Peringatan Tony Wheeler perlu mendapat perhatian. Pendiri situs panduan perjalanan, Lonely Planet, itu gerah dengan kondisi Bali, destinasi wisata yang menjadi primadona Indonesia. Bukan keindahan alam dan keramahan penduduknya yang ia sebalkan, tetapi kondisi lalu lintas yang dia rasakan tak nyaman.
Wheeler menyatakan kapok kembali berkunjung ke Bali. Kemacetan di Pulau Dewata membuatnya enggan datang lagi. Dalam blog pribadinya berjudul “I’m Not Going There Anymore”—seperti dikutip dari The Independent,—Wheeler menulis, “Sampai mereka membereskan kemacetan yang tidak masuk akal itu, saya tidak ingin kembali."
Dia tidak menutup mata dengan keindahan dan pesona Bali. Wheeler menyebut Bali memiliki tempat-tempat yang bagus untuk menginap, seni dan tari yang luar biasa, makanan yang luar biasa, tempat belanja yang bagus. “Tetapi saya tidak ingin menghabiskan dua jam lagi dalam hidup saya untuk bepergian antara jalur pantai Kuta dan Ubud." Tidak menutup kemungkinan ia tetap bepergian ke Bali jika suatu hari ada alasan kuat yang menuntutnya untuk datang lagi.
Tak hanya Bali, Wheeler juga menyebut tiga negara lainnya yang tak ingin lagi ia kunjungi: Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi. Berbeda dengan Bali, keputusan menghindari berkunjung ke tiga negara itu bukan lantaran kondisi infrastruktur yang dinilainya tak bersahabat. Ada pertimbangan lain, seperti kebijakan pemerintah di negara-negara itu.
Mudah ditebak, kekesalan atas kemacetan di Bali tidak hanya dirasakan seorang Tony Wheeler. Sangat mungkin wisatawan lainnya merasakan hal yang sama. Hanya saja, boleh jadi mereka tak menyuarakanya. Lain halnya dengan suara Wheeler. Namanya yang populer di kalangan pelancong mancanegara membuat suaranya terdengar.
Ia pendiri Lonely Planet, buku panduan perjalanan dan penerbit media digital terbesar di dunia. Didirikan pada 1973 dengan nama Lonely Planet Publications, 34 tahun berselang ia menjual sahamnya kepada BBC Worldwide. Wikipedia mencatat, hingga tahun 2010, perusahaan ini telah mempublikasikan sekitar 500 judul buku dalam 8 bahasa di dunia.
Kekesalan Wheeler sampai di telinga Gubernur Bali, I Wayan Koster. Wayan menyatakan tidak semua jalan di Bali macet. Dia menyebut banyak destinasi pariwisata yang lalu lintasnya lancar. Bisa jadi saat itu Wheeler mengunjungi destinasi pariwisata yang benar-benar macet seperti Ubud. Mungkin juga ketika dalam perjalanan ada kegiatan iring-iringan adat, misalnya ngaben.
Hal semacam itu memang sulit dihindari. Pendatang harus memahaminya. Lagi pula, upacara adat di Bali —juga di daerah lain seperti Toraja—bagian dari objek wisata yang sulit ditemukan di tempat dan negara lain. Jangankan wisatawan mancanegara, wisatawan domestik pun menikmatinya.
Terlepas dari itu, peringatan Tony Wheeler tetap perlu menjadi perhatian. Dibutuhkan solusi untuk mengurai simpul-simpul yang menjadi potensi kemacetan. Solusi jangan panjang dimungkinkan dengan membangun jalan. Namun, itu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan kajian dan anggaran yang tidak sedikit.
Gubernur Koster—seperti diwartakan Gesuri.id—juga menyadari perlunya dilakukan pembenahan pada akses lalu lintas yang selama ini terjadi kemacetan parah. Jadi, tak cukup alasan untuk tidak datang kembali ke Bali hanya lantaran kemacetan, sebagaimana dikeluhkan Tony Wheeler. Toh, Bali bukan hanya Ubud. Ubud hanya satu dari banyak destinasi yang selalu dirindukan untuk kembali lagi berwisata ke Pulau Dewata.(*)