menyundul-langit-penuh-mantra-1
Mount Everest diapit puncak-puncak sekitarnya. Di sampingnya adalah Nuptse (7861 mdpl) | foto Gener Wakulu
Destination
Menyundul Langit Penuh Mantra #1
By Admin
Mon, 15 Aug 2022

ADVENTURE SAGARMATA #1

Sagarmata merupakan rumah bagi beberapa ikon puncak tertinggi dunia, dengan Everest sebagai bintangnya. Badai di hari kelima menuju Kala Patthar memberikan pembelajaran mendaki gunung tinggi bersalju.

Text : Gener Wakulu

Namo ratna traya, namo arya jvana, sagara, vairochana
Byuhara jaya, tathagataya, arahate, samyaksam Buddhaya
Namo sarwa tathagate bhyay, arahata bhyah, samyaksam Budddhe bhyah
Namo arya avalokite
Shoraya, bodhisattvaya, maha sattvaya, maha karunikaya
Tadyata om dara dara, diri diri, duru duru\
Itte we, te chale chale, prachale prachale
Kusume, kusuma wa re, Ili milli, chiti jvala mapanaye shoha

Di atas adalah mantra Avalokitesvara. Ani Choying Drolma, sorang biarawati Buddha sekaligus musisi berkebangsaan Nepal, menyebutnya sebagai mantra welas asih. Mantra itu sangat kuat memberkati kita dengan kemampuan rasa kasih seseorang guna menyembuhkan tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Diiringi mantra yang berpendar di udara itu, kami memulai pendakian menelusuri ‘’rute klasik’’ Himalaya dari Lukla menuju Base Camp Mount Everest. Semula kami berhitung, mendaki di musim panas bakal lebih mudah. Begitu teorinya. Dalam dingin menekan di hari keempat pendakian, kami tiba di Deboche pada ketinggian 3.820 meter di atas permukaan laut (dpl).


Tokhla, pemberhentian sejenak sebelum menaklukkan Thokla Pass yang melelahkan menuju Lobuche. Foto GENER WAKULU

Perkiraan kami meleset. Menjelang tutup senja, serpihan salju melayang turun. Kami pikir itu biasa menjelang malam, juga ketika berada semakin tinggi di Himalaya. Namun, ternyata sejak pagi seluruh dataran sudah tertutup salju tebal!

‘’Pemerintah Nepal sudah menginformasikan ke seluruh pemandu di Himalaya, (hujan salju) akan berlangsung selama dua hingga tiga hari ke depan,’’ ucap Kancha Sherpa, koordinator mountain guide kami.

Mendengar penuturan itu, Frans J Tumakaka —koordinator manajemen ekspedisi kami— pun berujar, ‘’Yang masalah bagi kita bukan hujan saljunya, melainkan kondisi fisik kita. Saya minta kawan-kawan mengurangi waktu beristirahat di jalan karena tubuh kita bisa drop.’’

Memang kami merasa letih setelah sehari sebelumnya menempuh rute Namce Bazar –Deboche. Selain panjang, rute itu juga naik-turun. Dari ketinggian 3.440 mdpl di Namce Bazar, perlahan kami melorot turun menyeberangi sungai ke Phungi Thanga pada ketinggian 3.250 mdpl. Hanya istirahat sejenak untuk makan siang, dengan perut masih terisi penuh kami ngebut mendaki lagi, menuju Tengboche Monastery pada ketinggian 3.860 mdpl.

Perjalanan rute klasik Himalaya ini, khususnya jalur ke Everest dan sekitarnya, sesungguhnya dimulai dari Lukla, kota pada ketinggian 2.860 mdpl di Solukhumbu District, yang ditempuh dengan pesawat terbang selama 40 menit dari Kathmandu, Ibu Kota Nepal.

Lukla merupakan kota yang unik. Kota setinggi puncak Gunung Gede, Jawa Barat, itu memiliki sarana transportasi bandar udara untuk pesawat ringan dan helikopter. Begitu keluar dari bandara, langsung terjun ke jalan raya yang lebarnya tak sampai tiga meter dan menjadi tempat lalu-lalang manusia, kuda, keledai, serta kerbau. Tidak ada roda di sini, apalagi kendaraan bermotor. 

Rute Lukla–Namce Bazar ditempuh selama dua hari, termasuk bermalam di Desa Phakding, pada ketinggian 2.610 m dpl, dengan suguhan pemandangan yang luar biasa indah. Namun, keindahan rute ini tidak bisa dipandang enteng. Di sinilah sejatinya tahap adaptasi bagi pendaki. Di rute Lukla–Namce Bazar pula kami melewati jembatan legendaris di film Everest.

Kami diminta berjalan normal, tidak tergesa-gesa. Bahkan, di Namce Bazar, kami menghabiskan waktu dua malam sebelum melanjutkan pendakian.

Di Namce Bazar terdapat banyak toko, penginapan, dan restoran. Di desa ini pula rombongan kesenian tari dari desa-desa lainnya di Himalaya berdatangan melakukan atraksi untuk wisatawan.

‘’Saya bukan hanya mendaki gunung, tapi juga belajar filsafat kebudayaan dan peradaban di sini supaya ada yang diceritakan ke mahasiswa saya,’’ ujar Danial T Baco, dosen di Makassar yang juga anggota rombongan pendaki kami, 7 Five Thousanders.  

‘’Himalaya itu semacam kiblat bagi pendaki gunung di seluruh dunia, dengan Everest sebagai episentrum kawasan Sagarmata. Saya ajak kawan saya ini supaya dia mendapatkan wawasan lebih luas tentang kebudayaan,’’ jelas Umar Arsal, Anggota DPR RI yang memimpin tim 7 Five Thousanders.

Yang dimaksud Umar adalah Sagarmata National Park, yang telah ditetapkan sebagai World Heritage Site pada 1979. Kawasan itu mencakup luas 1.148 km persegi pada ketinggian antara 2.828–8.848 mdpl dengan suhu rata-rata berkisar minus 15–20 derajat Celcius.

Pertanyaannya, kenapa Sagarmata menjadi kawasan yang paling ramai dikunjungi dari seluruh rangkaian Pegunungan Himalaya?

Tidak lain, di kawasan Sagarmata lah bersemayam puncak-puncak ikonik dunia, yakni Thamserku, Ama Dablam, Pumori, Nuptse, Cho Oyu, Lhotse, hingga puncak tertinggi di dunia, Everest yang berada pada ketinggian 8.848 mdpl.

Namce Bazar merupakan ‘’persilangan’’ yang ramai di rute ini. Setidaknya terdapat tiga rute pecah dari sini. Kami memilih menempuh rute klasik mengarah ke timur laut menuju Dingboche (4.410 mdpl). Dari sini, jalan akan pecah dua, satu menuju ke Everest Base Camp dan Kala Patthar via Gorak Shep, lainnya ke kawasan Chhukhung –tempat Island Peaks alias Imja Tse (6.189 mdpl).


Berjalan di balik bayangan kemegahan Cholatse dan Taboche. Foto GENER WAKULU

Di Namce Bazar, latihan kami mengarah ke Everest View Point. Pada titik ini Puncak Everest sudah bisa langsung dilihat. Di sini pula berdiri sebuah hotel, Everest View Point, pada ketinggian 3.880 mdpl. Kami makan siang di serambi hotel yang terbuka sembari menatap Everest!

Taufik Zaini, kawan sependakian, langsung mencolek saya seraya berkata, ‘’Kenikmatan Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?’’

Yang paling mengkhawatirkan dalam pendakian ini adalah serangan Altitude Mountain Sickness (AMS). AMS sebenarnya bukan penyakit, melainkan sindrom yang menyerang pendaki dengan tubuh tidak mampu beradaptasi dengan ketinggian. Sindrom itu membuat tidak hanya sulit bernapas, tetapi juga menyerang pikiran dengan ketakutan tidak bisa bernapas.

Saya survive melawan sindrom itu meski, tak urung, membuat saya tidak mau tidur lagi di kamar karena merasa sesak. Seterusnya, sindrom itu mulai membuat mabuk anggota lain di tim, mulai dari mual hingga pusing. Sangat merepotkan karena berhubungan pula dengan nafsu makan.

Setelah dua malam di Dingboche untuk beradaptasi, kami dihibur oleh pemandangan yang luar biasa pada rute Dingboche–Lobuche. Menyisir punggung gunung, di sebelah barat kami adalah lembah tempat berlokasi Desa Periche (4.240 mdpl). Lembah ini dipagari barisan Puncak Taboche (6.495 mdpl) serta Cholatse (6.335 mdpl) yang runcing dan indah.

Pada pucuk kedua puncak itu, tampak salju melayang dikibas badai. Kami makan siang di Thokla (4.620 mdpl) setelah berdoa di kawasan memorial bagi para pendaki yang tewas di kawasan Everest dan sekitarnya. Salah satunya monumen bagi Scott Fischer yang tewas pada 1996 di Everest. Fischer adalah tokoh asli di film Everest.

Salah satu perjuangan terberat pada trek ini adalah menaklukkan Thokla Pass. Penggalan rute ini sekaligus ‘’penyeberangan’’ karena, begitu menaklukkannya, kami telah berada di sisi aliran dahsyat yang berasal dari Everest yang sangat terkenal di kalangan pendaki seluruh dunia: Khumbu Glacier!

Halaman selanjutnya  Menyundul Langit Penuh Mantra #2


* Artikel ini pernah dimuat di Majalah Lionmag edisi Maret 2016

Emag : Lionmag Maret 2016


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru