kemudian ditawarkan ke beberapa kawan lainnya dan dilakukanlah perjalanan itu di Maret 2023.
BACA JUGA :
Kashmir sejengkal surga di bumi
Kiri ke kanan : Muhammad, Rudy S Jaya, Bong Chandra, dan Achmad Hasan
Meski semangat amat besar dan sebagian tetap ingin menjajal trek yang diselimuti salju, tetapi keputusan trekk-leader dan pimpinan tim harus dihormati. Mengutip kata bijak Cina: Ren de jihua bu ruo Thian de jihua. Manusia berencana dan berkeinginan tetapi takdir Tuhan pasti yang terbaik. Hambatan alam adalah takdir yang harus kami terima.
Kamis pagi meski tetap dengan trek yang tertutup salju kami tetap harus turun ke bawah hingga Manang untuk bisa mendapatkan kendaraan kembali ke Kathmandu.
Christian Kurniawan, Reza Amir Balfas, Fauzan Elyafei, Achmad Hasan, Muhammad, dan Rudy S Jaya
Kami bermalam di Manang dengan cuaca sekitar minus 10° C dan paginya menunggu jeep yang akan membawa kami ke Besisahar.
Meski berada di atas jeep — perjalanan masih menegangkan karena melewati jalan tertutup di sisi tepian jurang tanpa pembatas. Sesekali rombongan harus berhenti dan menggunakan sekop membongkar tumpukan salju yang terlalu tinggi dan menghambat jalannya jeep kami. Manang-Besisahar harus ditempuh sekitar 12 jam dan dilakukan dua kali penggantian kendaraan.
Kami harus bermalam di Besisahar sebelum ke Kathmandu untuk menunggu penerbangan ke Kuala Lumpur sebelum lanjut ke Jakarta.
Kiri ke Kanan : Willybrodus Lay, Aidir Amin Daud, dan Hendrik Wintery.
Semua peserta bertekad untuk ‘membayar utang’ mereka untuk suatu waktu akan berada di titik 5.418M dpl di Thorong-La Pass dan merencakaan untuk menjajal Montblanc tahun depan.
Kali ini kami terhambat di ketinggian 4 ribuan mdpl tetapi asa dan tekad tak pernah padam. Sebagian peserta — meneriakkan kata ini saat makan bersama di Yeti Hotel Manang yang sederhana: tak ada kata menyerah dalam darah kami. Mengutip kata Nirmal Purja, warga Nepal pemecah rekord menaklukan 14 puncak 8000 mdpl ke atas dalam waktu kurang dari tujuh bulan. Kita harus kembali. Semoga.****
* Artikel ini juga dimuat pada Harian Tribun Timur online 7 Maret 2024