ADVENTURE SAGARMATA #2
Text : Gener Wakulu
Kami bermalam di Lobuche (4.910 mdpl) dengan napas yang kian sulit. Makin banyak anggota tim tidur di lobi. Makin banyak yang merasa pusing dan mual. Hal itu terbaca pada keesokan harinya ketika kami mulai menapaki rute Lobuche—Gorak Shep menyisir tepi barat Khumbu Glacier.
Salju agak berkurang, tanah dan batu menonjol di jalan. Meski dingin dan bersalju, Lobuche–Gorak Shep merupakan rute yang menyengat, kering, dan melelahkan.
Gorak Shep merupakan dusun terakhir di ujung rute Himalaya klasik. Sesudah ini, tak ada lagi dusun atau penginapan. Di dusun pada ketinggian 5.180 mdpl (tentu lebih tinggi ketimbang Puncak Carstensz Pyramid di Papua), di sini pula enam ekor zokyo kami berhenti.
Rombongan zokyo yang mengangkut kargo kami melintas di Thokla. Foto GENER WAKULU
Zokyo adaah turunan persilangan dari yak, dengan bulu tak setebal yak. Keenam hewan pengangkut itu digembala oleh sepasang suami-istri. Sejak dari Dingboche, sang istri menggendong karung berisi pakan zokyo, yang sudah tidak ada lagi hingga Gorak Shep. Sementara sang suami sibuk memerintah jalannya zokyo. Mungkin ia lebih paham berkomunikasi dengan para zokyo itu.
Dari Gorak Shep, terdapat dua pilihan, ke Everest Base Camp atau Puncak Kala Patthar. Namun, saat itu pendakian ke Everest sedang ditutup. Andai kami ke Everest Base Camp (5.364 mdpl) pun tidak ada pemandangan kemah-kemah seperti dalam film. Kosong.
Selain itu, kami juga tidak bisa melihat Puncak Everest karena terhalang oleh punggungan Lho La Pass. Kami pun mengerahkan energi terakhir untuk mendaki Puncak Kala Patthar.
Strategi kami susun dengan batasan pada pukul 14.00 sudah harus meninggalkan Gorak Shep untuk proses turun ke Lukla. Kami memutuskan tidak mau bermalam lagi di Gorak Shep yang sudah masuk katagori danger zone.
Pukul 07.00 kami sudah mesti siap di lobi, sarapan, dan siap mendaki. Sarapan pun kami rancang seragam agar cepat. Saat itu pula kargo kami untuk perjalanan turun sudah dikemas. Kemudian, pendakian kami batasi maksimal 3,5 jam, sehingga pukul 11.00 tiba di puncak, lalu pukul 11.30 turun kembali, meninggalkan Gorak Shep pukul 14.00.
Alhamdulillah, meski slow motion di udara yang semakin tipis, jadwal tersebut bisa kami penuhi. Pukul 11.00 kami sudah tiba di Puncak Kala Patthar (5.550 mpdl) setelah sembilan hari mendaki. Dari sini pemandangan 360 derajat ke Everest dan sekitarnya bisa kami nikmati, termasuk Lho La Pass, Everest Base Camp, Puncak Pumori hingga Nuptse.
Dari sebuah bukit dekat Gorak Shep sebelum pulang, saya merenung sambil memperhatikan para mountain guide kami dari Suku Sherpa –Kancha Sherpa, Dawa Sherpa Thaktok, Mingma Sherpa, hingga Ang Puri Sherpa— bekerja.
Perjalanan pertama tim kami, 7 Five Thousanders, ke lima puncak dunia dengan ketinggian 5.000-an meter dpl di Himalaya ini memberi banyak pelajaran. Bahwa bukan semata ada uang kami bisa sampai ke sini, namun lebih karena tekad mewujudkan mimpi yang tak semua orang bisa meraihnya.
Di sini kami sudah ikut menyundul langit dari satu titik di kawasan atap dunia yang penuh mantra –kami menerjemahkannya sebagai doa kepada Allah SWT.
Sekiranya pantas dipikirkan kata-kata Reinhold Messner, pendaki terbesar sepanjang masa: The wonderful things in life are the things you do, not the things you have (Hal-hal indah dalam hidup Anda adalah segala yang Anda kerjakan, bukan segala yang Anda miliki).
Halaman sebelumnya : Menyundul Langit Penuh Mantra #1