Teater Populer memiliki sejarah panjang dengan produksi pementasan berkualitas. Komunitas teater ini didirikan pada 1968 oleh Teguh Karya (almarhum) bersama sejumlah nama besar lain di industri perfilman Indonesia. Sebut saja Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Tuti Indra Malaon, Sylvia Nainggolan, Dewi Savitri, Henky Solaiman, dan lainnya.
Pada mulanya, kelompok ini bernama Teater Populer Hotel Indonesia. Keanggotaan angkatan awal adalah para mahasiswa Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), tempat di mana Teguh Karya mengajar – ditambah sejumlah teaterawan independen.
Pada saat itu, manajemen kelompok ini berada di bawah Art & Culture Department dari Hotel Indonesia.
Cita-cita awal kelompok ini adalah menanamkan apresiasi teater modern pada warga Jakarta. Mereka membentuk penonton tetap, hingga mencapai sekitar 3.000 orang. Dengan sistem iuran dari para penonton, kelompok ini dapat mementaskan pertunjukan sekali sebulan selama dua tahun.
Dari sini mulai terbentuk berbagai kompetensi dalam grup itu. Mulai dari pemain, penata panggung, penata cahaya, penata produksi, dan seterusnya.
Kelompok kerja Teater Populer pada akhirnya memisahkan diri dari manajemen Hotel Indonesia, dan mengubah nama menjadi Teater Populer. Dari pementasan teater itu, medium film kemudian dipilih sebagai pengembangan bentuk kreativitas.
Dimulai dengan film 'Wajah Seorang Laki-laki' (1971), disusul dengan 'Cinta Pertama' (1973), 'Ranjang Pengantin' (1974), 'Kawin Lari' (1975), 'Perkawinan dalam Semusim' (1976), 'Badai Pasti Berlalu' (1977), November 1828' (1978), 'Usia 18' (1980), 'Di Balik Kelambu' (1983), 'Doea Tanda Mata' (1984), 'Secangkir Kopi Pahit' (1984), 'Ibunda' (1986), dan 'Pacar Ketinggalan Kereta' (1988).
Seluruh film ini disutradarai oleh Teguh Karya dan nyaris semuanya memperoleh penghargaan tertinggi dalam Festival Film Indonesia, untuk berbagai aspek. Selain itu, Teater Populer juga muncul melalui berbagai pertunjukan di stasiun TVRI dan stasiun swasta lainnya.
Sebelum meninggal, Teguh Karya bersama rekan-rekannya mendirikan Yayasan Teater Populer. Adalah Slamet Rahardjo Djarot yang kemudian meneruskan kepemimpinan Teater Populer itu.
“Teater Populer yang telah berdiri sejak 1968 ini merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia," ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Renita mengungkap pentingnya dukungan luas dari berbagai pihak agar Teater Populer dapat terus berkreasi dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan seni yang bermakna bagi masyarakat Indonesia.
"Lakon Dag Dig Dug ini pertama kali dipentaskan oleh Teater Populer pada 1977 dan telah ditampilkan dengan berbagai pendekatan yang menggugah dalam beberapa dekade terakhir. Pementasan kembali lakon ini oleh Teater Populer sekaligus merayakan kembali karya Putu Wijaya," pungkasnya.***