indonesia-menyoroti-ketahanan-demokrasi-di-kongres-dunia-ipsa-2025
Presiden Republik Korea Selatan, Lee Jae Myung hadir membuka Kongress Dunia Ilmu Politik yg dihadiri 3.370 peserta dari 95 Negara. | Dok Erbay
Indonesia Menyoroti Ketahanan Demokrasi di Kongres Dunia IPSA 2025
By Evi Aryati Arbay
Thu, 31 Jul 2025

SEOUL – Korea Selatan - Juli 2025 - Ketika demokrasi menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari polarisasi dan kecenderungan otoriter di seluruh dunia, Indonesia melangkah maju untuk berbagi kisah ketangguhannya di Kongres Dunia Ilmu Politik IPSA 2025, yang diselenggarakan di Coex Convention & Exhibition Center di Seoul berlangsung pada 12-16 Juli 2025 mencetak rekor sebagai kongres terbesar sepanjang sejarah IPSA selama 76 tahun, dengan 3.370 peserta dari 95 negara, menyajikan 3.053 makalah dalam 776 panel ilmiah.

Di bawah tema "Melawan Otokratisasi dalam Masyarakat yang Terpolarisasi: Pelajaran dari Indonesia, Asia Tenggara dan sekitarnya," Indonesia mendapat kehormatan untuk memimpin panel khusus yang menampilkan pengalaman uniknya dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dalam salah satu masyarakat paling beragam di dunia. IPSA World Congress merupakan ajang ilmiah terbesar di bidang ilmu politik yang diadakan setiap tiga tahun, mempertemukan ribuan ilmuwan politik, pembuat kebijakan, diplomat, dan penggiat demokrasi dari seluruh Dunia menjadikan Forum ini ruang penting tidak hanya untuk berbagi pengetahuan tapi juga mengulas tren global dan menguatkan jejaring internasional guna menjadwab tantangan demokrasi. 

Rudi Sukandar, Ph.D., Ketua Panel, menambahkan: "Demokrasi merupakan perjuangan antar generasi, dan Indonesia memiliki cerita yang harus dibagikan kepada dunia. Melalui panel ini, kami melampaui teori untuk memberikan strategi praktis dan berbasis konteks yang dapat menginspirasi negara-negara yang menghadapi tantangan serupa."

Pembukaan Kongress Dunia IPSA dihadiri oleh Presiden Republik Korea Selatan, Lee Jae Myung yang dalam sambutan pembukaannya menekankan bahwa demokrasi hari ini sedang berada di bawah tekanan luar biasa baik dari luar maupun dalam negeri. “Demokrasi tidak boleh kita anggap sebagai sesuatu yang permanen. Ia adalah sesuatu yang harus dijaga, dipelihara, dan diperjuangkan setiap hari. Forum seperti IPSA inilah yang memperkuat benteng pertahanan kita bersama,” tegas Presiden Lee, disambut tepuk tangan para delegasi yang hadir.


Panel Indonesia bertajuk Resisting Autocratization in Polarized Societies: Lessons from Indonesia, Southeast Asia, and Beyond yang mengangkat tema "Democratic Resilience in the Age of Polarization" 

Delegasi Indonesia terdiri dari para akademisi terkemuka, pakar kebijakan, pemimpin militer, dan tokoh masyarakat sipil yang telah bekerja secara ekstensif untuk memperkuat praktik-praktik demokrasi, mendorong tata kelola pemerintahan yang inklusif, dan menentang dorongan otoriter. Panel yang digagas oleh Evi Aryati Arbay bersama Rudi Sukandar dari LSPR Communication and Business Institute ini bekerjasama dengan Putri Cendrawasih Raya Communication Agency menghadirkan Dr. Julian Aldrin Pasha (Universitas Indonesia), Dr. Djayadi Hanan (UIII), Mayor Jenderal TNI Dr. Oktaheroe Ramsi (Universitas Pertahanan), dan Dr. Gamze Turgayli Zengin (Cappadocia University, Turki). Kehadiran mereka menegaskan bahwa Indonesia memiliki posisi penting dalam percakapan global mengenai demokrasi.

Dalam sambutannya, Kuasa Usaha (KUAI) RI di Seoul, Ali Andika Wardhana, menyampaikan, "Pengalaman Indonesia dalam menumbuhkan dan memelihara demokrasi di tengah keberagaman menjadi highlight yang dapat dijadikan pelajaran penting bagi dunia. Forum ini menjadi kesempatan untuk memperkaya pemahaman kolektif serta membangun jembatan kolaborasi global dalam menjaga nilai-nilai demokrasi." Ia juga mendorong agar aspirasi Indonesia untuk menjadi tuan rumah IPSA mendatang bahwa aspirasi Indonesia untuk menjadi tuan rumah IPSA mendatang dapat diwujudkan sebagai refleksi dari kesiapan dan kontribusi nyata dalam diskursus global.

Diskusi dalam panel Indonesia berlangsung hangat dan substansial. Mayor Jenderal Ramsi mengingatkan bahwa ancaman terhadap demokrasi hari ini tidak datang secara revolusioner, melainkan melalui pelemahan institusi secara sistematis. "Indonesia berisiko menjadi 'demokrasi semu' jika tidak waspada. Polarisasi sosial, disinformasi digital, dan penyalahgunaan hukum adalah tantangan nyata yang harus kita hadapi secara kolektif." tegas Oktaheroe. Ia juga menambahkan bahwa ketahanan demokrasi bukanlah kondisi tetap, tetapi proses adaptif yang harus terus diperjuangkan dan diperbarui.

Sementara itu, Dr. Julian Aldrin Pasha menekankan pentingnya membangun narasi demokrasi yang tidak hanya reaktif, melainkan konstruktif dan edukatif. Dr. Djayadi menyoroti krusialnya representasi politik yang setara dan partisipatif agar suara publik benar-benar menjadi pengarah kebijakan.

Yang menarik, panel ini juga mengangkat fenomena generasi muda Indonesia yang semakin skeptis terhadap institusi politik. Gerakan digital seperti #kaburajadulu menjadi refleksi dari tantangan komunikasi politik di era disrupsi digital. Ini menandakan bahwa demokrasi juga harus menjawab kegelisahan dan harapan generasi baru.

Evi Aryati Arbay, S.E., M.A., Co-Chair, Co-Author, dan Praktisi Hubungan Masyarakat Pemerintah, juga menyoroti dimensi budaya dan narasi dari demokrasi: "Demokrasi bukan hanya sebuah model tata kelola pemerintahan, namun juga sebuah narasi hidup yang mewujudkan harapan dan perjuangan sebuah bangsa. Partisipasi kami di sini merupakan bukti komitmen Indonesia terhadap diplomasi budaya, komunikasi inklusif, dan kolaborasi global."


Panelist Indonesia hadir pada pembukaan Kongress yang dihadiri oleh Presiden Korea Selatan pada Minggu, 13 July 2025. (Photo: Earbay) 

Dengan jejak yang kuat di IPSA 2025, Indonesia menunjukkan bahwa diplomasi tidak hanya terjadi di ruang-ruang formal kenegaraan, tetapi juga di panggung ilmu pengetahuan—tempat di mana ide, identitas, dan arah masa depan dirumuskan bersama. Ini adalah bentuk baru diplomasi yang mengedepankan soft power berbasis pengetahuan dan kolaborasi global.

Jika dunia ingin memahami tantangan dan harapan demokrasi abad 21, maka Indonesia adalah tempatnya. Dengan kombinasi pengalaman historis, pluralisme sosial, dan dinamika politik yang terus berkembang, Indonesia bukan hanya objek studi, tetapi subjek penting dalam penciptaan solusi global untuk tantangan demokrasi hari ini dan masa depan.(*)


Share

Pilihan Redaksi

Berita Terpopuler

Berita Terbaru