Pementasan 'Dag Dig Dug' di Teater Salihara, Jakarta, 25-26 Januari 2025 menghadirkan nama-nama besar industri perfilman Indonesia, dan tentu saja sosok baru di panggung teater.
Adalah Slamet Rahardjo Djarot yang berperan sebagai Bapak Salamun. Niniek L. Karim sebagai Ibu Hartati. Jose Rizal Manua sebagai Cokro, pembantu rumah tangga. Reza Rahadian sebagai Giarto, pembawa berita.
Donny Damara sebagai Giarno, juga pembawa berita. Ada pula Kiki Narendra sebagai Ibrahim, dan Onkar Sadawira sebagai Tobing.
Berikut sederet tokoh yang berperan menghidupkan kembali naskah lawas ini. Naskah yang kisahnya relevan dengan situasi dan peristiwa yang terjadi dari dulu hingga saat ini.
PUTU WIJAYA. Lakon 'Dag Dig Dug (1976)' hanya satu dari sekitar 40 naskah drama yang ditulis Putu Wijaya. Ia juga menulis sedikitnya 30 novel, ratusan esai, belasan naskah sinetron dan film, dan ratusan cerita pendek.
Lelaki kelahiran Tabanan, Bali pada 11 April 1944 ini juga dikenal sebagai wartawan, sekaligus sutradara Teater Mandiri - yang dibentuknya sejak 1971. Putu telah memperoleh berbagai penghargaan atas karya sastra maupun skenario.Termasuk penghargaan doktor honoris causa dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Beberapa karya pria yang mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, yang menarik perhatian publik antara lain Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. Sebagian karyanya telah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab, dan Thailand.
SLAMET RAHARDJO DJAROT. Dilahirkan di Yogyakarta pada 21 Januari 1949, Slamet Rahardjo adalah seorang aktor, sutradara, sekaligus penulis skenario. Setamat sekolah di SMA Negeri 2 Yogyakarta, ia menempuh studi di Akademi Teater Nasional Indonesia (1968).
Slamet mengawali karirnya dengan bergabung ke dalam kelompok Teater Populer, pada 1968, pimpinan Teguh Karya, tampil melalui berbagai pentas teater dari naskah-naskah Barat. Tahun 1971, bersama kelompok Teater Populer, Slamet bermain dalam film pertamanya, Wadjah Seorang Laki-Laki. Penampilan yang mengesankan dan paling dipuji adalah dalam film drama Ranjang Pengantin (1974) dan Di Balik Kelambu (1983), di mana ia juga meraih gelar Aktor Terbaik pada FFI.
NINIEK L. KARIM. Nama lengkapnya adalah Sri Rochani Soesetio Karim, lahir pada 14 Januari 1949. Nama Niniek L. Karim diberikan oleh mendiang Teguh Karya. Sutradara teater tersebut mengajak Niniek bergabung bersama Teater Populer ketika menyaksikan aktingnya pada tahun 1970-an dalam sebuah festival teater antarkampus, yang diadakan di Taman Ismail Marzuki.
Kemampuan aktingnya ditunjukkan melalui film Ibunda (1986) dan Pacar Ketinggalan Kereta, (1988) – keduanya disutradarai Teguh Karya - di mana ia mendapat penghargaan sebagai Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik, Festival Film Indonesia. Dalam sinetron televisi, ia juga tampil memukau lewat drama Pulang, sutradara Teguh Karya (1987).
JOSE RIZAL MANUA. Jose Rizal Manua, kelahiran Padang, 14 September 1954, mengenyam pendidikan seni di Institut Kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia, Surakarta. Ia dikenal sebagai pelatih akting dan seorang yang intens mengasuh teater untuk anak-anak. Namun lebih dari itu, Jose tampaknya adalah aktor serbabisa. Ia memerankan bermacam karakter di berbagai grup, mulai dari Teater Mandiri (Putu Wijaya), Bengkel Teater (Rendra), sampai ke Teater Populer (Teguh Karya)
Di tangan Jose Rizal lah, karakter Cokro, seorang pembantu rumah tangga, yang selalu “ditindas” oleh majikannya, muncul dan mencuat. Orang Minang ini secara plastis berubah menjadi orang Jawa yang selalu tunduk pada majikan, namun yang pada gilirannya akan menjadi sosok yang penting di akhir cerita.
REZA RAHADIAN. Reza Rahadian Matulessy, lahir pada 5 Maret 1987 memulai kariernya di layar lebar sebagai figuran dalam serial Bidadari (2003).
Adalah sutradara Hanung Bramantyo yang mengajaknya berperan dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2009). Lewat film inilah ia mendapat penghargaan Pemeran Pendukung Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI). Gelar sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik didapatnya dari film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (2010).
Sebagai Habibie dalam Habibie & Ainun (2012) ia mempelajari gestur dan cara bicara Presiden Habibie secara mendalam hingga nyaris sempurna. Lewat film itu ia mendapat penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik, FFI 2013. Gelar serupa kembali diperolehnya lewat My Stupid Boss (2016).
Selain di film, Reza juga berakting dalam pentas teater. Satu di antaranya adalah di tahun 2016, ia tampil dalam pentas Bunga Penutup Abad – sebuah naskah adaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
DONNY DAMARA. Damara Prasadhana, lahir pada 12 Oktober 1966, lebih dikenal dengan nama Donny Damara. Ia memulai karirnya sebagai model untuk iklan pada 1978. Dari dunia modelling, ia kemudian beraksi di layar putih – sejak 1988 hingga sekarang. Pernah mendapat nominasi sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik pada FFI 1991 lewat film Perwira dan Ksatria. Pada 2012, Donny menyabet penghargaan Aktor Terbaik dalam Festival Film Asia melalui film Lovely Man (2012).
KIKI NARENDRA. Kiki Narendra lahir pada 28 Juni 1979, mengawali karier di dunia akting dengan membintangi film Tampan Tailor. Sebelumnya, lulusan SMA Negeri 4 Surakarta yang kemudian melanjutkan kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Merdeka Malang ini ikut workshop akting yang diadakan di Teater Populer, yang kemudian membawanya terus belajar di Teater Populer sampai 2015 di bawah bimbingan Slamet Rahardjo.
Pada Festival Film Indonesia tahun 2020, ia dinominasikan sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik lewat fim Perempuan Tanah Jahanam (2019). Dalam lakon Dag Dig Dug yang dipentaskan oleh Teater Populer ini, ia berperan sebagai Ibrahim, penjual marmer untuk kuburan, sosok di antara keributan-keributan kecil yang mewarnai kehidupan pasangan lanjut usia, Hartati dan Salamun.
ONKAR SADAWIRA. Menyelesaikan kuliah di London School of Public Relation pada 2011, Onkar Sadawira – kelahiran Jakarta, 12 Juli 1989 ini - lebih tertarik menggeluti dunia seni peran ketimbang pekerjaan kehumasan. Ia pernah manggung dalam pentas Tribute for Didi Petet di Gedung Kesenian Jakarta (2015).
Ikut bersama Pegho Teater, ia juga tampil di Galeri Indonesia Kaya (2016). Bersama Teater Populer – tempat di mana ia ikut kelas pelatihan akting – Onkar bergabung dalam pementasan Suara-Suara Mati karya Manuel van Loggem (2016).
Pementasan berikut yang diikutinya adalah The Make Up bersama Teater Pegho di Taman Ismail Marzuki dan di Taman Budaya Yogyakarta (2024). Sebelumnya, bersama grup teater kampus, Onkar juga tampil dalam lakon berjudul Suara Areta.
Diakuinya, keikutsertaannya di Teater Populer dalam lakon Dag Dig Dug ini, sempat membuatnya ragu demi melihat lawan mainnya, yang dianggapnya sudah sangat berpengalaman. Ia bahkan semula memilih menjadi kru panggung saja. Namun berkat kepercayaan diri yang ditanamkan sutradara Slamet Rahardjo, peran sebagai tokoh Tobing itu pun dihadapinya sebagai tantangan akting.***
TERKAI: https://lionmag.id/home/detail/dag-dig-dug-teater-populer-dan-deretan-legenda-hidup-bagian-1