Medan panjang dan terbuka antara Lobuche dengan Gorakshep.
Trek berikutnya adalah medan panjang dan terbuka antara Lobuche dan Gorakshep. Gorakshep, pada 5.140 mdpl, ini adalah dusun terakhir di “ujung” Himalaya menuju Everest. Setelah itu, bagi pendaki yang menuju Mount Everest harus menggunakan tenda.
Kami menginap dua malam di Gorakshep. Inilah tempat beristirahat terakhir sebelum menuju Everest Base Camp.

Di Gorakshep. Depan kiri-kanan; R Sigid Tri Hardjanto, Rudy Jaya S, Makhfud, Stefanus J Chang. Tengah, Achmad Hasan. Belakang kiri-kanan; Ryan B Sumali, Hamid Jafar, Stanley Anjaya, Raymond B Sumali dan Theodorus CD.
Kami tiba di Gorakshep sebelum makan siang. Hujan salju mulai turun hingga sore hari. Penginapan penuh oleh pendaki yang beristirahat sebelum menuju Everest Base Camp. Rencananya, kami akan menuju EBC keesokan harinya, dan lusanya ke Kala Patthar.
Malam di Gorakshep sangat dingin. Sulit untuk tidur. Suhu udara mencapai minus 19 derajat Celcius. Kantong air panas tidak banyak membantu. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidur di ruang makan yang lebih hangat. Keesokan paginya, kami bersiap menuju EBC.
Setelah briefing dan berdoa bersama, rombongan meninggalkan Gorakshep. Diperkirakan kami tiba di EBC siang hari, lalu kembali ke Gorakshep.
Jalur menuju EBC melewati batu-batu yang terbungkus salju. Dalam perjalanan, kami melihat puncak Everest tersembul di antara puncak-puncak lainnya. Khumbu Gletse juga terlihat di sisi kanan.
Akhirnya, kami sampai di Everest Base Camp (EBC) pada siang hari yang cerah. Perjalanan dengan segala tantangannya selama sepuluh hari sejak meninggalkan Lukla terbayar dengan pemandangan pegunungan yang luar biasa. Kami bersyukur cuacanya cukup cerah.
Hanya ada sedikit pendaki di EBC. Kami pun bergantian berfoto di depan batu bertulisankan Everest Base Camp 5364 m.

Setelah foto-foto, kami bersiap kembali ke Gorakshep, karena tidak bisa melakukan aktivitas lainnya di EBC.
Pada malam kedua di Gorakshep kami putuskan untuk tetap tidur di ruang makan yang lebih hangat.
Keesokan harinya cuaca mendung. Dan sepertinya badai akan turun. Setelah berdiskusi, kami membatalkan pendakian ke Kala Patthar. Karena dikhawatirkan badai salju akan menahan rombongan selama beberapa hari di Gorakshep. Kami semua bersyukur berhasil mencapai EBC; ini berkat kekompakkan dan kerjasama tim.
“Mendapatkan kesempatan menikmati keindahan ciptaan Allah Tuhan Yang Maha Esa ini adalah rezeki besar bagi saya. Rezeki yang lebih besar lagi adalah teman-teman dalam tim semuanya manusia yang baik hatinya,” ujar Achmad Hasan sebelum meninggalkan Gorakshep.
Pagi itu kami langsung turun ke Periche lalu melanjutkan ke Lukla dengan menggunakan helikopter. Barang-barang kami sudah lebih dahulu diangkut gokyo turun ke Periche.
Ini membuktikan, bahwa dengan kondisi kelelahan dan tekanan alam yang hebat, kami masih tidak menyerah untuk mencapai tekad kami menjejakkan kaki di Everest Base Camp. Persis seperti moto Nimsdai dalam “Project Possible”: “Giving up is not in the blood, Sir”.
Saya teringat kutipan Edmund Hillary yang saya baca di salah satu buku di cafe 4410 Dingboche : It is not the mountain we conquer but ourselves : Bukan gunung yang kita taklukkan tapi diri kita sendiri
Kembali ke : Di Bawah Langit Sagarmatha
BACA JUGA : Mengejar Bunga Ungu ke Provence