Merasai kopi (berbayar) sambil baca buku gratis. Makarya menawarkan alternatif pengalaman bagi pecinta buku yang ingin menikmati momen membersamai cerita atau jeda sejenak dari baca dengan menyeruput secangkir kopi, atau segelas teh—bukan hanya air mineral dalam tumbler transparan.
Makarya adalah sebuah ruang dalam toko buku legendaris Gramedia Matraman, yang setiap sudutnya menyimpan memori manis bagi banyak orang yang menetap atau singgah di Jakarta. Semacam toko buku konsep yang menjadi bagian dalam toko buku besar. Letaknya tepat di lantai 1, pada sisi sebelah kiri setelah eskalator.
“Toko buku dalam toko buku … ,” demikian komentar seorang kawan. Namun, Makara berbeda.
Sang konseptor Tomi Wibisono menjelaskan, Makarya yang memiliki makna ganda ‘bekerja atau berkarya’ ini sengaja dibentuk sebagai rumah bagi beragam buku, tempat aman dan nyaman bagi pecinta buku, serta ruang perjumpaan bermacam ide dan kerja-kerja kreatif.
Menempati sepetak area, toko buku kecil ini menawarkan suasana intim dan personal. Demi menghadirkan pengalaman yang menyenangkan dan membuat pengunjung lebih dekat dengan buku, Tomi yang juga dikenal sebagai pendiri @BukuAkik berfokus pada display tematik dan kurasi produk-produk pilihan.
Selangkah memasuki Makarya, pandangan langsung tertuju pada ‘Conscious Capitalism’ yang ditulis John Mackey dan Raj Sisodia (2013). Buku itu bersandar di bagian bawah rak buku yang bagian atasnya berfungsi sebagai meja kasir.
Di seberang rak kecil ini, sebidang meja menjadi arena buku-buku berlabel ‘juara’. Seluruhnya sudah tak bersegel.
Pemilihan judul buku beserta penempatannya tentu saja dilakukan dengan kurasi. Ada catatan kecil yang mewakili pemikiran para kurator tentang buku-buku yang dipajang. Karena itu, ada durasi untuk eksistensi tiap-tiap buku di rak yang mudah tertangkap mata.
Rotasi buku dilakukan secara berkala. Koleksi yang ‘dipamerkan’ di area depan bisa jadi berubah setiap bulannya; menyesuaikan tema.
“Semua hasil kurasi personal kami sebagai pengelola,” kata Tomi selepas peresmian Makarya di Jakarta, 11 Februari 2025. “Kalau dilihat, ada banyak catatan-catatan atas buku (ditempel pada tepian rak). Itu tafsir personal, bukan memindahkan sinopsis dari belakang sampul.”
Sentuhan personal menjadi ikhtiar mereka. Menurutnya, buku tidak melulu harus baru. Tidak harus berstatus best seller. Buku pemenang penghargaan tapi minus secara penjualan pun coba ia hadirkan. Tomi menyebutnya ‘bad’ selling books.
“Karena beberapa buku memang perlu atau justru malah harus diceritakan kembali. Terpenting, di sini boleh baca dong,” cetusnya.
Tomi mengungkapkan, melalui kolaborasi dengan Gramedia Matraman dan sejumlah pihak lain dalam project literasi ini, mereka ingin menceritakan banyak hal. “Makanya, buku perlu disentuh (dibaca) berkali-kali.”***
BERSAMBUNG : Bagian 2