Menyusuri budaya Tidore terasa panjang, banyak kisah menarik yang bisa ditelusuri di pulau yang terkenal sebagai penghasil cengkeh, pala dan kayu manis.
Sama halnya dengan wilayah lain di Indonesia berlatar budaya kerajaan, wastra adalah satu dari sekian banyak simbol budaya yang dominan. Hanya saja, popularitas wastra Tidore belumlah dikenal luas.
Bahkan untuk mendalami wastra Tidore, butuh riset yang lama dan harus merunut dari para tetua adat dan istana. Semua dilakukan demi mendapat gambaran seutuhnya tentang harta budaya ini. Hingga akhirnya terwujudlah dalam nama Puta Dino. Harta wastra Tidore yang sempat hilang seratus tahun lalu.
Anita Gathmir, pelopor aktivitas tenun ini mengungkapkan, Puta memiliki arti kain, sedangkan Dino merupakan kata dasar dari Din yang memiliki arti menjahit atau menganyam. Jadi Puta Dino memiliki arti kain untuk menjahit. Dari Puta Dino ini akhirnya jejak wastra pulau ini semakin mudah ditelusuri lewat keberadaan Rumah Tenun Puta Dino Kayangan.
Rumah tenun ini yang kemudian menjadi motor penggerak dikenalnya Kain Tenun Tidore dikenal luas. Rumah tenun yang berada di Kelurahan Soasio, Tidore, memperkenalkan kain tenun khas Tidore ke berbagai event nasional hingga internasional. Di sini tidak hanya menjadi pusat aktivitas menenun, tetapi juga sebuah galeri yang memamerkan ragam motif yang ada saat ini.
Merunut awal mulanya, kain tenun Tidore hanya bermotifkan mahkota. Dahulu para tetua kerap menggunakan pelepah pohon sebagai bahan dasar untuk melukis motif. Kini semua disesuaikan seiring perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan kearifan lokal yang menjadi nyawa kainnya.
Di rumah tenun yang terdiri dari dua lantai ini, benang yang digunakan adalah murni dari kapas. Aktivitas memintal kapas menjadi benang pun bisa dilihat langsung di sini. Proses demi proses yang memakan banyak waktu dan tenaga. Dibuat dengan penuh ketelitian demi menjaga kualitas kain tenun yang dihasilkan.
Tidak hanya menghasilkan kain tenun-kain tenun yang siap jual, sejarah tentang wastra pulau ini pun terjaga dengan baik di sini. Rumah Tenun Puta Dino Kayangan masih menyimpan dengan baik, kain tenun yang sudah berusia ratusan tahun lalu.
Kain ini berwarna merah jambu dengan motif mahkota kecil. Walau beberapa bagian sudah lusuh dan rusak, tetapi secara keseluruhan kain yang menjadi bukti sejarah perkembangan wastra Tidore ini masih utuh dan terawat.
Pada perkembangannya kini, motif-motif kain tenun Tidore tidak bisa sembarangan dibuat. Bahkan saat ini demi menjaga nilai budayanya, motif kain tenun tersebut dibagi menjadi tiga, yakni motif purba, motif lama dan motif yang dikembangkan.
Pembagian motif ini dilakukan mengingat dalam menenun tiap warna memiliki arti dan nilai spiritual tersendiri. Tiap warna yang mengandung nilai spiritual tidak bisa satu unsur, tapi harus dipadukan dengan warna lain. Contohnya adalah warna putih atau merah. Alasan spiritual ini lah yang membuat kain tenun tidak bisa dibuat asal.
Namun agar bisa lebih fleksibel, dibuatlah kain tenun dengan motif yang dikembangkan. Motif inilah yang di luar konteks kepercayaan dan ciri ke-Tidore-an. Motif-motif seperti pala dan cengkeh pun jadi salah satu motif unggulan. Uniknya lagi, semua kain yang diproduksi dibuat dalam ukuran sekitar 2 meter. Jadi jika ada yang meminta ukuran 3 meter atau lebih akan ditolak.
Di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Tidore, selembar kain dijual mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta. Semakin sulit dibuat, maka semakin mahal harga kainnya. Hal ini mengingat dalam proses pembuatannya, membutuhkan ribuan benang dan tahapan yang dilakukan secara manual.
Perjalanan panjang bangkitnya kain tenun Tidore ini menjadi gambaran tentang kekayaan wastra Indonesia. Tentang menenun hingga menghasilkan selembar kain bernilai tinggi yang sarat dengan nilai filosofi terkait budaya dan kearifan lokal. Budaya yang menjadi harta bagi masa depan wastra nusantara.