Hari pertama rute Lukla - Phakding.
Rute ini berbatu campur tanah. Dari Lukla di ketinggian 2.850 mdpl, kami agak merosot sedikit sebenarnya, karena elevasi Phakding 2.623 mdpl. Rute ini melalui beberapa desa. Pada sepanjang trek, kami lebih banyak jalan di bawah pohon.
Dari arah belakang, beberapa kali kami harus menepi ke sisi bukit memberi jalan gokyo, sejenis kerbau yang membawa muatan barang. Rombongan kami pun menggunakan enam gokyo untuk mengangkut duffle bag kami. Menjelang siang kami berhenti di Thado Koshi restoran untuk istrahat dan makan siang.
Kami tiba di Phakding sekira pukul tiga sore, dan langsung beristirahat. Hotel alias penginapannya cukup bagus dengan dining room yang besar. Di belakang hotel mengalir Dhudh Kosi. Bisa dibilang, perjalanan dari Luka ke Phakding, kami senantiasa beriringan dengan sungai ini. Tidak ada pendaki selain rombongan kami, mungkin pendaki lain ada yang langsung ke Namche Bazar, pemberhentian selanjutnya.
Ini malam pertama kami di jalur pendakian. Pada malam hari udara lebih dingin. Matras yang dilengkapi pemanas di kamar sangat membantu.
Hari ke dua dari Pakhding ke Namche Bazar, kami berangkat lebih pagi. Rute ini cukup panjang dan mendaki ke elevasi 3.627 mdpl. Antara Phakding dan Namce Bazar terdapat gerbang memasuki kawasan Taman Nasional Sagarmatha, yang menaungi banyak puncak gunung kesohor di Himalaya, termasuk Everest.
Kondisi trek ke Namche masih mirip hari sebelumnya, jalan di bawah pohon dengan trek berbatu. Di sisi kiri jauh di bawah mengalir Dhudh Kosi. Beberapa kali kami menyeberang menyilang sungai ini. Sesekali angin dingin berhembus. Udara memang lebih dingin, meski pada siang hari.
Menjelang petang, kami menyeberangi jembatan bersusun dua, yang disebut Jembatan Hillary. Sebenarnya, jembatan atas adalah yang baru dibuat. Jembatan aslinya yang di bawah, dibuat oleh Sir Edmund Hillary --pendaki yang pertama menjejakkan kakinya di puncak Mount Everest.
Nah, lewat jembatan ini, vegetasi dan elevasi lebih rapat. Artinya, jalannya mendaki lebih tajam dan panjang. Gerimis turun. Jalan berbatu mulai licin. Hari mulai gelap. Tenaga kami sangat terkuras. Langkah lebih lambat.
Rombongan kami terpisah. Sebahagian sudah jalan jauh di depan dipimpin Niraj. Sementara kami sisanya sembilan orang; Achmad Hasan, Bong Candra, Rudy Jaya S, Stanley, Suryadi, Glen, Raymond, Ryan, dan saya ditemani tiga serpha; Sangeh, Ningma, dan Pasang teringgal beberapa jam di belakang.
Jalur pendakian sudah tidak terlihat. Gelap. Di antara kami hanya seorang yang membawa senter. Ryan mencoba membantu dengan senter ponsel. Namun kebanyakan baterai ponsel sudah drop lantaran cuaca dingin. Jalan yang sudah pelan pun terasa makin sulit.
Ternyata, rombongan pertama sudah sampai di penginapan sebelum maghrib. Sementara kami tertinggal tiga jam di belakang.
Dari hotel, Niraj mengirim orang yang membawa lampu penerangan, sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan.
Rombongan kedua ini tiba sekitar pukul 21.30. Kami sempat mampir beristirahat di Tea House sebelum masuk ke Namche Bazar.
Di Namche, kami menginap dua malam di sini untuk aklimatisati. Namche Bazar semacam kota kecil di ketinggian bervariasi antara 3.440 - 3.637 mdpl, tempat hampir semua pendaki melakukan aklimatisasi. Di Namche Bazaar banyak terdapat toko yang menjual perlengkapan pendakian, selain hotel hingga resto-kafe.
Saya tertidur hingga pukul 10 keesokan paginya. Dari Jendela kamar saya terlihat “crowd” Namche Bazar di bawah dengan latar puncak Gunung Konde sebelah barat setinggi 6.187 mdpl yang berselimut salju.
Sebelumnya, sebahagian rombongan sudah berjalan menujut National Park Museum, tempat dimana bisa melihat puncak Everest. Setelah sarapan, saya bersama Achmad Hasan, Bong Chandra, Muhammad, dan Fauzan ditemani serpha Sangeh menyusul ke Nasional Park Museum.
Setelah makan siang, sebahagian rombongan ada yang turun ke Namche Bazaar. Namun sebahagian besarnya memanfaatkan waktu untuk beristirahat di penginapan. Karena jalur yang akan kami lalui besok akan lebih berat. Altitude semakin tinggi. Saya sendiri memilih turun ke Namche Bazaar, ditemani serpha Sangeh.
Hari keempat pendakian, target kami menempuh jalur Namche Bazaar - Deboche. Pukul 07.30 kami sudah meninggalkan penginapan, menempuh jalur di sisi tebing dataran tinggi yang terbuka.
Langit biru dan panas menyengat dari atas. Di sisi kanan terlibat puncak-puncak bursusun seperti lapisan-lapisan. Pada latar belakangnya, puncak-puncak gunung di Himalaya yang bertopi salju saling sundul-menyundul. Pemandangan yang menakjubkan. Kami beristirahat di kedai Tea Kyang Juma.
Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan puncak-puncak gunung seperti Everest, Lhotse, Amandablam, Taboche, Kongde, Cholatse, hingga Thamserku. Cuaca yang cerah memberi kilau takjub akan pemandangan ini. Kami berjalan sangat perlahan, mengingat kondisi fisik kami yang sudah mulai kelelahan, ditambah kadar oksigen di udara mulai menipis lantaran ketinggian sudah diatas 3.000 mdpl. Kami semakin sering istrahat.
“Hurra - hurra ” teriak Niraj memberi semangat saat rombongan mulai bergerak terlalu pelan.
Kami makan siang di Funggithenga, akhirnya sekitar pukul tiga sore tiba di Monastery Tyangboche pada ketinggian 3.867 mdpl. Kami bermalam di Deboceh, yang masih berjarak 30 menit turun dari monastery ini, tepatnya di penginapan Revendal.
Malam hari kami menghabiskan waktu di ruang tengah yang punya penghangat. Sebagian ngobrol sambil mimum teh panas untuk menghalau dingin, dan ada yang main kartu.
“Segala capek dan tantangan menjadi terbayar dengan pemandangan Himalaya yang luar biasa” kata Bong Chandra, pimpinan rombongan kami.
Sebelum melanjutkan pendakian, kami berdoa bersama. Inilah hari kelima setelah meninggalkan Lukla. Target pendakian kami hari ini adalah Dingboche di ketinggian 4.410. Pada sore hari dalam kondisi bersalju kami tiba di Dingboche, penginapan Chomolungma.
Malam di Dingboche terasa dingin. Sleeping bag rasanya tidak mampu menahan tusukan udara dingin. Terpaksa kami mengakalinya dengan membeli kantong air dan botol untuk diisi air panas dan masukkan ke sleeping bag.
Setelah Namche Bazar fasilitas di penginapan memang semakin minim. Rata-rata penginapan yang lasim disebut teahouse menggunakan tenaga matahari. Untuk isi ulang daya ponsel dan baterai kamera dikenakan biaya 500 NPR, sedangkan power bank 1.000 NPR.
Bersambung ke :
Medan panjang dan terbuka antara Lobuche dengan Gorakshep