pasola-festival-lempar-tombak-berkuda-di-sumba
Pasola bertujuan untuk menampilkan keberanian, keahlian berkuda, dan kepiawaian dalam melempar tombak. | Foto YuSUF AHMAD
Art & Culture
PASOLA – FESTIVAL LEMPAR TOMBAK BERKUDA DI SUMBA
By Campbell Bridge
Sat, 06 Dec 2025

Di bawah langit ungu yang memukau dalam gelap sebelum fajar, saya melangkah perlahan di antara bebatuan. Di pantai yang berpasir lembut, dekat Wanokaka di pesisir selatan Pulau Sumba yang terpencil. Mereka semua tengah menanti momen penting—kemunculan para ratu, yakni para tetua sekaligus pendeta adat Sumba dengan ciri khas topi runcing hitam, tongkat kayu, dan parang (pedang pendek khas Sumba). 

Para pria berwibawa ini, yang penuh misteri dan memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Sumba. Tidak lama lagi, mereka akan memasuki perairan dangkal pantai Wanokaka, berburu nyale—cacing laut unik yang muncul secara magis dalam jumlah luar biasa tepat setelah bulan purnama di bulan Februari dan Maret. 


Sekelompok penunggang kuda dengan hiasan kepala yang beragam dan kain tenun ikat yang cerah, siap untuk bertarung. Foto CAMPBELL BRIDGE

Jika para nyale telah tiba, para ratu akan mengumumkan bahwa Pasola—perang ritual di mana para pendekar Sumba saling melempar tombak di atas kuda—akan segera dimulai.

Tak jauh dari tempat saya berdiri, di bawah naungan akar pohon kelapa, seorang kepala ratu duduk dengan penuh khidmat. Usianya dan sikap tenangnya jelas menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang dihormati dan berwibawa. Dalam remang kegelapan, terlihat ia mengenakan pakaian serba hitam dengan hanya sedikit sentuhan warna merah—selempang merah melingkari sisi wajahnya. Pandangannya tajam dan penuh makna, memandang jauh ke arah samudra lepas dan ke gemerlap lampu-lampu perahu di kejauhan. Dalam keheningan seperti trance, ia menggenggam erat sebilah parang di tangannya, tak terganggu oleh hiruk-pikuk sekitar.

Saya turut mengamati raut wajah para ratu lainnya yang tak kalah memukau. Mereka tampak anggun dengan topi runcing serba hitam, selempang merah melintang di tubuh mereka, sementara beberapa memperindah penampilan dengan ornamen perak di rambut atau telinganya. Mayoritas mengenakan kain tenun ikat tradisional yang bersulam indah, disampirkan di bahu layaknya selendang kebesaran. Semua memegang parang dan tongkat kayu, memancarkan aura kewibawaan dan martabat yang luar biasa.

Kerumunan memandang dengan penuh perhatian ketika dua ratu berjalan menuju bibir pantai, melangkah perlahan hingga air mencapai lutut. Sejenak mereka memandang ke arah laut, merogoh tangan ke dalam air, lalu dengan ekspresi penuh kemenangan, mereka mengangkat nyale. Dengan hasil tangkapan di tangan, kedua ratu kembali ke pantai dan mendekati pemimpin mereka. 

Setelah berdiskusi singkat, salah satu dari mereka dengan suara tegas menyampaikan bahwa seperti yang telah terjadi selama berabad-abad, nyale telah tiba. Dengan itu, Pasola Wanokaka akan segera dimulai.

Hari ini saya menuju medan pertempuran di Kampung Lahi Hagalang. Dalam perjalanan melewati desa-desa adat Sumba yang dipenuhi makam leluhur. Kerumunan besar orang, kuda, dan para penunggang, semuanya mengenakan hiasan berwarna-warni, berbondong-bondong menuju Pasola Wanokaka.


Para peseta bersiap menunggu 'pertempuran' dimulai. Foto YUSUF AHMAD

Di lapangan Pasola, di bawah sinar matahari pagi yang terik, saya melihat sekelompok penunggang kuda dengan hiasan kepala yang beragam dan kain tenun ikat yang cerah, siap untuk bertarung. Suasana begitu hidup dan penuh semangat!

Saat pertempuran dimulai, kedua pihak meluncur ke arah satu sama lain dari ujung medan yang berlawanan. Banyak serangan awal sebenarnya adalah tipuan—usaha untuk menarik perhatian musuh ke dalam jebakan yang sudah disiapkan oleh para pendekar yang bersembunyi. Sementara itu, pejuang-pejuang lain bergerak dengan hati-hati di tepi jauh, berharap kerumunan besar bisa mengalihkan perhatian lawan mereka, memberi mereka kesempatan untuk mendekat dan melancarkan serangan.

Seiring waktu berjalan dan suhu terus meningkat, tempo pertempuran makin memanas. Kuda-kuda dengan derap liar melaju kencang, membawa penunggang mereka yang bersiap melancarkan serangan berikutnya. 

Hola, tombak tradisional Sumba yang kini dibuat tumpul untuk mengurangi bahaya, beterbangan di udara secara bergantian, sering kali mendarat di titik-titik tak terduga atau bahkan meleset ke arah kerumunan. Di tengah itu semua, para penunggang berteriak lantang saat menyerang musuh atau menahan rasa sakit ketika tombak menghantam tubuh mereka.

Salah seorang penunggang tampak melewati saya dengan kecepatan penuh sebelum akhirnya terjatuh dari kudanya setelah sebuah hola menghantam bahunya. Kerumunan langsung menjerit. Dalam keadaan berdarah, dia berusaha membersihkan diri, mundur ke garisnya sendiri, dan bersiap untuk menyerang lagi. Penunggang lainnya menunjukkan keberanian luar biasa—melakukan manuver akrobatik dengan berpegangan di sisi kuda untuk menghindari tombak yang melesat deras di atas kepala mereka.

Di sisi lain, beberapa peserta bahkan berhasil menangkap tombak musuh di udara sebelum melemparkannya kembali dengan gerakan penuh percaya diri. 

Tepat di depan saya, seorang pria memanfaatkan momennya untuk meraih sebuah tombak yang dilemparkan kepadanya, lalu mengangkatnya tinggi sambil meneriakkan sorakan kemenangan.

Para penunggang tak kalah aktif mengecoh musuh di balik garis pertempuran mereka sendiri. Setiap gerakan disertai ejekan yang diarahkan kepada lawan mereka, sebagian datang dari mulut penonton yang tiada henti bersorak memberikan dukungan atau sindiran sengit.

Saat berada hanya beberapa meter dari deru langkah kuda-kuda yang membelah medan, saya menyaksikan kedua pihak meluncur maju secara bersamaan. Pasir terhempas ke segala arah hingga mencapai tempat saya berdiri. Sebuah hola terbang melayang dekat di atas kepala saya—desirannya begitu nyaring hingga terasa mencekam. Adegan penuh keberanian lain terus terpampang; seorang penunggang berhasil menangkap hola yang terbang ke arahnya saat sedang melaju penuh kecepatan dan langsung melemparkannya kembali ke arah lawan. Namun tak semua momen mulus—penunggang lain yang dekat dengan posisi saya terkena tombak di dada dan lengan. Meski darah terlihat mengucur dari pakaiannya, ia tetap bertahan di atas kudanya dengan gagah. Sorakan gemuruh segera mengikuti aksi heroiknya.

Saat Pasola berlangsung hingga menjelang sore, suasana semakin memanas. Para penunggang dan kuda-kuda mereka telah basah oleh keringat, menambah intensitas aksi di arena. Ketegangan dan adrenalin memuncak, seiring dengan bertambahnya keberanian dan risiko yang diambil oleh setiap peserta. Tiba-tiba, kerumunan menjadi gaduh, suara teriakan menggema, dan beberapa penunggang turun dari kuda mereka untuk melanjutkan "pertempuran" di tanah. Polisi, bersama para tetua adat, segera bertindak cepat untuk mengendalikan situasi yang mulai tak terkendali. Namun demikian, insiden serupa di masa lalu pernah berujung pada konflik besar yang melibatkan perang antardesa.

Pasola memiliki arti yang mendalam dalam aspek keagamaan dan budaya yang mendalam bagi masyarakat Sumba. Sebagai perang ritual, Pasola bertujuan untuk menampilkan keberanian, keahlian berkuda, dan kepiawaian dalam melempar tombak. 

Bahkan, ini bukan sekadar permainan karena tidak ada pemenang atau pecundang secara formal. Pasola tidak mengenal pemenang atau pecundang secara resmi. Keberhasilan sejati terletak pada keberanian luar biasa dan keterampilan yang ditampilkan oleh para peserta. Dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat Sumba, Pasola memiliki makna sebagai perang ritus demi memohon hasil panen yang melimpah, dengan darah yang tertumpah di arena sebagai simbol agar doa tersebut terkabul.

Setelah berlangsung selama berjam-jam, terlihat kuda-kuda beserta para penunggangnya mulai diliputi kelelahan akibat panas matahari yang menyengat. Beberapa kuda bahkan tak lagi sanggup melanjutkan. Saat itu, para ratu turun ke arena, mengangkat hola sebagai tanda bahwa Pasola telah usai. 

Menurut keyakinan masyarakat, para dewa Sumba telah menerima persembahan dan merestui. Hasil panen yang baik pun diyakini akan datang melalui keberhasilan ritual tersebut. Pasola Wanokaka selesai hingga kemunculan nyale tahun depan. Para pendekar kembali ke desa sebagai pahlawan.(***)

TERKAIT : Pasola-the Festival of the Spear Throwing Horsemen of Sumba

Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru