jalinan-waktu-pertemuan-estetika-dua-tradisi
Pameran Wastra Indonesia–Jepang di Museum Nasional Indonesia | Dok Istimewa
Art & Culture
Jalinan Waktu: Pertemuan Estetika Dua Tradisi
Devy Lubis
Fri, 14 Nov 2025

Pameran Wastra Indonesia–Jepang di Museum Nasional Indonesia berlangsung hingga 7 Desember 2025. Kolaborasi yang merayakan keindahan, teknik, dan filosofi di balik tradisi tekstil Asia.

Di tengah ruang pamer Museum Nasional Indonesia yang bercahaya lembut, lembaran-lembaran kain tradisional Jepang berusia puluhan tahun tergantung anggun, tersimpan dalam kotak kaca, seolah menunggu untuk bercerita. Serangkaian kimono dengan motif khas, juga lukisan-lukisan yang menggambarkan detail corak dan rancangan busana masyarakat lokal.

Motif bunga yang memudar oleh waktu, tekstur benang yang disusun dengan ketelitian tinggi, dan siluet kimono yang tetap elegan meski lintas generasi. Semuanya menyambut pengunjung pada langkah pertama. 

Di sisi lain, narasi tentang kekayaan wastra Indonesia menghadirkan resonansi yang familiar: warna-warna tanah, teknik pewarnaan kuno, dan filosofi yang tertanam dalam setiap helai serat.

Sejumlah kimono bernilai historis beserta beberapa wastra Indonesia menjadi bagian dari pameran bertajuk ‘Jalinan Waktu: Pewarnaan dan Tenunan Wastra Indonesia dan Jepang’ di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran yang berlangsung hingga 7 Desember 2025 ini menandai kolaborasi kreatif antara Museum dan Cagar Budaya (MCB) dan Museum Nasional Tokyo.


Menampilkan 26 koleksi wastra Jepang dari Museum Nasional Tokyo—sebagian besar berupa kimono yang sarat nilai artistik—pameran ini dikuratori oleh Oyama Yuzuruha, kurator utama sekaligus Kepala Bagian Penelitian Museum Nasional Tokyo. 

Dengan pengalaman lebih dari satu dekade mendalami wastra, Oyama merangkai kisah yang memiliki benang merah; antara teknik pewarnaan dan penenunan Jepang dengan tradisi tekstil Indonesia yang tak kalah kaya.

Narasi pameran membawa pengunjung menyusuri jejak kemiripan teknik. Dari benang yang ditenun perlahan hingga makna simbolik di balik pilihan warna. Di sinilah terlihat bahwa dua budaya yang terpisah ribuan kilometer ternyata berbagi bahasa yang sama: bahasa wastra.

Oyama menjelaskan bagaimana teknik membatik dengan canting dan ‘malam’ yang dipanaskan ala Indonesia memiliki kemiripan dengan teknik pewarnaan yuzen di Jepang. Menurutnya, Jepang sendiri pernah membuat corak pewarnaan dengan lilin pada zaman Nara sekira tahun 710-794, namun tidak berkembang. 

“Jepang mengembangkan teknik, salah satunya pewarnaan yuzen, yang mewarnai berbagai corak dengan menggunakan lem bukan dari lilin, melainkan beras ketan untuk anti-pewarnaannya,” ungkapnya.

Ia menyebut bahwa teknik ini banyak digunakan masyarakat zaman Edo (1603-1868). Menariknya, di antara periode tersebut, ditemukan catatan lama bahwa batik pernah dibawa ke Jepang — tepatnya sekira tahun 1780-an. Catatan tersebut adalah Textile Design of India yang diterbitkan pada 1781 dan Illustrated Book of Chintz Textiles yang dipublikasikan empat tahun kemudian.

Selain yuzen, ada pula bingata. Teknik ini diterapkan dengan meletakkan lem dengan kertas pola, lalu disisipkan warnanya dengan sikat sebagaimana teknik pewarnaan yuzen. 

Namun, ada satu warna yang menurut Oyama sangat istimewa. Warna yang tidak dapat diwarnai dengan teknik pewarnaan apapun, yaitu warna emas. Benang emas ini banyak ditemukan dalam karya perajin-perajin wastra berupa kain tenun, salah satunya, di Pulau Sumatera. 

Tenun yang paling dikenal masyarakat kita adalah songket. Kain yang ditenun menggunakan benang emas dengan inti benang sutera kuning yang digulung perak pipih seperti kumparan. Teknik ini akan menghasilkan corak bergerigi, geometri, atau bertingkat dengan brocade. 

“Benang emas pada masanya adalah barang mewah yang diimpor dari India, sehingga di Indonesia lembaran kain tenun ini sangat berharga,” jelas Oyama. 

Kepala Museum dan Cagar Budaya Abi Kusno menyebut pameran ini sebagai jembatan budaya yang mempertemukan pengetahuan dan sensitivitas estetik kedua bangsa. “Tradisi wastra bukan hanya karya estetika, tetapi juga simbol pengetahuan, identitas, dan hubungan lintas waktu antarbangsa,” ujarnya. 

“Pelestarian warisan budaya tidak hanya soal masa lalu, melainkan masa depan yang kita anyam bersama.”(*)


Share
Nyonya Secret

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru